Merayakan dan Melestarikan Keberagaman Ikat di World Ikat Textile Symposium 2019
World Crafts Council-Asia Pacific Region menyelenggarakan World Ikat Textile Symposium 2019 untuk merayakan dan menggalakkan pelestarian tradisi ikat di Indonesia
27 Aug 2019


Peragaan busana Didi Budiarjo pada hari pertama World Ikat Textile Symposium 2019.
1 / 2

Belakangan kain ikat makin mendapatkan sorotan seiring dengan keindahan Sumba sebagai destinasi pariwisata kian populer. Ikat memang makin digemari terutama sebagai cendera mata dari salah satu wilayah di timur Indonesia itu.

Namun, tradisi ikat tentu lebih dari sekadar jalinan benang yang membentuk kain. Tiap motif dan warna yang tertera dalam ikat memiliki kisah yang juga penting untuk dilestarikan. Untuk itu, World Crafts Council-Asia Pacific Region (WCC-APR) menyelenggarakan World Ikat Textile Symposium (WITS) 2019 di Jakarta pada 23-25 Agustus 2019.

Acara tersebut menghadirkan pameran, peragaan busana, panel diskusi, hingga ajang breakfast with the artisans yang memungkinkan peserta berinteraksi langsung dengan para penenun dari berbagai wilayah di Indonesia.

Rangkaian acara dibuka dengan opening ceremony sekaligus exhibition viewing di Museum Tekstil pada 23 Agustus 2019 yang langsung dilanjutkan dengan sesi pertama simposium di Hotel Santika Premiere Slipi. Tema sesi pertama simposium membahas tentang berbagai tradisi ikat di seluruh penjuru dunia. Mulai dari India, Thailand, hingga Uzbekistan.

Selanjutnya peserta disuguhi peragaan busana hasil olahan ikat hasil karya desainer dari berbagai negara. Total ada 12 koleksi yang ditampilkan dalam peragaan busana ini yang ditampilkan dalam dua sesi. Pagelaran itu dibuka dengan koleksi dari Narda’s hasil rancangan Lucia Catanes (Filipina), Vriksh oleh Gunjan Jain (India), Lasalle College Jakarta Fashion School Graduates (Indonesia), Ofie Laim (Indonesia), Meechai Taesujariya (Thailand), dan Maru oleh Umarova Markhamatkhon (Uzbekistan).

Pagelaran busana kemudian dilanjutkan dengan penampilan koleksi dari Siam Craft oleh Natrintr Choosetthawong (Thailand), Melor oleh Melinda Omar (Malaysia), koleksi lain dari Lasalle College Jakarta Fashio School Graduates (Indonesia), Noesa (Indonesia), Toraja Melo (Indonesia), Didi Budiarjo (Indonesia).

Rangkaian simposium berlanjut di hari kedua dengan rangkaian panel diskusi yang mengangkat berbagai tema. Tradisi ikat di Indonesia jadi fokus utama di panel-panel diskusi simposium hari kedua. Dua tema yang diangkat adalah tentang tradisi ikat di berbagai daerah serta cara-cara yang perlu ditempuh untuk melestarikannya.

Dalam panel tersebut hadir penggagas program Sekar Kawung Chandra Prijosusilo yang melakukan pemberdayaan desa-desa penenun di Sumba Timur dengan menerapkan model bisnis berkelanjutan sehingga pelestarian tradisi yang mereka lakukan memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Ada juga Nurul Akriliyati yang meneliti dan turut melestarikan tradisi ikat Gringsing di Bali.

Ada pula pembahasan tentang perlindungan identitas kebudayaan lewat Geographical Indication yang materinya disampaikan Konsultan Geographical Indication Internasional Stephan Passeri. Dalam sesi ini, WCC-APR juga mengundang Tommy Utama yang sudah dua tahun terakhir berkolaborasi dengan Cita Tenun Indonesia dan bekerja sama dengan para penenun di Troso untuk mengembangkan tradisi ikat mereka sendiri.

Simposium hari kedua kemudian ditutup dengan panel diskusi bertema “Creative Imaginings—Evolutions & Innovations in Ikat”. Fokusnya adalah membicarakan bagaimana ikat bisa jadi tetap relevan untuk generasi muda. Dalam panel ini hadir Lucia Catanes dari brand Narda (Filipina), Eric Ong dari The Rumah Garie (Malaysia), dan Cendy Mirnaz serta Annisa Hendrato dari Noesa (Indonesia). Ketiganya berbagi cerita masing-masing tentang inovasi-inovasi yang dilakukan untuk membuat ikat jadi relevan dan terjangkau bagi anak muda.

Cendy dan Annisa misalnya bercerita bagaimana keduanya menghabiskan banyak waktu untuk riset lapangan di Maumere, Nusa Tenggara Timur sebelum akhirnya bisa membuat strategi pengembangan produk yang sesuai bagi konsumen anak muda sembari terus mendorong pemberdayaan komunitas penenun lokal di Maumere.

Rangkaian WITS 2019 diakhiri dengan breakfast with the artisans serta berbagai lokakarya. Seperti lokakarya pembuatan pewarna natural, eco printing, perawatan tekstil, dan sebagainya. Demikianlah gelaran ke-4 WITS dsetelah sebelumnya diselenggarakan di London pada 2016, India dan Malaysia pada 2017, serta Thailand pada 2018. (Teks: SIR/Foto: SIR & WITS/)

 


Topic

Events

Author

DEWI INDONESIA