Membangun Panggung Kehendak Imam Sucahyo
Dengan bahan temuan di sekitar Tuban, Imam menciptakan figur-figur visual yang mengaburkan batas antara memori kenyataan dan imajinasi.
20 Jun 2025



Di ruang pamer Salihara, karya-karya Imam Sucahyo hadir dengan ekspresi mentah; sebuah energi yang berbeda namun tak kalah kuat jika disandingkan dengan figur-figur rumit milik Nindityo Adipurnomo. Perbedaan antara keduanya terasa mencolok secara teknis: karya Imam bersumber dari keseharian yang organik dan spontan, sementara karya Nindityo mencerminkan konstruksi simbolik dan pemikiran politik yang kompleks. Namun justru dalam perbedaan itu, keduanya saling melengkapi.

Kebebasan yang Hadir dari Keterbatasan
Karya kedua seniman tersebut hadir dalam pameran seni "Staging Desire" (Panggung Kehendak) yang sedang berlangsung di Komunitas Salihara. Zarani Risjad, kurator pameran ini, menuturkan bahwa karya-karya Imam Sucahyo lahir dari pengalaman pribadi dan imajinasi, dengan rumah sebagai simbol perlindungan, ingatan, dan identitas. Praktik kesenian Imam bermula dari pengamatan intens terhadap manusia, lanskap, dan ritme kehidupan sehari-hari di Tuban, hingga isu-isu kontemporer seperti ancaman abrasi dan tumpukan sampah di pelabuhan pada era Majapahit. Dengan bahan temuan di sekitar Tuban, seperti pensil, pulpen, krayon, kayu apung, plastik bekas, dan kerang, Imam menciptakan figur-figur visual yang mengaburkan batas antara memori kenyataan dan imajinasi.

“Secara teknis, memang karya saya terlihat mentah, sedangkan karya Mas Nindit lebih rumit,” ujar Imam. “Tapi saat berada dalam satu ruang, bentuk-bentuk dan material itu bisa saling mendukung. Meski saya banyak bercerita tentang orang-orang kecil, dan Mas Nindit lebih banyak bicara soal kemapanan dan politik; semuanya tetap bisa saling bicara.”

Imam tak pernah merasa perlu mendefinisikan estetika karyanya. Ia berkarya dengan apa yang ada, dengan bahan seadanya. Bukan karena ingin menunjukkan sikap minimalis, tapi karena itulah realitas yang ia hidupi. Bagi Imam, seni bukan soal kecanggihan alat, melainkan soal kemauan.

“Banyak teman perupa yang bilang mereka enggak bisa berkarya karena nggak punya cat atau kanvas,” katanya, “Padahal, buat saya justru tantangan di sekitar kita itu bisa dijadikan karya. Yang penting punya niat dan keberanian.”

Memperluas Tafsir Tradisi Wayang
Imam tumbuh dari lingkungan yang tidak menyediakan kemewahan dalam berkesenian. Tapi justru dari keterbatasan itu, Imam menemukan semacam kebebasan: untuk tidak tunduk pada standar materialistik dunia seni rupa, dan untuk menciptakan dengan cara yang lebih jujur terhadap keadaan

Di balik kesederhanaannya, karya Imam menyimpan kedalaman yang menggugah Nindityo Adipurnomo. “Wayang-wayang Imam,” ujar Nindit, “meminta untuk dilihat, dicermati, dan diimajinasikan ulang.” Bagi Nindit, Imam adalah seniman yang bekerja dengan jujur terhadap ekologinya. Ia menciptakan ratusan bahkan ribuan karakter tanpa mewajibkan kita menghafalnya. Imam, dengan penuh kerendahan hati, menyerahkan proses penafsiran sepenuhnya kepada pembaca dan penontonnya.

“Pembaca yang baik,” lanjut Nindit, “bukan hanya mampu membaca bentuk atau ornamen, tapi juga bisa menggali pengalaman pribadi melalui karya itu. Bahkan, kalau perlu, tak perlu mengikuti penjelasan senimannya sendiri.”

Dalam pandangan Nindityo, karya Imam tidak menggeser tradisi pewayangan, melainkan memperkaya cara kita menafsirnya. Ia melengkapi spektrum tafsir yang mungkin atas tradisi, dan dengan demikian justru menjaga tradisi itu sendiri, bukan lewat konservasi yang membekukan, tapi melalui perluasan makna.


Nyala Kehendak Sang Seniman
Berbicara soal kehendak, Imam sendiri menempatkan kehendak sebagai bagian penting dalam proses berkarya, dan mengakui banyak mendapat inspirasi dari kolaborasinya dengan Nindityo. Namun ia juga menegaskan bahwa setiap orang punya kehendaknya masing-masing. “Kalau enggak punya kehendak, orang itu seakan nggak punya gairah hidup,” tuturnya. Di saat yang sama ia juga menyadari bahwa kehendak bukanlah sesuatu yang bebas sepenuhnya.

“Ada batasnya. Kita enggak bisa berkehendak seenaknya, karena ada hal-hal yang di luar kendali kita, seperti kondisi fisik, mental, lingkungan, bahkan geografi. Kehendak itu selalu bergerak di antara batas-batas itu,” ujarnya.

Dalam karya-karya Imam, batas itu bukanlah halangan, tapi justru ladang refleksi. Sang seniman tidak mengajukan solusi atau retorika besar. Ia hanya mengajak kita melihat ulang, dengan mata yang lebih jujur dan kaki yang tetap berpijak. Bahwa dari bahan bekas pun bisa lahir panggung yang utuh. Bahwa kehendak yang terbatas tetap bisa melahirkan tafsir yang tak terbatas. Dan bahwa kehendak, sekalipun terkekang, tetap bisa menghidupkan.
 

***

 
Staging Desire” merupakan kerja sama Komunitas Salihara dengan Baseline, studio produksi kreatif yang berfokus menghubungkan seniman dengan khalayak yang lebih luas melalui inisiatif lintas disiplin. Pameran ini hadir di Komunitas Salihara pada 14 Juni - 27 Juli 2025.
 
Pameran ini juga akan disertai dengan dua kegiatan pendukung, yakni Wayang Liyan Workshop dan The Mindful Gaze (21+). Wayan Liyan Workshop merupakan Program untuk membuat wayang dengan bahan sederhana untuk anak-anak usia 7-12 tahun), sedangkan The Mindful Gaze adalah sebuah sesi sensorik intim bersama Nindityo Adipurnomo untuk mengalami seni melewati indera.
 
Kunjungi media sosial Komunitas Salihara dan Baseline untuk informasi lebih lanjut.

Teks: Mardyana Ulva

 


Topic

Art

Author

DEWI INDONESIA