COVID-19: Cara Saya Tetap Waras Selama Isolasi
Berdiam diri di rumah memang bisa membuat Anda (dan orang lain) lebih aman, namun bisa juga memengaruhi kesehatan mental, terutama jika Anda tinggal sendiri seperti saya.
25 Mar 2020



Sebagai seorang introver, sebenarnya saya cukup senang berdiam di rumah. Apalagi pekerjaan sehari-hari menuntut saya untuk menjadi lebih ekstrover, sehingga sangat penting bagi saya untuk menyendiri dan mengisi ulang “baterai” mental saya, atau membatasi sosialisasi dengan hanya berkumpul dengan segelintir saja teman-teman terdekat untuk makan siang/malam.

Namun lain cerita bila saya dipaksa berdiam di rumah tanpa pilihan lain—ya, seperti sekarang ini. Di tengah pandemi global Covid-19 (atau Coronavirus) yang meresahkan, kehidupan masyarakat di seluruh dunia yang biasanya tak pernah berhenti dan seolah selalu harus produktif, tiba-tiba disuruh diam. Perasaan saya cukup campur aduk, dari shock, panik, was-was, hingga kadang paranoid.

Meski hanya berdiam di rumah, suasana cukup terasa mencekam—mungkin ini rasanya berada di tengah zona perang. Bedanya, kita bukan dibidik oleh peluru dan misil, melainkan oleh musuh yang tak terlihat dan tak terdeteksi: virus. Mengikuti berita outbreak ini sejak awal Januari lewat media internasional, perasaan saya secara gradual berubah, dari was-was, sedikit takut, hingga sekarang menjadi shock dan panik karena virus ini akhirnya sampai juga di depan mata (atau nyawa?). 

Saya sangat mengkhawatirkan kesehatan anggota keluarga saya yang masuk kelompok rentan. Bukan hanya khawatir terinfeksi, tapi saya takut menjadi carrier virus dan menulari mereka yang lebih rentan. Setiap hari membaca perkembangan dan berita buruk, saya jadi stres dan kemudian menjadi psikosomatis—saya sering merasa sakit tenggorokan atau sumeng-sumeng. Jadilah saya membeli termometer dan mengukur suhu tubuh sendiri sekali atau dua kali dalam sehari.

Setelah beberapa hari hidup dalam kecemasan, saya memutuskan untuk memutus tali pikiran negatif ini dengan melakukan aktivitas yang mengalihkan pikiran saya dan membuat saya menjadi lebih tenang dan positif.

Membuat playlist berisi lagu-lagu yang membangkitkan semangat. Mereka yang mengenal saya dengan baik pasti tahu bahwa pilihan lagu di playlist saya biasa sangat moody (atau “lagu garuk-garuk aspal” kata beberapa teman). Saya lalu membuat playlist baru yang saya sebut Feel Good Tunes, berisi lagu-lagu yang selalu membuat saya sedikit berjoget atau menggoyangkan kepala saat mendengarkannya. Say ajuga bertanya kepada beberapa teman, rekomendasi lagu feel good mereka untuk saya dengarkan.

Memasak—dan membagikannya. Saya menyebutnya anxious cooking. Bukannya saya belanja panik sampai kulkas penuh, namun karena saya tinggal sendiri dan kulkas saya memang selalu penuh dengan botol-botol selai, bumbu, dan lain-lain, seringkali bahan segar tidak dapat tempat lagi di kulkas sehingga harus segera saya olah. Tentunya kalau hasil masakan yang lebih dari cukup untuk satu mulut itu saya habiskan sendiri, saya bisa jadi antara bosan dan muak dengan makanan tersebut. Maka saya membagikannya kepada teman-teman dekat dan kakak saya. Saat mereka mengungkapkan rasa senang dan juga memuji rasa masakan saya (entah jujur atau sekadar sopan), saya jadi merasa lebih baik. Selain itu, saat mengirimkan makanan lewat jasa ojol, saya cukup senang masih bisa memberi para driver ini sedikit penghasilan di saat orderan tentu lebih sepi.

Yoga. Sedih rasanya saat saya harus berhenti berlatih di studio langganan saya untuk sementara waktu. Meski saya cukup sering melakukan home practice sendiri, namun energi yang dirasakan saat berlatih bersama teman-teman di studio sangatlah berbeda. Di saat yang cukup membuat down ini, saya merasa unmotivated untuk berlatih sendiri. Untungnya teknologi bisa menjembatani hal ini. Saya pun berlatih “bersama” teman-teman saya via aplikasi Zoom. Sementara beberapa studio dan instruktur yoga juga menawarkan live streaming kelas yoga via akun instagramnya yang bisa diikuti di rumah. 

Membatasi membaca, lebih banyak mendengar. Bukan maksudnya tidak membaca buku, ya. Namun saya membatasi screen time saya di smartphone. Dari yang biasanya mencari dan membaca berita tentang Covid-19 sepanjang hari, saya membatasi diri dan menyaringnya menjadi 1-2 artikel, utamanya yang bernada positif seperti perkembangan vaksin atau menurunnya kasus baru di beberapa tempat. Saya memilih lebih banyak mendengarkan podcast dengan tema-tema yang lebih ringan, menginspirasi, maupun edukatif. Hal ini saya lakukan sambil memasak, sambil melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci dan menyapu/mengepel, juga saat sebelum tidur.

Membereskan rumah. I’m always Marie Kondo-ing my place even though it never looks anywhere close to minimalistic. Apartemen saya yang kecil cukup sesak dengan berbagai macam barang, jadi saya suka melakukan pembersihan, minimal setahun dua kali, terutama lemari pakaian dan aksesori saya, juga stok makeup dan skincare yang sering menumpuk. Saat ruangan terlihat lebih rapi dan bersih, pikiran jadi terasa lebih jernih dan perasaan jadi lebih lapang.

Reach out and connect. Biasanya saya tidak suka melakukan pembicaraan lewat telepon maupun video, karena kalau saya lagi butuh waktu sendiri, saya tidak akan keluar untuk bertemu dengan siapa pun, apalagi ngobrol. Namun dengan adanya social distancing, membuat saya lebih sering menggunakan teknologi ini untuk hal-hal di luar pekerjaan. Janjian makan malam “bersama” via Google Hangout atau Zoom dengan teman-teman atau menelepon Ibu saya untuk bertatap muka sejenak. Terkadang saya juga mengirim pesan-pesan “hi, just because” lewat voice note. Beberapa orang mungkin terlihat baik-baik saja namun kesepian dalam isolasi, sehingga penting untuk mengecek mereka dan menanyakan kabar mereka setiap beberapa waktu. (Margaretha Untoro). Foto: Dok. Istimewa.



 

 

 


Topic

Culture

Author

DEWI INDONESIA