Mari Berkenalan dengan Para Pelaku Batik Muda Indonesia
Kemunculan generasi peminat batik pelan-pelan mulai terlihat. Mulai dari mereka yang artisan, merintis usaha batik, hingga kolektor.
2 Oct 2019




Ladang rumput laut yang terlihat bak kotak-kotak kecil dari udara membuat Chitra Subyakto terinspirasi. Pemandangan di atas teluk Nusa Penida itu kemudian dituangkan menjadi motif batik bagi Sejauh Mata Memandang.

“Saya ingin buat batik dengan cerita yang lebih kini,” kata Chitra. Itu sebabnya, ada ragam cerita yang coba diwujudkan lewat koleksi Sejauh Mata Memandang setiap musimnya. Untuk Kemarau 2019 misalkan, Sejauh menghadirkan cerita soal Laut Kita. Lewat instalasinya di Plaza Indonesia yang digelar hingga 4 Agustus 2019, Sejauh kembali mengangkat laut sekaligus mengingatkan betapa berbahayanya sampah plastik di perairan Indonesia.

Uniknya, sebagian besar produk Sejauh dikerjakan dengan menggunakan teknik batik cap dengan motif baru dan cerita yang sangat berbeda untuk setiap koleksinya. Musim sebelumnya, Sejauh mengolah cerita dongeng Timun Mas menjadi batik yang memikat. Hasilnya, produk Sejauh menjadi idola di media sosial.

Lihat bagaimana kiriman soal Sejauh di media sosial membanjir sedemikian rupa. Tua dan muda ramai-ramai menandai kiriman mereka dan bangga mengenakannya. Entah untuk momen formal hingga berlibur, Sejauh saat ini menjadi gambaran batik kontemporer, satu dekade setelah batik ditetapkan sebagai Warisan Dunia Tak Benda oleh UNESCO pada Oktober 2019. “Tidak jarang ada beberapa orang yang ingin liburan, kemudian meminta kami untuk mengirim produk secepatnya,” kata Chitra.

Sejauh Mata Memandang merupakan satu contoh kontemporer soal bagaimana batik yang kini diapresiasi, bukan lagi hanya sebagai tradisi, tapi menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai fenomena terkini. Sejauh juga menjadi penanda kehadiran darah muda seniman, penggemar dan pegiat batik. “Mereka yang lebih muda dan menekuni batik, perlahan memang mulai bermunculan,” kata Asisten Kurator Museum Tekstil Benny Gratha. Meskipun jumlahnya belum banyak, artisan batik yang lebih muda memang mulai berani menawarkan ragam batik baru.

Batik Kidang Mas di Yogyakarta yang digagas oleh Yahya Adhi Sutikno misalkan, menawarkan batik tulis artisan kreasi baru yang memadukan beragam motif tradisi dengan pendekatan baru. Dicelup dalam tiga warna, Yahya tidak jarang memasukkan unsur bunga peoni yang kompleks dalam batik tulisnya. Belakangan, Yahya juga merilis proyek Tribuddhi yang mengeksplorasi lagi Batik Tiga Negeri.
Sejumlah nama lain juga bermunculan dalam batik. Aji Setyowijaya dari Batik Setyowijaya misalkan membuat pendekatan baru dari motif-motif klasik batik. “Biarpun kami menciptakan batik baru, tapi kami tetap berpijak pada motif klasik,” kata Aji yang juga berbasis di Yogyakarta.

Aji mengolah beragam motif klasik mulai dari gurdho hingga kawung dan menyampurkannya. Ini membuat batiknya terlihat baru dengan pendekatan yang lebih kontemporer. Aji mengatakan kalau tidak banyak mereka yang berusia muda dan tertarik untuk mengeksplorasi batik, terutama motif klasik. “Kami ini anomali,” kata dia. Berbeda dengan banyak anak muda yang memilih untuk menekuni corak yang sama sekali baru, Yahya dan Aji memutuskan untuk berpijak pada tradisi klasik dan motif batik tulis.

Langkah serupa untuk mengangkat kembali batik juga ditempuh oleh Warwick Purser dengan Equatorial Designs. Mengambil motif-motif geometris dari batik, Warwick bekerja sama dengan Kekoa Iskandar dari ISA untuk mengolah label pakaian batik sebagai kolaborasi seni dan mode. Bekerja sama dengan Rumah Budaya Tembi untuk produksi batik, koleksi batik Equatorial mengeksplorasi motif poleng hingga garis yang diperbesar dengan pendekatan yang tak terlalu berat. “Kami ingin membuat batik yang menarik untuk dikenakan sehari-hari dan tidak berat,” ujar Kekoa.

Menurut Poppy Barkah selaku Pembina Perkumpulan Wastra Indonesia, kemunculan generasi muda dalam batik merupakan sesuatu yang dinantikan. Batik, saat ini mengalami kesulitan regenerasi. “Terutama dalam mencari pembatik muda. Profesi membatik dianggap sebagai sesuatu yang kurang menjanjikan saat ini,” kata Poppy.

Senada dengan Poppy, Benny juga mengamini hal serupa. Tapi, dia mengatakan kemunculan darah muda dalam batik, justru hadir di sektor-sektor lain batik. Contohnya adalah kolektor batik muda. “Mereka yang berusia muda dan mau menjadi kolektor batik merupakan sebuah fenomena tersendiri saat ini,” katanya.

Kolektor muda yang tersebar di kota besar di Indonesia saat ini meminati batik sebagai bagian dari gaya hidup, dan tidak jarang juga investasi. “Mereka merasa ada nilai dari kain itu,” kata Benny.

Tentu, untuk menjadi kolektor harus ada panggilan jiwa tersendiri. Tidak semua orang yang punya kemampuan finansial mau untuk mengoleksi batik. “Tidak jarang, sebagian dari kolektor justru memilih untuk menabung membeli kain, dan menyicilnya selama beberapa waktu,” ujar Benny. Tidak jarang, ada dari mereka yang mengangsur kain batiknya selama bulanan dan bahkan tahunan. Padahal, kemampuan mereka secara finansial tergolong biasa-biasa saja.

Biasanya, para kolektor tumbuh dari lingkungan yang terbiasa dengan batik sejak kecil. “Saya melihat keluarga saya menyimpan kain batik. Eyang saya punya banyak kain batik dan sering mengenakannya,” kata Aditya Setiadi, pianis dan juga seorang dosen musik Universitas Indonesia, sekaligus juga kolektor batik.

Koleksi pribadinya dikumpulkan perlahan. Mulai dari warisan keluarga, hingga batik antik yang dibelinya sendiri. Adit memiliki koleksi batik Go Tik Swan, Iwan Tirta, hingga Batik Tiga Negeri dari Keluarga Tjoa yang legendaris.

“Saya tidak memikirkan nilainya secara finansial, saya hanya merasa terpanggil untuk mengumpulkannya karena saya suka,” kata dia. Adit tidak melakukan spesifikasi khusus atas koleksinya, tapi ia menyukai warna-warna batik pesisiran yang cerah.

Itu membuatnya bertemu dengan Batik Tiga Negeri. Batik yang punya tiga warna dan dicelup di tiga daerah, yakni Lasem untuk warna merah, Pekalongan untuk warna indigo atau biru, dan Solo untuk warna sogan atau cokelat.

Koleksi Adit, sebagian masuk dalam buku Batik Tiga Negeri Solo: Sebuah Legenda. Koleksinya merupakan karya dari Keluarga Tjoa yang pertama kali mempopulerkan Batik Tiga Negeri sejak 1910, hingga berhenti produksi pada 2014.

Berhentinya pabrikan batik Keluarga Tjoa ternyata berakar pada masalah klasik batik di sektor hulu: kurangnya pembatik muda dan kesulitan regenerasi. “Membatik itu merupakan pekerjaan yang diwariskan turun temurun. Saat ini sulit menemukan anak muda yang mau meneruskan profesi ini dari keluarganya,” kata Aji Setyowijaya.

Kalaupun ada pembatik muda, tidak jarang hasil batik mereka tidak lagi sehalus dulu. Ini menjadi penyebab utama Keluarga Tjoa di tahun 2014 menghentikan produksinya. “Tidak jarang saat tradisi batik hilang di suatu daerah, para pembatik penerusnya yang berminat untuk menekuni batik memulai lagi dari awal dengan belajar dari nol. Hasilnya, batik yang tergolong kasar,” ujar Benny Gratha.

Menurut Poppy, untuk menarik minat generasi muda untuk terjun kembali dalam batik, kontekstualisasi dan edukasi atas batik dirasa penting. “Butuh sebuah gerakan untuk lebih mengenal proses membatik itu sendiri. Mengapresiasi itu bukan hanya memakai, tapi juga menemukan konteksnya dalam kehidupan masa kini. Mengenalkan secara detail proses batik dan berbicara dengan para perajin batik bisa menjadi cara,” kata Poppy. (SUBKHAN J. HAKIM)

 

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA