Mencari Diri Dalam Jerami
Bagaimana mencari diri dalam lumbung seni rupa yang kian penuh sesak dengan berbagai persoalan? Tanyakan pada Ucok dan Tanto.
17 Dec 2012


1 / 4
 Menutup rangkaian pamerannya tahun 2012 ini, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar  pameran “Mencari Saya Dalam Sejarah Seni Rupa Saya”.  Pameran yang berlangsung di Bale Tonggoh SSAS hingga 30 Desember mendatang ini dipersembahkan oleh dynamic duo   yang dimiliki dunia seni rupa Bandung, Aminudin  T. H. Siregar dan R. E. Hartanto.  Karya-karya berupa lukisan dan new media itu merupakan buah dari kegelisahan dan kecemasan mereka berdua.  
 Pada akhir dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an, kedua seniman ini mewaranai dunia seni rupa Bandung, dengan ide-ide mereka yang segar dan progresif. Aminudin -yang biasa disapa Ucok - menggagas Blupart!, gerakan yang mengusung nihilisme dalam seni. Tanto - panggilan R. E. Hartanto - mendirikan Bandung Center for New Media Arts (BCfNMA) yang memberi warna baru bagi dunia seni  rupa Bandung.  Bersama komunitasnya, Tanto tak hanya mengeksplorasi lukisan sebagai medium utama. Ia menekuni media-media lain dengan pokok soal kecemasan dan ketakuan yang dihadapi manusia-manusia modern. Di titik itulah, Tanto dan Ucok bersinggungan. Karya-karya Ucok banyak sekali bicara perkara ketidak adilan politik dan sosial di masa itu.
 Ucok yang kini lebih banyak mengajar di almamaternya, Institut Teknologi Bandung, dan menjadi kurator berbagai pameran ketimbang berkarya mengaku gelisah melihat perkembangan dunia seni rupa Indonesia saat ini. “Memang benar pada batas historis tertentu seni pernah ‘bermanfaat’ dalam melengkapi, misalnya, manifesto nasionalisme. Tapi secara umum, seni rupa di Indonesia adalah kesia-siaan yang dipelihara agar kegilaan dinilai menjadi kewarasan. Dalam satu dasawarsa terakhir, karya-karya seni rupa di Indonesia lebih banyak omong kosongnya ketimbang manfaatnya bagi kemanusiaan,” kata Ucok.  Sementara Tanto merasa keadaan menydutkannya pada keadaan di mana ia sulit berkarya. “Kita selalu membayangkan diri sebagai insan yang berdaulat dan mandiri, bebas menentukan pilihan sendiri. Namun saat kebebasan tanpa panduan berhadapan dengan jutaan kemungkinan dan tidak tahu apa yang diinginkan, ia akan terpeleset ke dalam jurang kecemasan. Patah dan lumpuh dalam cekaman depresi,” Tanto mengatakan.  Keduanya terdengar pahit dan pesimistis. Tapi dalam dunia yang begitu riuh rendah dan kadang menjadi teramat banal, siapa yang tak mungkin merasakannya? (ISA) Foto: Dok. Selasar Sunaryo Art Space    

 

Author

DEWI INDONESIA