Opini: Mode yang Berkelanjutan, Sebuah Utopia?
Kebutuhan kita untuk mengekspresikan diri melalui penampilan menyumbangkan dampak buruk yang signifikan pada bumi.
2 Aug 2019


Caption


Kehidupan manusia modern telah lama disadari memiliki dampak buruk pada lingkungan. Beberapa tokoh publik seperti mantan kandidat presiden Amerika Serikat, Al Gore, dengan dokumenter An Inconvenient Truth, dan Leornardo Dicaprio melalui dokumenter The 11th Hour, telah berusaha meningkatkan kesadaran publik akan hal tersebut lebih dari satu dekade lalu. Belum lagi aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan PETA yang kadang radikal dalam menyuarakan pendapatnya. Lambat laun, kampanye ini berhasil menembus dialog yang lebih massal, salah satunya dengan maraknya ajakan untuk berhenti menggunakan sedotan dan kantung plastik saat ini.

Walau berbagai upaya tersebut patut dipuji, apakah peradaban modern telah benar-benar melakukan setiap langkah yang diperlukan untuk menghentikan perusakan bumi? Di industri mode sendiri, istilah fashion sustainability telah lama digaungkan dan menjadi isu yang sering diangkat belakangan ini. Pada awalnya, hanya segelintir yang memposisikan diri sebagai label peduli lingkungan seperti Stella McCartney, Edun, dan Patagonia. Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran publik akan isu pemanasan global, kini mempromosikan diri sebagai label “hijau” sudah menjadi keharusan, terlebih bagi nama-nama besar dengan jangkauan distribusi mendunia.

Apakah ini dilakukan atas kesadaran sebagai bagian dari ekosistem atau sekadar langkah bisnis strategis, masih sering dipertanyakan. Namun di tengah sorotan tajam publik sebagai konsumen yang semakin kritis, tak ada pilihan selain turut mengambil langkah dalam melestarikan kelangsungan hidup bumi. Istilah greenwashing pun tercetus untuk label yang hanya memposisikan diri sebagai label ramah lingkungan untuk kepentingan pemasaran. Contohnya dengan meluncurkan koleksi kecil dari katun organik atau memprakarsai gerakan daur ulang, tapi praktek bisnisnya secara garis besar masih tidak mempedulikan kesejahteraan tenaga kerja.
 
Berbicara tentang fashion sustainability memang bukan perkara mudah dan tidak hanya mencakup dampak pada lingkungan, tapi juga meliputi isu sosial ekonomi seperti eksploitasi tenaga kerja di dunia ketiga hingga kekejaman terhadap hewan. Isu lingkungan memang menjadi salah satu masalah terbesar dengan laporan terkini yang mencatat bahwa industri mode menyumbangkan emisi karbon yang lebih besar tiap tahunnya dibanding gabungan industri penerbangan udara dan ekspedisi laut. Mulai dari volume air yang dibutuhkan dan limbah beracun yang dihasilkan saat proses produksi hingga sampah pakaian bekas, setiap helai baju yang kita kenakan memiliki dampak besar pada lingkungan dan kesejahteraan hidup masyarakat di belahan dunia lain.
 
Fashion sustainability pun bagai sebuah oksimoron, dua kata yang bertolak belakang. Roda mode berputar dengan premis kebaruan yang membuat pendahulunya tampak usang, mengusik insting mendasar manusia untuk mengekspresikan individualitasnya, selain di saat yang bersamaan mencari validasi komunitasnya. Masalah lingkungan yang dihadapi industri mode saat ini adalah efek samping dari kemajuannya sendiri. Industri bernilai global 1,3 triliun dollar ini diprediksi akan terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Akses akan barang mode terjangkau semakin mudah dengan menjamurnya toko fast fashion di berbagai penjuru dunia untuk memuaskan dahaga konsumen urban yang semakin fasih dalam menginformasi diri akan tren terkini. Selain pasar yang semakin sadar mode, harga terjangkau turut membuat setiap orang tidak perlu berpikir panjang dalam membeli pakaian baru yang mungkin hanya akan dikenakan satu-dua kali. 

Hal ini baru menyentuh permasalahan sampah yang dihasilkan. Yang tidak banyak disadari adalah dampak lingkungan yang dihasilkan industri mode sudah diawali dari produksi material mentah seperti tanaman kapas maupun kulit hewan. Produksi tekstil termasuk perkebunan kapas menggunakan sekitar 93 milyar meter kubik air tiap tahun. Di pabrik tekstil, bahan bakar dan zat kimia untuk mewarnai dan mencuci kembali menyumbang emisi karbon dan limbah industri. Di fase produksi pakaian ada permasalahan eksploitasi tenaga kerja seperti yang diangkat di film dokumenter The True Cost. Memasuki tahap distribusi, bahan bakar yang diperlukan untuk mengirim barang ke tiap butik di berbagai penjuru dunia lagi-lagi melepaskan gas karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer. Semua proses ini kemudian berulang dalam frekuensi yang begitu cepat agar barang yang terpajang di rak toko senantiasa baru untuk memuaskan selera pasar.
Industri mode bukannya menutup mata akan permasalahan ini. Berbagai upaya untuk meminimalisir dampak buruk pada lingkungan telah banyak dilakukan, terlepas dari beberapa yang melakukan praktek greenwashing seperti yang disebutkan sebelumnya. Penggunaaan material yang lebih ramah lingkungan seperti lyocell dan rami yang menggunakan lebih sedikit air dan mudah didaur ulang adalah salah satunya. Inovasi teknologi dalam menciptakan material sintetis maupun upcycling juga terus bermunculan.

Adidas menciptakan sepatu yang sepenuhnya terbuat dari serat plastik yang diambil dari limbah laut, begitu pula dengan koleksi Bionic Yarn dari H&M. Material kulit yang direkayasa di laboratorium atau yang dibuat dari bahan dasar jamur sedang dikembangkan sebagai alternatif kulit hewan. Label seperti Patagonia menjadikan isu lingkungan sebagai kultur perusahaan. Tak hanya menyediakan jasa reparasi dan menjual kembali pakaian bekasnya, label pakaian outdoor asal California ini juga aktif mendanai aktivis akar rumput dan menyumbangkan satu persen dari penjualan untuk pelestarian lingkungan.

Banyak bintang yang melenggang di karpet merah menggunakan baju rancangan desainer yang ramah lingkungan, seperti gaun Stella McCartney yang dikenakan Gisele Bundchen di Met Gala 2017 yang terbuat dari sutra organik tersertifikasi, atau perhiasan Chopard Cate Blanchett saat memenangkan Golden Globe 2014 yang terbuat dari emas Fairmined, sertifikasi yang memastikan kesejahteraan para penambangnya. Istri aktor Colin Firth, Livia Firth, memprakarsai The Green Carpet Challenge, di mana ia memanfaatkan kemewahan prosesi karpet merah untuk meningkatkan kesadaran akan mode yang lebih berkelanjutan.
 
Namun sayangnya laporan terkini dari Global Fashion Agenda, forum internasional beranggotakan para pemimpin industri untuk membahas perubahan sistem mode yang berkelanjutan, menyatakan upaya industri mode dalam menanggulangi masalah lingkungan tahun ini justru menurun sebanyak sepertiganya. Salah satu penyebab utamanya adalah upaya dari pihak produsen untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan tidak dapat mengejar pesatnya pertumbuhan industri. Dengan kata lain, berbagai kampanye untuk meningkatkan kesadaran konsumen masih tidak berdampak dalam mempengaruhi pola konsumsinya. Tentunya ada faktor harga di mana berbagai inovasi baru dan upaya mendaur ulang memerlukan biaya lebih yang dibebankan pada konsumen. Hal ini menjadi antitesis fast fashion yang memberikan kepuasan instan tanpa menguras dompet.

Dan mode sebagai pembelian emosional–bukan fungsional—sering kali menumpulkan nalar. Saat Anda melihat tanda potongan harga di butik label favorit, atau jaket yang menjadi padanan sempurna jeans kesayangan, tentunya pertimbangan rasional akan lemari yang sudah penuh dengan pakaian dan aksesori terkini tak lagi menjadi prioritas. Pola pikir ini juga yang menjadikan buku dan serial Netflix Marie Kondo begitu populer saat ini. Gerakan gaya hidup minimalisme dengan Steve Jobs dan Mark Zuckerberg sebagai idolanya—kedua pengusaha teknologi sukses ini terkenal dengan “seragam” yang sama setiap harinya—juga kian marak dianut masyarakat di belahan dunia Barat yang makmur dan penuh ekses. Semakin banyak orang menyadari bahwa konsumerisme bukanlah tujuan hidup manusia yang hakiki.

Maka tidak lagi cukup saat kita sudah sadar untuk membawa kantung belanja sendiri, menolak menggunakan sedotan plastik di kedai kopi, dan mengeluh saat melihat orang membuang sampah sembarangan; namun berpangku tangan dan berlaku bagai pengamat pasif yang berharap suatu saat para penggerak kebijakan industri akan menemukan formula jitu untuk menanggulangi dampak negatif dari barang mode yang kita kenakan. Karena pada intinya, industri mode sebagai bisnis akan selalu memberikan penawaran selama permintaan itu masih ada. Sebagai konsumen, kita juga harus lebih kritis dalam memilih produk yang mengisi lemari di luar faktor kepuasan menenteng tas belanja berisikan pembelian impulsif lainnya. Tentu tak berarti Anda harus mengenakan mock turtleneck hitam dan dad jeans seperti Steve Jobs tiap harinya. Namun jika lemari sudah penuh dengan pakaian yang bahkan belum dilepas labelnya, maka mungkin Anda terlalu bergantung pada aktivitas belanja sebagai sarana rekreasi.

Selain menggunakan mode sebagai ekstensi identitas, alangkah idealnya ketika kita juga dapat mengindentifikasi diri sebagai bagian dari ekosistem bumi dengan efek sebab-akibatnya. Seperti suara Anda di Pemilu yang baru berlalu, tiap keputusan untuk membeli pakaian baru akan memiliki dampak pada pelestarian bumi untuk diwariskan pada generasi berikutnya. (Dany David)
 
 

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA