Krisis iklim sudah di depan mata. Lihat saja hujan deras dan banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya sejak 1 Januari 2020, juga kobaran api di Australia yang melalap jutaan hektare lahan sejak beberapa bulan terakhir. Puluhan korban jiwa berjatuhan, baik itu di Jakarta dan juga Australia. Bukan cuma manusia, berbagai spesies hewan di hutan-hutan Australia pun menjadi korban. Dilansir dari CNN setidaknya sepertiga populasi koala di Australia dilalap si jago merah yang juga menghanguskan sepertiga habitat mereka di New South Wales, Australia.
Banjir di Jakarta disebabkan terutama oleh curah hujan yang amat tinggi, sementara kebakaran di Australia disebabkan musim kering dan suhu panas yang ekstrem. Kedua hal ini menjadi penanda jelas krisis iklim yang sedang melanda Bumi akibat pemanasan global. Laporan demi laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan aktivitas manusia menjadi pendorong signifikan pemanasan global.
Segala aktivitas yang dilakukan manusia menghasilkan emisi karbon. Emisi karbon inilah yang kemudian menghangatkan suhu bumi dan mengubah siklus iklim sekaligus membuatnya kian ekstrem. Tidak hanya itu, aktivitas ekstraksi dan eksploitasi alam yang dilakukan manusia juga mengganggu siklus natural alam yang memperparah efek perubahan iklim ekstrem.
Ambil contoh di Jakarta. Pengambilan air tanah yang seenaknya dan sembarangan, terutama untuk kebutuhan apartemen, hotel-hotel, dan pusat-pusat perbelanjaan megah menyebabkan percepatan penurunan tanah di Jakarta. Belum lagi pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya tidak memiliki perspektif mitigasi bencana, sehingga dampaknya sering kali tak bisa diminimalisasi.
Perubahan sistemik dari pemerintah rasanya belum akan terjadi dalam waktu dekat. Namun krisis iklim tidak akan menunggu hal itu sebelum ia kembali menunjukkan taringnya. Dua hal yang bisa kita lakukan adalah berusaha mengurangi emisi karbon sembari memberikan tekanan kepada pemerintah untuk membuat gebrakan dalam menanggulangi krisis iklim. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa ktia lakukan bersama untuk mengurangi emisi karbon.
Mengurangi Konsumsi Daging Merah
Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk mengurangi jejak karbon adalah dengan mengurangi konsumsi daging merah. Sebagai gantinya, Anda bisa menjadikan ayam sebagai pengganti konsumsi protein harian
Dilansir dari New York Times, produksi daging sapi untuk sekali konsumsi melepaskan 27 kilogram gas karbon ke atmosfer. Bandingkan dengan satu kilogram ayam yang hanya melepaskan 6,9 kilogram emisi karbon ke atmosfer. Selain ayam, beberapa hidangan laut juga bisa menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan seperti ikan pollock atau kerang yang masing-masing hanya menghasilkan 1,6 kilogram dan 0,6 kilogram emisi karbon. Meski demikian, kita tetap harus memilah jenis hidangan laut yang dikonsumsi. Sebab beberapa produksi hidangan laut, seperti udang, bisa menghasilkan emisi karbon yang lebih besar dari ayam—bahkan hampir sama dengan daging merah.