Dewi Power Luncheon Membahas Tantangan Global Abad 21 dan Peluang Para Perempuan Muslim
Bersama Heritage Amanah dan EY Indonesia, Dewi menghadirkan Dr. Ismaeil Serageldin cendekiawan dan budayawan dari Mesir
21 May 2019


3 / 7
Tahun ini, momentum Hari Kartini dirayakan secara berbeda lewat acara Power Luncheon yang dipersembahkan oleh EY Indonesia, Heritage Amanah, dan Dewi. Seperti mendobrak kebiasaan, acara ini mengupas tema Muslim Women and the Challenges of the 21st Century. Sebuah pintu diskusi terbuka lebar tentang bagaimana jalan dan ruang gerak perempuan muslim dalam berkarya di dunia global dalam peringatan Hari Kartini kemarin.

Mendatangkan Dr. Ismail Serageldin, seorang tokoh cendekiawan dan budayawan dari Mesir sekaligus Founding Director dari Bibliotheca Alexandria. Pada kunjungannya ke Jakarta, ia menyempatkan diri singgah keberbagai acara untuk berbagi wawasan mengenai topik menyangkut investasi dan kebudayaan.

Dr. Ismail Serageldin mengajak para tamu untuk menilik perempuan-perempuan muslim di masa lalu. Di dunia patriakal, di mana tirani diatur berdasarkan garis keturunan, seorang perempuan terkenal dari era Mesir kuno mencuat kepermukaan, ia bernama Cleopatra. Di abad pertengahan, kita mengenal nama Sultana  Raziya yang memimpin Delhi dan Shajar al Durrdari dari Mesir, perempuan pertama dan kedua yang menjadi pemimpin dalam sejarah Islam. Dalam hal pendidikan, sejak dulu perempuan didorong untuk belajar agama. Islam telah berusaha meningkatkan derajat perempuan pada saat itu. Hingga saat ini banyak perempuan yang mampu berdiri di puncak dunia. Gender bukan lagi penghalang.

Mengaitkan pembahasan perempuan dan Islam, di Indonesia sendiri saat ini sedang dihinggapi isu ektrimisme yang pelik dan membahayakan. Perempuan punya peran penting menangkal ekstrimisme dengan caranya sendiri. Dalam lingkaran keluarga kaum perempuan harus konsisten menjunjung hak asasi manusia, keterbukaan, dan kebebasan berekspresi.

Sesi tanya jawab pun dilakukan usai pemaparan ini. Tamu undangan menanyakan hal beragam. Seperti misalnya, bagaimana hijab menjadi tolak ukur keimanan seorang perempuan di Indonesia yang kemudian dijawab dengan pengakuan alih-alih ingin menegakkan syariat murni Islam di zaman kejayaan, justru saat ini sebagian masyarakat Islam mengalami kemunduran. Tanya jawab berkembang menjadi diskusi yang menarik ketika Yenny Wahid merespons perbincangan. Islam berada dalam bayang-bayang harokah dan gerakan yang melenceng dari ajaran Islam sebenarnya. Sulit mendeteksi mana konten yang benar dan salah. Sehingga, disinilah tugas perempuan, terutama ibu, untuk dapat melakukan filter terhadap konten yang diterima anak-anaknya. Mereka dapat menyebarkan nilai-nilai yang tepat. Nilai yang disemai sedari dini. Mereka menanamkan ajaran kebaikan dan kebenaran di rumah.Terlebih, pada anak laki-laki yang harus diberikan pemahaman serta pengajaran untuk menghormati perempuan.

Pada penghujung sesi, Dr. Ismail mengajak para perempuan untuk memetik semangat positif dan syariat yang tepat. Jangan terlalu terikat pada aturan di atas kertas yang dibuat di masa lampau. Segalanya dimulai dari perempuan yang terdidik dan mendidik. Masa depan adalah milik mereka yang berdaya melalui kecerdasannya. Keinginan perempuan muslim untuk maju tidak lantas dibatasi oleh apapun. Di manapun ia berada, terlebih di negara mayoritas muslim terbesar di dunia seperti Indonesia, perempuan muslim seharusnya bisa bebas berkarya tanpa terbelenggu agama. (WAHYU SEPTIYANI) FOTO : ORIE BUCHORI

 

Author

DEWI INDONESIA