Nindityo Adipurnomo: “Panggung Kehendak” dan Tafsir yang Tak Pernah Selesai
Dalam dunia yang seolah hanya mengakui yang objektif sebagai yang benar, ia mengingatkan bahwa objektivitas pun lahir dari kesepakatan subjektif yang distandarkan melalui bahasa.
20 Jun 2025



Di balik judul pameran Staging Desire (Panggung Kehendak) yang sedang berlangsung di Komunitas Salihara, seniman Nindityo Adipurnomo tidak menyuguhkan jawaban yang gamblang, melainkan undangan untuk menafsir. Ia menjelaskan bahwa berkesenian bukanlah alat ekspresi eksternal semata, melainkan ruang untuk membentuk subjektivitas yang otonom, yang merdeka dari tuntutan identitas eksternal.

“Identitas itu supervisial,” ujarnya. “Yang meminta dan meresmikan identitas kita adalah orang lain. Tapi subjektivitas… itu agenda hidup kita sendiri.”

Sebagai seseorang yang hidup dari dan melalui kesenian selama lebih dari tiga dekade, Nindit kerap berpindah medium, melompat dari satu bentuk ke bentuk lain. Semua itu, katanya, bukan soal eksperimen demi eksperimen, tapi proses pembongkaran terhadap zona nyaman. Ia percaya pada paradigma “unlearning”, yang membongkar ulang yang sudah dianggap mapan, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Saat menyinggung karya Imam Sucahyo, seniman yang juga ditampilkan dalam pameran ini, Nindit menggarisbawahi pentingnya membaca secara intuitif. Wayang-wayang Imam tak meminta dihafalkan atau dikategorikan, melainkan dilihat, diresapi, dan dimaknai secara personal. Penonton yang baik, menurutnya, bukanlah yang mengerti secara teknis, melainkan yang bisa menafsir ulang berdasarkan pengalaman sendiri, tanpa perlu bergantung pada tafsir senimannya sekalipun.

“Membaca yang baik adalah mampu mendedah dan mendudah hal-hal yang jauh lebih bermakna dari apa yang disampaikan oleh justru si pembuat teks, yakni senimannya sendiri,” ujarnya, “Pembaca yang baik adalah yang mampu menafsir dalam-dalam, mengambil makna serta manfaat bagi dirinya masing-masing.”

Pameran ini bukan sekadar pertunjukan kehendak pribadi dua seniman, melainkan panggung untuk melihat bagaimana kehendak itu tampil sebagai proses performatif dalam diri setiap penonton. Melalui lapisan bahan, simbol, dan cara mereka menantang formalisme seni, keduanya membuka ruang agar kita juga menjadi subyek, bukan sekadar pengamat.

“Renungkanlah kembali aktivitas tafsir itu,” kata Nindit pada penutup wawancara. “Karena hidup kita penuh dengan tafsir. Bahkan apa yang kita anggap objektif pun lahir dari kesepakatan para subyektif.” Di situlah, mungkin, panggung ini benar-benar dimulai dalam kepala dan perasaan masing-masing dari kita.

 
***
 
Staging Desire” merupakan kerja sama Komunitas Salihara dengan Baseline, studio produksi kreatif yang berfokus menghubungkan seniman dengan khalayak yang lebih luas melalui inisiatif lintas disiplin. Pameran ini hadir di Komunitas Salihara pada 14 Juni - 27 Juli 2025.
 
Pameran ini juga akan disertai dengan dua kegiatan pendukung, yakni Wayang Liyan Workshop dan The Mindful Gaze (21+). Wayan Liyan Workshop merupakan Program untuk membuat wayang dengan bahan sederhana untuk anak-anak usia 7-12 tahun), sedangkan The Mindful Gaze adalah sebuah sesi sensorik intim bersama Nindityo Adipurnomo untuk mengalami seni melewati indera.
 
Kunjungi media sosial Komunitas Salihara dan Baseline untuk informasi lebih lanjut.

Teks: Mardyana Ulva


 

 


Topic

Art

Author

DEWI INDONESIA