Mencari Bentuk, Menemukan Suara: Seni Membangun Brand Fashion yang Autentik

Diskusi ini menyoroti bagaimana estetika, intuisi, dan ketekunan bekerja bersama dalam membentuk identitas brand
Percakapan ini membuka cara para kreator merawat identitas brand melalui intuisi, eksperimen, dan strategi. (ki-ka: Uli Herdinansyah (moderator), Runa dari Gelap Ruang Jiwa, Angga dari Jan Sober, serta Dika, Editor-in-Chief Majalah DEWI dan Creative Director Jakarta Fashion Week)

Gemerlap dan glamornya industri fashion sering kali menyembunyikan perjalanan panjang di balik sebuah identitas brand. Jakarta Fashion Week (JFW) menghadirkan sebuah sesi talkshow bersama tiga pelaku kreatif, mengajak para pemirsanya menelusuri bagaimana identitas, estetika, dan strategi bisnis dirangkai menjadi fondasi yang membuat sebuah label bertahan. Nisa Runa (Founder & Creative Director, Gelap Ruang Jiwa), Angga (Founder & Creative Director, Jan Sober), serta Andandika Suresetja (Editor-in-Chief Majalah DEWI dan Creative Director JFW), menggali proses kreatif dan merumuskan strategi bisnis yang berkelanjutan.

Akar Kreativitas dan Penemuan Identitas

Bagi Runa, proses kreatif jenama yang ia dirikan berawal dari eksplorasi material yang organik. Apa yang dimulai sebagai tugas sekolah tentang material daur ulang, terus ia kembangkan setelah lulus pada periode 2016-2018, hingga akhirnya matang menjadi produk yang siap dipasarkan.

Runa menekankan pendekatannya yang intuitif terhadap desain. Identitas estetika Gelap Ruang Jiwa yang ekspresionis, abstrak, organik, dan brutalist dengan sentuhan tekstur, ditemukan saat ia masih berkuliah, melalui identifikasi elemen berulang dalam karyanya.

Advertisement

“Penting untuk menemukan apa yang secara alami muncul dari diri sendiri, konsisten dengannya, dan menemukan media yang tepat untuk mengekspresikannya,” jelas Runa.

Pendekatan desainnya kemudian berevolusi dari murni intuitif menjadi kombinasi intuisi dengan rasionalitas bisnis. Ia belajar mengaitkan kreativitas naluriahnya dengan pertimbangan komersial, memanfaatkan latar belakang seni rupa untuk memastikan tidak ada proses atau material yang terbuang. Proses desainnya di Gelap Ruang Jiwa difokuskan pada pengumpulan material bekas dan uji coba teknik, menghasilkan bentuk abstrak bertekstur yang unik dan bersifat handcrafted—identitas yang membedakan produknya.

Keberanian Memulai dalam Skala Kecil

Di sisi lain, Angga mendirikan Jan Sober dengan latar belakang yang berbeda. Walaupun belajar bisnis, ia memilih memulai label fesyen dengan modal awal yang minim, hanya Rp10 juta, menentang rekomendasi profesornya yang menyukai model bisnis skala besar.

Ia mendanai bisnisnya secara mandiri, bermodal gaji pertamanya sekitar Rp5 juta. Angga kemudian belajar mendesain, memahami kain, dan proses produksi melalui otodidak, memanfaatkan YouTube dan komunikasi dengan kontak industri.

Identitas visual Jan Sober muncul dari selera pribadinya yang minimalis dan fungsional, berfokus pada estetika “kemodernan yang halus” (modern sophistication). Jan Sober pun berevolusi, dari awalnya hanya berfokus pada pakaian pria, kini merangkul unisex dan pakaian perempuan, sambil mempertahankan DNA intinya.

Mempertahankan DNA Merek di Tengah Evolusi

Andandika Surasetja, sebagai perwakilan dari JFW yang juga mengembangkan Fashion Force Awards, menjelaskan bahwa platform ini memberikan legitimasi dan eksposur media yang sangat dibutuhkan. Menurut Dika, setiap era memiliki tantangan berbeda: ketika ia memulai, media masih konvensional, sementara Angga meluncurkan Jan Sober saat pandemi, ketika segala sesuatu beralih ke ranah digital. Platform ini membantu menjembatani upaya individual menjadi bisnis yang terinstitusi.

Andandika juga membedakan antara brand identity (elemen permukaan seperti warna dan kemasan) dengan DNA merek yang lebih mendalam, yang harus tetap ada meskipun elemen desain berubah. Ia menekankan bahwa kreativitas harus mengakomodasi aspek komersial agar dapat bertahan.

Angga menjelaskan bagaimana Jan Sober mengelola evolusi produk tanpa kehilangan identitas inti. Mereka membagi produk menjadi tiga kategori: item inti Jan Sober, item yang mengikuti tren, dan karya eksperimental.

“Penting untuk tahu kapan sebuah desain terasa autentik Jan Sober, versus sesuatu yang milik merek lain,” ujarnya.

Keterbukaan terhadap pembelajaran berkelanjutan juga menjadi kunci. Angga menikmati belajar hal-hal baru, termasuk bahasa dan pengalaman perjalanan, yang memperluas perspektifnya, memungkinkannya bersikap reseptif terhadap tren tanpa harus mengejar tren dari luar.

Inovasi, AI, dan Ketahanan Jangka Panjang

Diskusi mengenai peran kecerdasan buatan (AI) menunjukkan pandangan yang berbeda berdasarkan proses produksi masing-masing jenama. Runa, yang sangat mengandalkan kerajinan tangan dan pembentukan fisik, merasa AI kurang relevan dalam proses Gelap Ruang Jiwa. Sebaliknya, Angga mengakui bahwa AI dapat menggantikan beberapa tugas desain, tetapi ia menekankan bahwa elemen manusia, yakni konseptualisasi, visi, dan pemikiran kreatif, tidak dapat digantikan. Ia mendorong pentingnya terus belajar agar tetap unggul dari otomatisasi.

Dika menyimpulkan bahwa kunci ketahanan merek (brand sustainability) di pasar yang padat adalah diferensiasi. Dalam komunitas yang dihuni lebih dari 40 label, mempertahankan identitas inti “kemodernan yang halus” seperti yang dilakukan Jan Sober sangatlah penting. Kedua jenama ini membuktikan bahwa dengan komitmen pada proses kreatif yang otentik dan kemauan untuk beradaptasi, sebuah visi intuitif dapat bertransformasi menjadi bisnis yang kokoh dan berkelanjutan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

InJourney Hospitality Persembahkan Kolaborasi Eksklusif Erwin Gutawa & Indra Lesmana di Sanur

Next Post

Dua Gatra Rancang Rama Dauhan Gold dan Didi Budiardjo

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.