Bagaimana Sebaiknya Memperlakukan Orang dengan Gangguan Mental
Kesehatan mental perlu disadari, pahami, dan diterima semua orang bukan hanya penderitanya.
27 Jun 2020



Penderita gangguan mental kerap mendapat penghakiman dari orang lain. Stigma menjadi salah satu hambatan seseorang mencari pertolongan terhadap kesehatan mental dirinya. Padahal, sebaiknya respons dan perlakuan terhadap penderita dapat ditunjukan melalui dukungan dan penerimaan pada orang yang mengalami gangguan jiwa.
 
Terdapat dua istilah yaitu validasi dan invalidasi. Validasi adalah kita menyangkal semua perasaan dan emosi yang dirasakan oleh orang lain.“Dengan mengatakan, kamu kurang bersyukur atau kamu kurang berpikir positif, Tanpa mau mendengarkan dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Sedangkan validasi, kita bisa bilang kalau saya memahami apa yang kamu rasakan” kata dr. Jiemi Ardian, Psychiatrist dan National Hypnotherapy Instructor.
 
Banyak orang yang justru melakukan respons invalidasi. Mereka menyangkal semua perasaan dan emosi yang dirasakan tanpa mau mendengarkan dan memahami. Padahal, respons validasi yang sebenarnya dibutuhkan.
 
Respons validasi memberikan ruang bagi seseorang untuk menyadari emosinya tanpa penghakiman. Tidak juga tergesa-gesa untuk menuju kesimpulan atau saran tetapi mendengarkan dan merasakan apa yang penderita rasakan. Tidak mesti selalu setuju tapi lebih kepada memahami.
 
Setelah menjadi pendengar yang baik, tahap selanjutnya adalah membawa penderita gangguan jiwa ke tangan yang tepat. Hindari melakukan tindakan di luar kemampuan seperti menjadi terapisnya.
 
“Jika penderita sudah mengkonsumsi obat dari psikiater untuk mengatasi permasalahan kejiwaannya, jangan lakukan pill shaming. Obat itu baik dan aman untuknya, memintanya berhenti atas alasan mitos kecanduan, efek samping membuat ginjal rusak atau merusak liver, itu sama sekali keliru dan akan menyebabkan derita bagi orang yang mengalami.” katanya menjelaskan
  
Sulit diketahui secara pasti apakah penderita gangguan jiwa bisa sembuh total karena diagnosis pada masing-masing orang berbeda. Demikian pula penanganannya. Beberapa diagnosis berlangsung sangat singkat. Ada pula yang bahkan berlangsung seumur hidup. Sebagian membutuhkan obat yang dikonsumsi jangka panjang dan yang lainnya tidak butuh obat. (WHY) Foto: Dok. Toa Heftiba/Unsplash

 

 

Author

DEWI INDONESIA