Seperti bukunya, film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini menjanjikan cerita menyentuh yang relevan dengan pergulatan batin masyarakat urban. Seperti bukunya pula, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini pada akhirnya hanya menyajikan cerita sepotong-sepotong yang berusaha direkatkan dan dihidupkan dengan plot yang tipis.
Baiklah, ketimbang tentang hari ini mari kita cerita tentang waktu NKCTHI pertama kali ramai dibicarakan orang awal 2018 silam. Bermula dari Instagram, NKCTHI adalah sebuah akun berisi penggalan kalimat-kalimat motivasi. Traksinya di platform Instagram luar biasa, dalam kurung waktu tujuh bulan akun itu berhasil menarik hingga ratusan ribu pengikut. Kontennya memang amat digandrungi karena kepiawaiannya membicarakan isu-isu yang relevan dengan anak muda urban tanpa menggurui layaknya Mario Teguh.
Tentu saja akun NKCTHI tidak anonim, melainkan dijalankan oleh penulis buku Generasi 90an, Marcella FP. Rupanya akun Instagram ini adalah bahan riset untuk buku teranyarnya yang diberi judul sama berisi penggalan-penggalan kalimat yang kebanyakan sudah diunggah pula di akun Instagramnya. Untuk menjadikannya kohesif, Marcella merekatkan penggalan-penggalan itu dengan plot “Seorang perempuan yang mengirim surat untuk anaknya di masa depan supaya ia tak lupa rasanya muda.”
Sejak terbit pertama kali pada Oktober 2018, buku NKCTHI disambut baik. Empat ribu buku ludes dalam beberapa menit pre-order pertama. Singkat cerita, begitu baiknya sambutan publik hingga menarik perhatian rumah-rumah produksi untuk mengembangkan kontennya dan Visinema yang berhasil menarik hati Marcella sebagai si empunya intellectual property (IP).
Percepat ke hari ini, setelah kurang lebih satu tahun produksi, film NKCTHI rilis pada 2 Januari 2020. Sama seperti ketika bukunya rilis, ulasan-ulasan tentang betapa menyentuhnya cerita film menjadi bahan promosi. Ketika cuplikan filmnya dikeluarkan Desember silam, terlihat keruwetan konflik keluarga menjadi landasan utama cerita film.
Sayang, untuk ukuran film yang menjual melankolia, film NKCTHI tak meninggalkan kesan atau rasa apapun selepas meninggalkan bioskop. Ada lima alur cerita yang coba disampaikan Jenny Jusuf dan Angga Dwi Sasongko dalam film ini: cerita dari sudut pandang ayah (Oka Antara/Donny Damara), ibu (Niken Anjani/Susan Bachtiar), Angkasa (Rio Dewanto) si sulung, Aurora (Sheila Dara Aisha) si anak tengah, dan Awan (Rachel Amanda) si bungsu. Namun, seperti bukunya cerita Awanlah yang menjadi penggerak plot.
Dari awal Angga sudah sudah memperlihatkan positioning tiga bersaudara tersebut. Si sulung yang mesti bertanggung jawab atas adik-adiknya, si tengah yang selalu merasa tersisih, dan si bungsu yang menjadi pusat dunia. Klasik. Cerita bermula dari Awan yang baru lulus dan sedang bekerja di firma arsitektur idamannya. Terbiasa selalu didengarkan dan dituruti oleh keluarganya, Awan ternyata dinilai tak punya kemampuan bekerja dalam tim oleh atasannya. Kontraknya pun batal diperpanjang.
Setelah dipecat, Awan lalu bertemu sosok Kale yang bisa menenangkan dan membuatnya nyaman. Di saat yang sama, ayah Awan semakin overprotektif terhadap si bungsu kesayangannya dan memantik konflik-konflik lain dalam keluarga “harmonis” itu hingga puncaknya pecah pertengkaran setelah malam pembukaan pameran Aurora.
Seluruh narasi tersebut bergulir sembari memperlihatkan dinamika hubungan anak-orangtua dan antar-saudara itu dengan pendekatan cerita maju-mundur ala This Is Us. Bisa dipahami kenapa kemudian Angga memilih treatment yang serupa untuk film NKCTHI. Penceritaan maju mundur semacam itu memang bisa memberikan gambaran latar tokoh dengan cara yang cukup efektif. Namun, hal tersebut rasanya tidak diadaptasi secara baik untuk film ini. Jika Anda menonton serial itu, alur cerita This Is Us bergerak cukup lamban dan penonton punya waktu untuk menyelami cerita tiap-tiap karakter lewat kilas baliknya. Masalahnya, di film ini Angga mesti memadatkan seluruh cerita dan dinamika lima tokohnya dalam film berdurasi dua jam.
Hasilnya adalah penceritaan konflik yang terasa datar, terlepas dari akting para bintangnya yang memukau. Perpindahan alur cerita antarkarakter yang terlalu cepat membuat penonton belum sempat menyelami dan memahami secara utuh pergulatan batin tiap-tiap karakter. Kecuali kisah si tengah Aurora yang disampaikan dengan cukup straight-forward—dan rasanya memang mendapatkan jatah kilas balik yang cukup banyak dibandingkan dengan Angkasa dan Awan.
Selain itu, meskipun film NKCTHI menjadikan Awan sebagai tokoh utama, toh tokoh ayahlah yang menjadi pusat cerita. Jika ditilik dengan jeli justru keputusan-keputusan tokoh ayah, reaksi-reaksinyalah yang lantas menggerakkan cerita dan mengeskalasi konflik. Tokoh-tokoh lain lantas hadir seolah hanya untuk menjustifikasi tindakannya.
Bahkan cerita dari sudut pandang tokoh ibu yang mestinya menjadi kunci resolusi terasa antiklimaks. Di momen langka dalam film ini saat ibu menyampaikan sudut pandangnya, alih-alih menceritakan pengalamannya dalam menghadapi kedukaan, ia malah cenderung memberikan pembenaran akan sikap sikap tokoh ayah. Dan semudah itu, resolusi pun tercapai, semua saling memaafkan dan keluarga pun kembali harmonis.
Dari segi teknis, NKCTHI tentu tak usah dipertanyakan. Pengambilan gambar dan peforma akting yang ciamik bisa menjadi dua nilai plus film ini. Pula dialog-dialog yang disampaikan dengan begitu mengalir antarkarakter. Akan tetapi, justru elemen utama ceritanya yang terasa mengganjal. Dalam film NKCTHI kerumitan hubungan antarsaudara serta antara orangtua dan anak rasanya diterjemahkan terlalu literal. Mungkin juga hal ini karena konflik keluarga yang disampaikan dalam film NKCTHI dipandang dari kacamata kelas menengah atas sehingga sulit beresonansi dengan anak-anak yang berasal dari keluarga di kelas-kelas masyarakat yang lain. (SIR). Dok. Istimewa.