Berada di depan layar tak pernah menjadi cita-cita Arief Suditomo. “Rasa percaya diri saya sangat rendah. Saya pemalu, introvert, sangat private, tidak suka dapat banyak perhatian,” cerita Arief. Ketika kecil pilihan karier masa depannya kerap berganti. “Namanya anak kecil, cita-cita saya gantiganti. Saat ke bandara, saya langsung mau jadi pilot, saat ke bioskop saya ingin jadi tukang sobek karcis, dan masih banyak sekali,” katanya. Hidup memang penuh kejutan karena setelah menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, ia langsung terjun menjadi wartawan. Nama Arief Suditomo mulai dikenal luas semenjak ia menjadi pembaca berita televisi Liputan 6 SCTV. Mulai mengudara pada 20 Mei 1996, paras Arief yang menawan berhasil memikat hati para wanita. Selama bekerja di SCTV, Arief melakukan tugas produser, peliputan berita, dan penyiar berita. Ia pernah mendapat penghargaan Panasonic Awards tahun 2002.
Arief kemudian berekspansi dari muncul di layar kaca menjadi penanggung jawab di belakang layar. Ini dimulai pada saat ia bekerja di stasiun televisi RCTI pada 2003 menjadi programming manager. Namun Arief kembali terjun ke dunia penyiar berita sejak tanggal 11 Maret 2004 saat menjadi wakil pemimpin redaksi di Seputar Indonesia RCTI. Karier Arief menanjak menjadi pemimpin redaksi di Seputar Indonesia RCTI sejak tanggal 1 Januari 2005.
Menggeluti profesi wartawan, Arief pun kembali menimba ilmu pascasarjana di bidang komunikasi. Tapi ternyata ia kemudian menjadi politikus. Duduk di Senayan sebagai Ketua Kelompok Fraksi Hanura di Komisi I DPR RI hingga tahun 2016 dan kemudian sebagai anggota Komisi VIII DPR RI. Tapi pada akhirnya ia kembali ke dunia yang membesarkannya sebagai Pemimpin Redaksi dan News Director Metro TV. Hidup memang selalu penuh kejutan.
“Jurnalisme adalah cinta pertama saya dan akan selalu begitu. Saya pernah meninggalkan dunia itu dan mencoba untuk menjadikannya masa lalu, ternyata nasib selalu menghantarkan saya kembali pada jurnalisme. Jadi, ya, jurnalisme adalah passion saya, cinta saya dan juga masa depan saya.” Terjun sebagai wartawan awalnya iseng saja, tetapi menjadi jurnalis muda ternyata menyadarkan Arief tentang banyak hal yang belum ia ketahui, khususnya dalam bidang sosial politik.
“Anda bayangkan, saya lahir dari keluarga kelas menengah zaman Orde Baru yang berkecukupan” ujar Arief. Ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan ibunya bekerja di BUMN. Sebagian besar kerabatnya pun demikian, ada yang seperti orangtuanya atau bekerja di TNI dan Polri. Menurut pengakuan Arief, ia adalah mahasiswa yang kesibukannya hanya belajar dan dugem, tidak aktif dalam organisasi kampus, apalagi ikut demonstrasi, menyuarakan tuntutan rakyat. “Bisa Anda bayangkan betapa abainya saya pada kondisi sosial di luar lingkaran pribadi saya. Begitu jadi wartawan, saya terpapar dengan banyak sekali fakta-fakta ketidakadilan sosial dan politik yang selama ini sama sekali tidak saya perhatikan atau bahkan menarik minat saya untuk sekadar tahu. Sebagai jurnalis, saya meliput mereka, menulis kisah mereka,” kata Arief. Ketika tulisannya dibaca lalu direspons orang banyak, ia seperti mendapat panggilan, jurnalisme adalah masa depannya, bukan batu loncatan untuk karier yang sesungguhnya.
Pada awalnya ia tidak terlalu peduli atas dampak yang hadir bersamaan dengan karya jurnalistiknya. Tapi lama kelamaan iamenyadari juga bahwa tulisan dan kemunculannya di layar telah memengaruhi pihak lain. “Banyak anak-anak muda yang bilang bila kehadiran saya di layar dulu membuat mereka ingin jadi jurnalis,” Arief bercerita.
Profesi Arief mengharuskannya menjadi pribadi yang berani, aktif, juga asertif. Sesuatu yang tidak secara alami dengan mudah ia lakukan. Ini diakuinya sempat menghambat awal kariernya. Tapi ternyata cinta memang dapat mengalahkan segalanya, termasuk juga mengubah Arief yang pemalu menjadi pria yang kita liat cuap-cuap dengan mudahnya di layar kaca dan di depan orang banyak. Cintanya pada jurnalisme membuatnya berubah. Apakah mudah? Tentu tidak. “Tapi apakah saya berhasil mengatasi itu semua? Ya, saya berhasil. Cara mengatasinya tidak lain dengan berdialog dengan diri sendiri sambil bilang kamu pasti bisa.
Perkembangan teknologi dan media sosial membuat cara hidup kita berubah. Coba tanya pada diri sendiri, rata-rata berapa lama Anda menghabiskan waktu dalam sehari menonton televisi? Banyak yang telah beralih ke layanan OTT (Over The Top), sebuah layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet, seperti Netflix dan Amazon Prime. Memang hidup jadi lebih mudah. Menonton film, serial, talk show, dan lainnya dapat dilakukan secara on the go melalui ponsel. Untuk urusan mengonsumsi media, Arief mencoba merangkul keberagaman. Di satu sisi, ia mengatakan masih tradisional, membaca koran setiap pagi, mendengarkan radio, dan menonton televisi. Di sisi lain, ia juga mengkonsumsi berita melalui media sosial seperti Twitter sementara Facebook ia jadikan referensi berita dan hiburan. Instagram, ia hanya mengunggah foto minimal seminggu sekali. Arief hanya tertawa ketika ditanya mengapa akun Instagramnya dikunci. Ia lantas mengambil ponsel yang diletakkan di meja. “Saya hanya ingin merasa nyaman dengan orang-orang yang saya kenal. Saya menanganinya sendiri, tidak direkayasa sama sekali,” ujarnya.“Seperti begini kan menambah satu lagi follower,” kata dia sambil membuka aplikasi instagram
Mesti tidak begitu menyukai serial, layanan OTT pun ia lahap. Favoritnya adalah Designated Survivor yang dibintangi Kiefer Sutherland. Tapi yang tidak bisa terlewatkan adalah menonton bioskop berdua bersama sang istri, Puji Lidya Susanti Karamoy, satu kali setiap minggunya. Dua anak lakilaki mereka kadang ikut menyertai, kadang tidak. “Mereka lebih pilih-pilih. Saya masih punya kebiasaan lama yang tidak bisa saya hapus tapi juga menerima new media yang pada akhirnya menjadi referensi hiburan dan berita sehari-hari,” pungkasnya
Khususnya untuk dunia televisi, karena di situlah ia paling lama berkarier, Arief optimis. Jika berpatokan dari angka advertising expenditure, televisi Indonesia masih memegang dominasi dibanding media lain. Perlu waktu yang mungkin tak sebentar untuk media-media baru menyusulnya. Namun ia sudah terus memikirkan antisipasinya. “Yang kami persiapkan di Media Grup sendiri, kami sudah mulai berpikir bahwa bisnis konten ini harus ditopang dalam multi platform. Along the way, kami akan bisa melihat mana yang akhirnya bisa diprioritaskan. Lalu kita fokuskan.Bisa kami antisipasi sambil jalan tanpa mengorbankan satu hal atau yang lain,” ujarnya
Perkembangan teknologi juga menimbulkan kesenjangan antar generasi, apalagi di dunia kerja, tempat bertemunya orang dari berbagai usia yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka bersama. Yang muda pasti lebih lihai berselancar di internet dan menerima ide-ide yang lebih gila soal apa saja. Menanggapinya Arief menjawab tanpa berpikir lama-lama. “Saya yang usianya menjelang 52 ini dengan anak-anak di luar sana, mereka sudah masuk kategori anak-anak saya. Tapi dalam teknologi, kita semua terpapar pada teknologi yang sama. Kami tidak kenal yang namanya technological gap karena mau tidak mau begitu ada perangkat lunak atau teknologi baru, kami harus bekerja dengan itu,” katanya. Perspektif dalam hal substansi boleh jadi berbeda. “Saya lebih tua, saya punya kesempatan melakukan lebih banyak salah daripada mereka. Umur bagi kami adalah angka tapi bagaimana kami menjalankan tugas kita,” begitu ia melihat isu ini.
Arief dibesarkan oleh ibunya setelah orangtuanya bercerai. Saat itu, usianya masih delapan tahun. Karena itu, ia mengaku bukan lelaki tradisional yang melihat pembagian peran laki-laki dan perempuan secara stereotipe. Ia melihat ibunya bekerja keras bukan saja untuk memenuhi standar kehidupan yang baik tetapi juga untuk aktualisasi dirinya. Jadi ia paham betul soal prioritas dan beban perempuan,
Sementara itu, setelah ia menikah, Arief melihat ibu mertuanya mendedikasikan diri 1000 persen untuk suami, anak-anak, dan juga cucucucunya hingga akhir hayatnya. Hal tersebut juga memperkaya wawasannya soal peran perempuan. Istri Arief sendiri, saat ini memilih menjadi ibu rumah tangga full time.“Saya pikir ia sudah bekerja dengan sangat baik mengurus saya, rumah tangga, anak-anak dan semua hal yang tidak bisa saya lakukan di rumah,” ujarnya. Semuanya berpulang pada kondisi masing-masing. Di saat kita bisa berdamai dengan kondisi kita dan bisa menentukan peran yang paling cocok dengan situasi yang kita hadapi bersama, ada pertanyaan muncul. “Apakah kita berdua harus bekerja? Atau salah satu saja?” Bila jawabannya bisa didapatkan dengan pertimbangan yang dapat diterima kedua belah pihak, maka keseimbangan akan tercipta. Begitu pendapat Arief.
Keseimbangan juga ia pikirkan untuk pengembangan dirinya sendiri dengan membaca. Waktu tersedia yang memungkinkannya untuk membaca memang tidak banyak tapi waktu itu harus ia sisihkan karena membaca membuatnya menjadi kreatif. Sebelum tidur menjadi waktu yang pas untuk membuka lembar buku dan tenggelam di dalamnya. “Atau di akhir pekan, ketika senggang dan semua orang tidak butuh saya,” ujarnya sambil tersenyum.
To Kill A Mockingbird karya Harper Lee menjadi buku paling berpengaruh dalam hidup Arief. Novel yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1960 itu yang membuat langkahnya pasti mengambil jurusan hukum setelah lulus SMA. Di masa dewasanya, Arief menikmati buku-buku biografi. Dari perjalanan hidup Abraham Linclon hingga kisah-kisah keluarga tua di Amerika Serikat dan Eropa habis dibacanya. Membaca cerita kehidupan seseorang membuatnya seolah sedang berkenalan dengan mereka. Kita dapat memahami tindakannya dan memelajari hal tersebut jika suatu saat menghadapi situasi serupa. Tak heran bila banyak orang yang gemar membaca buku bergenre biografi.
Ada satu hal yang unik dari cara membaca novel yang dipraktikkan Arief. “Saya membaca bagian awal lalu belakang. Setelah itu mulai lagi di bab dua.” Dengan demikian ia sudah tau akhir cerita novel tersebut, waktu membaca dapat dipangkas. Arief berbagi kisah soal latihannya membaca cepat sebelum kuliah master dulu. Jurnal dan novel adalah dua contoh bacaan yang dibaca dengan cepat. Buku-buku puisi tentunya tidak bisa karena membutuhkan penelaahan dan penghayatan yang berbeda. Karya tulis di AS, kata Arief, memiliki sistematika yang sudah terstandarisasi, sudah diatur untuk dapat dibaca cepat. Sementara Indonesia belum bisa seperti itu. Dari paragraf pertama, pembagian pokok-pokok, elaborasi, dan seterusnya sudah baku. Sistematika ini dirasanya sangat membantu untuk metodologi penelitian penulisan ilmiah dan pekerjaannya sebagai wartawan.
Arief punya ketertarikan tentang metodologi penelitian. Ia sempat menjadi dosen, profesi yang sangat dekat dengan hal itu. Di masa depan, ketika kelak ia pensiun, mungkin profesi itu pula yang akan ia geluti, menjadi dosen atau penulis. Satu syaratnya, berhubungan dengan media. Lahir dan besar di media, segala sesuatu tentang media menarik perhatiannya, termasuk nasib media di masa mendatang. Bagaimana media bekerja dan bagaimana bisnis ini akan berkembang. “Saya tumbuh disebuah periode yang sangat berbeda dengan sekarang. Evolusi dan revolusi media dari zaman pertama kali saya jadi wartawan tahun 1992 sampai sekarang telah saya jalani dengan berbagai macam penyesuaian, teknologi, dan perkembangannya. Saya merasa tidak banyak (wartawan) yang mengalami masa menulis menggunakan mesin tik,” begitu ujar Arief. Pengalamanpengalaman itu bisa ia bagi dan semoga membawa hal-hal yang baik di kemudian hari. “Saya pikir itu yang bisa membuat saya bersemangat, berbagi, mendharmabaktikan apa yang saya tahu tentang media untuk masyarakat.” (Nofi Triana Firman) Foto: Rico Leonard
Pengarah Gaya: Erin Metasari
Busana: Jaket dari Coach