
Adinia Wirasti tengah memasuki babak baru dalam perjalanan seninya. Setelah lebih dari dua dekade dikenal di layar lebar Indonesia, ia kini menantang dirinya melangkah ke panggung teater internasional. Tantangan itu bukan main-main: Shakespeare. Dan bukan peran biasa, melainkan Lady Capulet dalam Romeo and Juliet produksi Bell Shakespeare—teater company bergengsi asal Australia yang sejak 1990 dikenal sebagai rumah pembaruan karya-karya sang maestro.
Dilamar Menjadi Lady Capulet
Pertemuan Asti dengan Lady Capulet datang secara tak terduga. Saat menghadiri acara DEWI di private preview koleksi Iwan Tirta, ia mendengar kabar bahwa Bell Shakespeare masih mencari sosok ibu Juliet. Suaminya, Michael Wahr, aktor teater asal Australia yang sudah lama terhubung dengan teater ini, tiba-tiba menyampaikan tawaran serius dari sang artistic director, Peter Evans. “Reaksi pertamaku waktu itu, ‘apa sih ini serius?’” kenangnya, masih tak percaya bahwa dirinya benar-benar dipertimbangkan untuk peran besar ini.
Rasa ragu itu kemudian membawanya menghubungi agennya di Australia dan mengatur pertemuan dengan Evans. Dari sana, peluang kian nyata, meski butuh waktu cukup lama untuk akhirnya ia mantap untuk menerima lamaran ini.
“Ini Shakespeare. Saya harus meninggalkan perfilman Indonesia untuk sementara dan benar-benar menetap di sana,” ujarnya. Naskah sudah ada di tangannya sejak Maret–April 2025, tapi hingga ia mengumumkan secara resmi pada Juli lalu pun, rasa tak percaya masih menyelip.
Cermin Perempuan Lintas Zaman

Lady Capulet, karakter yang Asti perankan, memang bukan tokoh utama; namun di balik ketegasan dan jarak emosionalnya terhadap Juliet, tersimpan potret perempuan yang menjadi produk zamannya: dilahirkan untuk menikah, melahirkan, menjaga martabat keluarga.
Dalam diri Lady Capulet, Asti juga menemukan cermin tentang bagaimana kegagalan komunikasi bisa menciptakan drama berlapis. Ujungnya, riwayat dua muda-mudi yang sedang dimabuk cinta berakhir tragis.
Bagi Asti, tragedi dalam Romeo & Juliet tidak hanya lahir dari permusuhan Capulet dan Montague, tetapi juga dari serangkaian ruang komunikasi yang tak terisi dengan baik dan dinamika antartokoh yang penuh celah. Ia melihat bahwa setiap keputusan yang diambil, baik oleh Romeo, Juliet, maupun para orang tua, dilakukan dengan keyakinan bahwa itu “yang terbaik.”
Kutipan Romeo, “I thought all for the best,” menjadi benang merah bagi kisah ini: dari pernikahan diam-diam hingga perjodohan yang dipaksakan, semua lahir dari niat baik yang justru salah arah. Dan di situlah letak kedalaman tragedi ini, yakni kisah manusia yang meyakini sedang berbuat benar, tetapi justru berakhir menciptakan bencana.
Kembali Menjadi ‘Amatir’

Meski telah berpengalaman panjang di panggung film, Asti tidak ragu menyebut dirinya sebagai seorang amatir ketika berhadapan dengan Shakespeare. Tak ayal, ia pun sering melontarkan pertanyaan kepada sang suami yang sudah lebih akrab dengan dunia teater dan linguistik; dari istilah teknis seperti upstage, downstage, prompt side, off prompt side, hingga cara memahami naskah yang terasa asing di telinganya.
“Kalau prosa masih bisa saya tangkap,” ujarnya, “tapi ketika berhadapan dengan puisi, saya sering kesulitan.” Salah satu momen penting datang ketika sang suami memperkenalkannya pada ritme khas Shakespeare: iambic pentameter—baris sepuluh suku kata yang berdetak seperti jantung manusia.
“Umpamanya kayak what say you, can you love the gentlemen,” jelasnya. Ketika barisan kata itu dipasangkan dengan detak jantung, makna justru merasuk lewat tubuh, bukan sekadar lewat pikiran. Bagi Asti, kesadaran ini membuka pintu baru dalam memahami teks Shakespeare, apalagi saat harus menghidupkannya lewat gerak tubuh di atas panggung.
Dari Film ke Teater: Ujian Komitmen
Berbeda dengan film, teater menuntut stamina yang konsisten. Tidak ada kesempatan untuk berhenti di tengah-tengah adegan. Suara harus sampai ke kursi pemirsa paling belakang, resonansi harus terjaga, dan energi harus dipertahankan dari awal hingga akhir pertunjukan.
“Saya merasa kembali seperti sepuluh tahun pertama karierku di film,” ungkapnya. “Harus menghapal kata demi kata, memahami ritme, dan bertutur dengan iambic pentameter itu tadi pula. Wah, rasanya saya kembali jadi amatir, hahahaha.”
Namun justru di situlah Asti menemukan arti pertumbuhan. Baginya, menjadi amateur bukan berarti kembali ke titik nol, melainkan sebuah proses upgrading. Ada kerendahan hati, tetapi juga keberanian, dalam penuturannya. “Ketika kita meng-upgrade diri, versi lama kita nggak hilang. Dia justru menebal, jadi fondasi untuk versi baru.”
Menjadi Perempuan, Menjadi Aktor

Mendengarkan Asti, terasa sekali bahwa perjalanannya adalah refleksi lebih besar tentang perempuan: tentang keberanian meninggalkan zona nyaman, tentang komitmen untuk terus bertumbuh, dan tentang mencari makna baru di ruang-ruang lama. Shakespeare mungkin berusia ratusan tahun, tetapi seorang perempuan dari Jakarta kini menafsirkan kembali Lady Capulet dengan tubuh, bahasa, dan jiwa yang kontemporer.
“Seni itu proses panjang. Saya selalu merasa kurang, tapi justru karena itu saya terdorong untuk belajar terus. Kalau saya bisa bicara sama diri saya yang muda, saya cuma mau bilang: sabar, Say, hahaha. Dan terima kasih. Karena ketekunan dia, saya bisa ada di titik ini,” ujar Asti sambil tertawa.
Dan mungkin, itulah inti perjalanan Asti. Dari layar ke panggung, dari bahasa sehari-hari ke puisi Shakespeare, ia menunjukkan bahwa seorang perempuan selalu bisa memilih untuk berubah dan bertumbuh dalam setiap fase hidupnya.
Teks: Mardyana Ulva
Foto: Brett Boardman/Bell Shakespeare