5 Cara Bahagia Andra Alodita
“Beyond Unsettled Pasts”: Menapak Jejak Kolonial, Membayangkan Dunia yang Lebih Adil
Petang Kreatif DEWI bersama Ardi Gunawan di ISA Art

“Beyond Unsettled Pasts”: Menapak Jejak Kolonial, Membayangkan Dunia yang Lebih Adil

Pameran “Beyond Unsettled Pasts” ini menyoroti realitas kompleks hidup berdampingan dengan masa lalu di masa kini dan bagaimana jejak-jejak kolonial terus mewujud.

Ada perasaan ironis ketika melangkahkan kaki ke ruang pameran Beyond Unsettled Pasts di Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda. Bagaimana tidak, sebuah pameran yang membicarakan jejak kolonialisme justru digelar di jantung institusi negara yang pernah menjajah Indonesia. Namun justru di situlah letak kekuatannya: ruang ini menjadi panggung yang mempertemukan sejarah, ingatan, dan refleksi, sekaligus mengajak kita menyadari bahwa masa lalu tak pernah benar-benar pergi.

Menghadirkan Karya Enam Seniman Indonesia

Dikuratori oleh Sadiah Boonstra dan Sukiato Khurniawan, pameran ini menghadirkan enam seniman rupa Indonesia: Arahmaiani, Budi Agung Kuswara, Dita Gambiro, Eldwin Pradipta, Elia Nurvista, dan Maharani Mancanegara. Melalui karya-karya mereka, jejak kolonial dibaca ulang dengan cara yang personal sekaligus politis: dari eksploitasi sumber daya, ketidaksetaraan sosial-rasial, hingga imaji tubuh perempuan yang digenderkan dan dirasialisasi.

Advertisement

“Kami mengkurasi Beyond Unsettled Pasts untuk membuat masa lalu kolonial menjadi tampak, sekaligus meningkatkan kesadaran tentang bagaimana warisan kolonial itu masih memengaruhi kehidupan sehari-hari,” ungkap Dr. Sadiah Boonstra, kurator utama sekaligus direktur CultureLab. “Namun pameran ini tidak hanya tentang masa lalu. Kami juga mencari jalan ke depan; strategi dan metode untuk membayangkan masa depan yang melampaui kolonialisme.”

Arahmaiani: Medium Ekspresi Kolektif

Salah satu karya yang dipamerkan yakni dari Arahmaiani, seniman lintas generasi yang dikenal vokal terhadap isu gender, agama, dan identitas. Di sini, ia memamerkan “𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘭𝘢𝘨 𝘗𝘳𝘰𝘫𝘦𝘤𝘵” (2006–kini), yang pada prosesnya, ia melibatkan berbagai komunitas untuk menggali nilai-nilai bersama: harapan, ketakutan, hingga doa. Semua itu kemudian ‘dijahit’ tangan di atas bendera dan dikibarkan dalam parade.

Jika biasanya bendera lekat dengan nasionalisme, di tangan Arahmaiani ia berubah menjadi medium ekspresi kolektif, ruang dialog lintas iman dan budaya, serta arsip hidup untuk membayangkan masa depan yang bebas dari warisan kolonial. Gagasan itu meluas dalam “Ecology of Peace”(2022), sebuah karya video yang menekankan pentingnya hubungan spiritual manusia dengan alam sebagai bagian dari perjuangan dekolonial.

Monumen Imajiner Dita Gambiro

Sementara itu, di sisi lain ruang pamer, Dita Gambiro mengajak kita menelusuri ingatan kolektif lewat arsitektur sehari-hari. Berangkat dari memori atas kekerasan anti-Tionghoa 1998, ia menyoroti detail ruko-ruko di Kebayoran Lama dan Glodok, dari teralis hingga jeruji jendela logam, yang diam-diam menyimpan jejak trauma. Bagi Dita, elemen-elemen itu bukan sekadar detail fungsional, melainkan simbol diam yang sarat makna: perlindungan, rasa takut, sekaligus resiliensi.

Karya Dita dapat dibaca sebagai “monumen imajiner” yang mengaitkan arsitektur, ingatan, dan luka yang belum sembuh. Ia seakan mengingatkan bahwa pengakuan atas trauma menjadi bagian penting untuk mencegah sejarah kelam berulang.

Jika Arahmaiani menyalakan imajinasi tentang masa depan yang damai dan setara, Dita mengingatkan kita untuk tidak melupakan masa lalu. Keduanya bertemu di titik yang sama: menggarisbawahi kemanusiaan sebagai pusat dari praktik artistik dan politik ingatan di Indonesia hari ini.

Masa Lalu di Masa Kini

Sebagai pengunjung, kesan yang tertinggal adalah bagaimana ingatan tidak bisa dipisahkan dari ruang dan tubuh. Setiap karya terasa seperti percakapan dengan fragmen sejarah, dan dalam perspektif perempuan, ingatan itu kerap berlapis: tentang tubuh yang menjadi objek, ruang yang diperebutkan, hingga suara yang terbungkam.

Boonstra menambahkan, “Dengan menghadapi sejarah yang sulit ini bersama-sama, Indonesia dan Belanda bisa bekerja menuju masa depan dengan kerjasama yang lebih konstruktif dan saling memahami.”

Di titik inilah, Beyond Unsettled Pasts terasa relevan bagi Indonesia hari ini. Kolonialisme bukan sekadar catatan di buku sejarah; ia adalah struktur yang masih hidup dalam bentuk ketimpangan ekonomi, warisan sosial, hingga cara kita melihat diri sendiri. Dan melalui seni, para seniman perempuan maupun laki-laki yang berpameran di sini mengingatkan kita bahwa ingatan adalah medan perlawanan, sekaligus jendela menuju kemungkinan yang lebih adil.

***

Pameran ini bukan hanya sekadar tontonan estetis. Ia adalah undangan untuk merenung, berdialog, dan menyadari bahwa jalan keluar dari masa lalu hanya mungkin jika kita berani menatapnya secara jujur.

Beyond Unsettled Pasts berlangsung di Erasmus Huis, Jakarta, hingga 1 November 2025.

Teks: Mardyana Ulva
Foto: dok. DEWI

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

5 Cara Bahagia Andra Alodita

Next Post

Petang Kreatif DEWI bersama Ardi Gunawan di ISA Art

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.