Review Film: Mengingat Keselarasan Manusia dan Alam Lewat "Semesta"
Tanakhir Films menawarkan sudut pandang baru dalam memandang krisis lingkungan hidup
23 Jan 2020




Krisis iklim ada dan nyata, meski sebagian besar orang Indonesia masih tutup mata tentang persoalan ini. Berdasarkan hasil jajak pendapat YouGov-Cambrige Globalism Project, Indonesia memang menjadi salah satu negara dengan jumlah penyangkal krisis iklim terbanyak. Jumlahnya sekitar 18% dari 1.001 responden.

Tiap bencana buatan manusia datang melanda, seperti banjir besar yang melanda banyak daerah di Indonesia awal tahun silam, kita melapangkan dada dengan berkata ini ujian Tuhan belaka. Begitu pula ketika bencana alam seperti badai, kekeringan, atau gempa menimpa. Sering kita lupa bahwa alam raya adalah rumah yang diciptakan Tuhan dan manusia ada untuk hidup selaras dengannya. 

Ingatan tentang keselarasan antara manusia dan alam itulah yang coba diangkat film Semesta garapan sutradara Chairun Nissa di bawah naungan Tanakhir Films yang digawangi Mandy Marahimin dan Nicholas Saputra. Film dokumenter berdurasi 1,5 jam ini bergerak menjalin cerita tentang tujuh orang yang melakukan usaha-usaha kecil untuk menghormati dan menjaga keselarasan mereka dengan alam sesuai iman, agama, dan kepercayaan masing-masing.


 

Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Utik.



Film dibuka dengan cerita Tjokorda Raka Kerthyasa tentang bagaimana ritual Nyepi oleh umat Hindu Bali selayaknya tombol pause bagi alam dan juga bagi diri manusia. Nyepi menjadi jeda untuk manusia berkontemplasi serta waktu bagi alam untuk beregenerasi. Dari Bali, cerita bergulir ke daratan Kalimantan Barat. Ke Sungai Utik tepatnya. Ada pula cerita tentang bagaimana masyarakat adat punya cara terbaik dalam mengelola hutan lewat kisah suku Dayak Iban di Sungai Utik.

Semesta juga menyentuh tentang pemanfaatan energi baru dan terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang tak cuma ramah lingkungan, tetapi menjadi solusi pemerataan listrik bagi masyarakat di pedalaman seperti Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Terus ke ujung Timur Indonesia, ada cerita tentang mama-mama Papua di Kapatcol, Papua Barat yang membuat sasi di pesisir desanya untuk menjamin regenerasi biota laut yang kian terancam.


 

Almina Kacili, Kepala Kelompok Waniti Gereja Lokal di Kapatcol, Papua Barat.



Beralih ke Barat, penonton diajak melihat bagaimana masyarakat Pameu, Aceh, memilh berdamai dengan alam ketika gajah-gajah liar memasuki desa dan merusak panen. Penonton juga mendapat pandangan baru tentang praktik thayyib untuk menjadikan kita rahmat bagi tubuh sendiri dan alam sekitar. Film lalu ditutup dengan cerita tentang kebun urban di Jakarta dan bagaimana menjadi masyarakat urban tak semestinya jadi alasan kita terputus dari alam.

Ketujuh cerita ini memperlihatkan langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan bersama untuk memelankan dampak krisis lingkungan. Pun mereka meningatkan kita tentang kerendahhatian dan kecukupan, bahwa kunci dari keberlangsungan alam adalah untuk tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan. 

Ini tentu sudut pandang yang baru dalam membicarakan krisis lingkungan dan rasanya cukup dekat dengan masyarakat Indonesia yang religius. Menyoroti cara pelestarian lingkungan dari sudut pandang agama semestinya bisa menyentuh dan beresonansi dengan publik yang lebih luas. Apalagi film Semesta terbilang cukup ringan untuk ukuran film dokumenter. Variasi cerita yang disajikan juga berhasil menjaga atensi penonton sepanjang film. 


 

Proses pencabutan sasi oleh gereja di Kapatcol, Papua Barat, untuk panen biota laut setelah dikonservasi dalam jangka waktu tertentu.



Meski demikian, bagi mereka yang belum memiliki gambaran sama sekali tentang urgensi krisis iklim, film ini bisa jadi memberikan optimisme berlebih: bahwa krisis iklim bisa selesai hanya dengan tindakan sederhana individu. Nyatanya, penanganan krisis iklim tetap membutuhkan intervensi sistemik dari para pengambil kebijakan. Untuk itu, harapannya Semesta tidak menjadi satu-satunya dokumenter kita tentang krisis iklim, tetapi menjadi pembuka percakapan tentang perkara itu. Hal ini juga disampaikan Nicholas dan Mandy selaku produser film pada kesempatan konferensi pers penayangan pedana film Semesta, bahwa dibutuhkan lebih banyak film mengenai krisis iklim dan lingkungan. 

Film Semesta akan mulai tayang di bioskop secara terbatas mulai 30 Januari 2020. Dimulai di Jakarta dan Yogyakarta, film dokumenter ini nantinya akan ditayangkan di kota-kota lain secara bergilir. Tanakhir Films juga membuka diri untuk menyelenggarakan nonton bareng di kota-kota yang mungkin belum disambangi nantinya demi membawa film ini ke publik yang lebih luas. (SIR). Foto: Tanakhir Films.



 

 


Topic

Movies

Author

DEWI INDONESIA