Review Film: Imperfect dan Kegelisahan Soal Ketidaksempurnaan
Digarap oleh Ernest Prakasa, film 'Imperfect' merupakan ajang menyuarakan ide-ide mengenai kisah kegelisahan dan perlawanan pada diri sendiri.
30 Dec 2019




Dalam mengemas ‘Imperfect’, Ernest Prakasa memakai cara amannya, yakni bernarasi dalam komedi drama. Diadaptasi dari novel Imperfect: A Journey to Self-Acceptance karya Meira Anastasia, karakter tokoh utama Rara ialah kiat yang jarang ditemukan saat membicarakan representasi perempuan di film Indonesia.

Rara (Jessica Mila) diceritakan bekerja di perusahaan produsen produk kecantikan. Dirinya merasakan adanya tekanan dalam diri yang menyudut pada paradigma dan ide-ide mengenai perempuan dan kecantikan. Tak hanya itu, dalam narasi dua jam ini, kita pun disibukkan dengan aktivitas bersama Dika, pacar Rara (Reza Rahadian) hingga kehidupan rumah tangga dan indekos ibunya (Dewi Irawan). Jessica Mila, yang didapuk telah menaikkan berat badannya untuk film ini, mampu berakting dengan natural dan meyakinkan. Pun, Reza Rahadian yang hadir tak sia-sia dalam rangkaian pendukung karakter yang dibawakan Mila.

Namun, pembahasan Rara mengenai idealisme kecantikan tak terhenti pada persoalan kerja dan tuntutan korporat. Dirinya turut ditekan dari berbagai konsonan, seperti dari ibunya sendiri yang mendorong untuk hidup sehat dengan cara diet. Ernest terkesan galak dalam menghadirkan narasi yang dapat dibilang merupakan kegelisahan universal ini—Ia mempresentasikannya dengan kegiatan bangun tidur yang memunculkan dialog si ibu yang mengolok anaknya seperti ‘paus terdampar’. Mungkin penyampaian barbar dari Ernest ini muncul dan disebabkan oleh kelelahan masyarakat akan narasi body-shaming yang kian menyerbu berbagai telinga.

Berangkat dari rasa lelah tersebut, Imperfect mencoba merajut kisah-kisah dan celetukan komedi yang seringkali menghibur. Meski, terkadang lepas dari rangkaian makna cerita yang sebenarnya. Ernest tidak lalai dalam mengaplikasikan para karakternya yang telah berjuang dan dibuat sedemikian rupa untuk menjamu kisah yang memiliki banyak lapisan moral ini. Seperti, keempat perempuan pekerja yang indekos di rumah Ibu Dika—mereka memiliki kegelisahannya masing-masing, antara lain rambut kribo, tompel, dada besar, hingga gigi yang tak rapi. Representasi yang ditampilkan untuk segmen keempat dara ini adalah unsur komedi utama Imperfect.

Tak ayal, aksi-aksi konyol tersebut tidak dibiarkan Ernest begitu saja. Ketika sudah jenuh, narasi pada babak akhir menyabet secara cepat semua kejenuhan itu. Ia membuat empat karakter yang tadinya hanya jadi penghibur ini, dapat memiliki keterlibatan besar—yang turut menjadi salah satu bagian penting dalam film. Dengan olok-olok mengenai kegelisahan soal tubuh, karakter Rara pun dibangun dengan mengindikasikan kesombongan akan bukti nyata bahwa persoalan tubuh tak hanya berkutik pada kemudahan segala hal. Namun, paradoksnya membawa kita pada satu alasan yang membuat narasi Imperfect menjadi penting, yakni segala sesuatu yang tampil secara visual atau tampak—tak hanya berkutat pada persoalan fisik, tetapi persoalan hati dan perasaan. (FH) Foto: Dok. Istimewa
 

 


Topic

Art and Culture

Author

DEWI INDONESIA