Review Film: “Star Wars: The Rise of Skywalker”, Sebuah Film Fanboy
“Star Wars: The Rise of Skywalker” adalah sebuah buah karya seorang penggemar yang membuatnya bagus sekaligus mengganggu.
22 Dec 2019




Empat puluh dua tahun setelah A New Hope dirilis pada 1977, epos legendaris Star Wars akhirnya menutup cerita intinya lewat The Rise of Skywalker. Sejak trailernya pertama kali dirilis awal tahun ini, semua penggemar berat Star Wars sudah menantikan episode penutup saga ini. Apalagi mengingat arah cerita yang membelok tak terduga dalam The Last Jedi (2017).

Cerita yang tak terduga di bagian ke-8 serial Star Wars itu memang sempat menuai kritik tajam dari barisan penggemar fanatik. Sebabnya narasi yang ditawarkan sutradara Rian Johnson mematahkan banyak teori yang berkembang di kalangan penggemar selama bertahun-tahun.

Maka, J. J. Abrams, yang juga menyutradarai The Force Awakens, dipanggil kembali untuk menggarap episode puncak Star Wars dan merangkum cerita tiga trilogi dalam The Rise of Skywalker. Masalahnya, Abrams adalah seorang penggemar berat Star Wars dan hal itu terlihat jelas di sepanjang film.

Jangan salah, saya pun seorang penggemar Star Wars. Namun, posisi Abrams sebagai fanboy dalam The Rise of Skywalker menjadikan film ini bagus sekaligus mengganggu. Bagus karena film ini cukup bisa memainkan perasaan penonton lewat munculnya beberapa karakter yang membangkitkan nostalgia. Abrams juga fasih menyajikan visual-visual dan cerita-cerita samping yang mengingatkan kita pada trilogi asli Star Wars garapan George Lucas.

Namun, posisinya juga cukup mengganggu. Terutama berkaitan dengan jalan cerita. Alih-alih mengembangkan cerita dari The Last Jedi dan fokus membangun arc karakter serta cerita yang memuaskan, Abrams justru mengoreksi plot film itu dan menyelaraskannya dengan teori-teori penggemar. Hal ini mungkin bakal membuat para penggemar berat bersorak. Sayang, hal itu mesti dibayar dengan narasi yang terkesan dipaksakan serta arc karakter yang anti-klimaks dan diburu-buru.

The Rise of Skywalker menceritakan akhir perjuangan kelompok Resistance melawan First Order yang dipimpin Kylo Ren (Adam Driver). Di sisi lain, Rey (Daisy Ridley) juga mesti menghadapi kenyataan tentang jati dirinya. Mestinya episode ini menuntaskan cerita dan menyimpulkan benang-benang plot yang terpencar dari tiga trilogi. Sayang, ini dilakukan sekenanya dan dengan fan service yang kental.

Menghadirkan akhir cerita dari sebuah saga yang telah puluhan tahun mengakar dalam budaya populer dunia memang bukan perkara mudah. Dalam beberapa wawancaranya di acara talkshow, Abrams mengamini beban berat yang ia emban untuk mengakhiri epos legendaris ini. Dari sekuel sebelumnya, Abrams melihat betapa penggemar Star Wars bisa begitu tajam mengkiritk jika yang ditampilkan ternyata begitu jauh dari teori yang selama ini mereka percayai, terlepas fakta bahwa The Last Jedi adalah salah satu sekuel terbaik Star Wars.

Maka bisa dipahami jika Abrams kemudian memilih untuk mengembalikan cerita Star Wars sesuai kemauan penggemar. Akan tetapi, hal ini lantas membuat episode yang seharusnya jadi pamungkas terasa hambar dan membosankan. Bahkan kejutan yang coba dihadirkan Abrams tentang asal-usul Rey pun menjadi sebuah usaha yang malas dan tidak imajinatif.

Pada akhirnya The Rise of Skywalker menjadikan trilogi ketiga saga Star Wars ini tak ubahnya layanan fans semata. Lihat saja The Force Awakens yang terdiri dari 70% nostalgia. Kemudian usaha The Last Jedi untuk memberi kerangka cerita dan identitas baru bagi trilogi teranyar Star Wars ini malah dikritik mati-matian oleh orang-orang fanatis. Lalu sebagai pelengkap, edisi terakhir Star Wars ini gagal mengekspansi cerita dan karakterisasi. Yang ada, The Rise of Skywalker malah terjebak dalam bayang-bayang trilogi perdana Star Wars (episode IV-VI). (SIR). Foto: Dok. Istimewa.



 

 


Topic

Movies

Author

DEWI INDONESIA