Berkenalan dengan Kain Tradisional atau Wastra Nusantara
Kenali lebih dalam wastra Nusantara atau kain tradisional.
24 Aug 2015


Kain tradisional atau yang kini biasa disebut dengan istilah wastra merupakan salah satu bagian penting dalam budaya banyak suku di Indonesia. Perkenalan masyarakat Indonesia dengan wastra ini, menurut Wieke Dwiharti, antropolog dari Universitas Indonesia yang juga pencinta dan penggiat pelestarian wastra Nusantara, terjadi sejak sekitar abad kedua ketika pengaruh Hindu mulai masuk. “Karena letaknya yang strategis, Indonesia yang dulu bernama Nusantara ini menjadi melting pot bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya. Ada dua beradaban yang masuk ke sini, yakni dari Barat dan Utara. Barat itu misalnya dari India dan sebagainya yang membawa budaya Hindi dan Buddha yang memberi cukup banyak nuansa bagi budaya Nusantara,” kata Wieke. Para pendatang yang kebanyakan singgah untuk berdagang memang memberi pengaruh budaya yang berinteraksi dan kemudian diadaptasi oleh budaya lokal. “Dalam sebuah relief di Borobudur misalnya,ada penggambaran orang memakai kain bermotif kawung,” kisah Wieke sembari menyebut salah satu motif popular dalam batik.

Adaptasi dan akulturasi ragam wastra para pendatang yang diserap dan dipadukan dengan budaya asli, baik dengan organisasi dan strata social atau religi banyak yang kemudian melahirkan banyak hal baru baik dalam bahan yang dipakai, teknik pembuatan, hingga ragam motif serta filosofi di baliknya. Wastra, di banyak suku di Indonesia kerap tak berhenti pada fungsi praktis sebagai alat penutup tubuh. Ia menyelinap ke relung-relung yang dalam dari kehidupan masyarakat suku-suku tersebut mulai kelahiran hingga kematian. “Ada cukup banyak suku di Indonesia yang mempercayai bahwa wastra punya tuah bagi hidup mereka dari mulai untuk menyembuhkan penyakit sampai untuk menolak bala. Salah satu yang memiliki keyakinan itu misalnya masyarakat Bali Aga di Tenganan Bali. Mereka percaya bahwa tenun Grinsing yang menjadi wastra khas mereka itu punya khasiat sebagai alat penyembuh. Ada pula yang meletakkan wastra sebagai simbol status sosial seperti di daerah Sumatera Selatan, ketika wilayah itu masih dalam naungan kerajaan Sriwijaya. Benang emas yang mereka pakai dalam songket adalah symbol kejayaan karena saat itu Sriwijaya memiliki emas yang berlimpah. Tak jarang wastra pun mendapat posisi keramat sebagai jimat penjaga keselamatan pemakainya seperti misalnya diyakini dari Batik Besurek yang berisi penggalan-penggalan huruf dari kitab suci,” Wieke menjelaskan.

Di banyak daerah lain, wastra pun bisa memiliki posisi sosial yang bernilai. Masyarakat Sorong Papua misalnya, memakai tenun Timor yang menjadi wastra khas daerahnya sebagai mas kawin. Di Timor sendiri, seorang ibu biasa menenun sendiri kain untuk mereka berikan sebagai warisan –atau paling tidak cinderamata- bagi anak dan menantu mereka. Hal yang Wieke katakan itu bisa dibuktikan dari kisah Christina Manesanulu, seorang ibu dua putra yang bersuamikan seorang pria asal Timor dan kini menetap di Doha yang pernah bercerita tentang ibu mertuanya yang selalu menghadiahi dirinya, suami dan anak-anak mereka masing-masing selembar kain yang ia tenun sendiri tiap kali mereka mengunjunginya di desa. “Rata-rata setiap kain itu ditenun ibu mertua saya selama tiga bulan. Setahun sekali saat libur panjang, pulang ke Indonesia dan kami menjenguk ibu, beliau selalu mengoleh-olehi kami kain tenun buatannya. Sampai penuh lemari kami dengan tenun buatan ibu,” cerita Christina yang menyimpan dengan baik hampir semua tenun pemberian ibu mertuanya itu.

Dalam pengamatan Wieke, sebagai hasil kriya, berbagai jenis wastra seperti batik, tenun, songket dan lainnya –terutama yang dibuat dengan tangan- memang bisa terawat kelestariannya manakala ada kebutuhan tetap dari masyarakat dari mana wastra tersebut berakar. “Wastra-wastra yang bisa bertahan itu biasanya adalah wastra yang tumbuh dalam masyarakat yang selalu punya kebutuhan untuk memakai wastra tersebut,” kata Wieke sambil menyebut beberapa wastra yang masih eksis hingga kini seperti Ulos, Songket, Batik Besurek, Tapis, Batik, Tenun Tuban, Tenun Endek Tenun Sumba dan sebagainya. Namun minat tinggi masyarakat untuk kembali mengenakan kain tradisional seperti batik yang meningkat luar biasa pasca penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh UNESCO yang kemudian merambat pada pengenalan dan terbukanya wawasan masyarakat atas keberadaan wastra Nusantara lainnya menurut Wieke memberi keuntungan bagi wastra yang tumbuh dalam masyarakat di mana penggunaan wastra tak menjadi kebutuhan seperti yang terjadi di Lasem, Cirebon, Garut dan sebagainya. “Karena permintaan pasar dari luar daerah tersebut tinggi, proses produksi bisa terus berlangsung,” kata Wieke.  (Indah S. Ariani)               

 

Author

DEWI INDONESIA