Jejak Seni dan Perjalanan Kreatif Kei Imazu

Sejak masa kecilnya di Jepang, Kei Imazu telah terinspirasi oleh kekayaan narasi dalam animasi dan manga, terutama karya-karya Osamu Tezuka dan Hayao Miyazaki yang penuh empati terhadap alam dan pesan perdamaian. Lingkungan seni yang akrab, juga berkat pamannya yang seorang pelukis, turut menumbuhkan benih minatnya sejak dini, membentuk sebuah jalur yang terasa alami baginya.
“Paman buyut saya juga seorang pelukis, dan gurunya adalah Yasuo Kazuki, seorang mantan tahanan Siberia yang seninya meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Berkat lingkungan ini, seni dan museum selalu terasa sangat akrab bagi saya,” tuturnya.
Jejak Kesenian Imazu
Eksplorasi seni sang perupa dimulai dengan fondasi kuat dalam lukisan cat minyak tradisional Jepang, yang melatihnya dalam observasi dan presisi. Memasuki jenjang universitas, pandangannya meluas, menggeser fokus ke tema-tema konseptual yang lebih dalam. Pertemuannya dengan teknologi digital, khususnya konsep "layer" di Photoshop sekitar dua dekade lalu, menjadi titik balik penting bagi perupa satu ini.“Gagasan untuk bisa menempatkan elemen dari era dan konteks yang sama sekali berbeda ke dalam ruang visual yang sama, seperti dalam kolase, sangat signifikan bagi saya,” katanya lagi.
“Ini mengingatkan saya pada sel animasi, di mana latar belakang dilukis secara spasial sementara karakter-karakter digambar datar dan hanya ditempatkan di atasnya. Photoshop memungkinkan koeksistensi dimensi yang berbeda semacam ini, dan itulah yang paling saya anggap menarik saat itu.”
Praktik Seni di Indonesia
Keputusan Imazu untuk menjadikan seni sebagai jalan hidupnya berakar pada pengalaman pameran yang berkesinambungan sejak masa kuliah. Undangan-undangan ini menjadi motivasi kuat baginya untuk terus berkarya di tengah kesibukan paruh waktu, hingga akhirnya ia memilih untuk mendedikasikan diri sepenuhnya pada praktik seninya.Pada tahun 2018, sebuah perpindahan yang penuh makna membawanya ke Bandung, Indonesia. Kota ini mengejutkannya dengan suasana yang nyaman, jauh dari hiruk pikuk gedung tinggi Jakarta, serta ruang studio yang terbuka dan dinamis, sebuah kontras yang menyegarkan dari Tokyo. Komunitas seniman Bandung yang penuh energi dan semangat kolaborasi memberinya pengalaman baru yang menyenangkan.
Namun, tinggal di Indonesia juga membawa Imazu pada sebuah refleksi yang lebih dalam. Pertemuannya dengan sisa-sisa sejarah pendudukan Jepang, seperti Goa Jepang, meninggalkan kesan yang mendalam. Isu-isu lingkungan seperti ekstraksi air dan pengelolaan sampah juga secara signifikan membentuk arah karyanya, membangkitkan kesadaran akan dampak manusia pada alam. Dalam kekacauan yang dirasakannya di Indonesia, ia menemukan sebuah kebebasan yang berbeda dari struktur kaku kehidupan di Jepang.
Mitos sebagai Refleksi Sosial-Budaya

Dalam karyanya, Imazu dengan hati-hati melibatkan mitos dan sejarah yang seringkali kompleks dan kontradiktif. Misalnya, dalam pameran tunggalnya yang bertajuk “The Sea is Barely Wrinkled” (Laut Nyaris Tak Beriak) di Museum MACAN, Imazu menempatkan figur Nyai Roro Kidul di hadapan bangkai kapal VOC Batavia. Ia juga menghubungkan sawah dengan mitos Dewi Sri, mempertanyakan narasi kekuasaan yang ada.
Baginya, mitos berfungsi sebagai peringatan tentang tindakan destruktif manusia terhadap alam, mendorong dialog alternatif yang melampaui "sejarah" yang biasa dibingkai. Pendekatan ini mengundang penonton untuk melihat kembali hubungan kita dengan bumi dan warisan masa lalu.

“Dalam pameran ini, saya menempatkan Nyai Roro Kidul di depan kapal VOC Batavia yang tenggelam. Ini adalah isyarat yang mempertanyakan dan menantang struktur kekuasaan yang mapan. Sawah yang dibuat selama pengepungan Batavia juga berhubungan dengan mitos Dewi Sri,” jelasnya.
Apa yang paling memicu energi dan motivasinya dalam berkarya adalah penemuan-penemuan baru; baik dari sejarah, mitologi, maupun percakapan sehari-hari. Realisasi-realisasi inilah yang mendorongnya untuk menerjemahkannya ke dalam karyanya.
***

Kei Imazu terus menenun narasi-narasi yang dalam melalui kanvasnya, menyatukan masa lalu dan kini dengan sentuhan kontemporer. Baginya, seni bukan sekadar ekspresi, melainkan ruang dialog—tempat mitos dan sejarah saling berbisik, di mana alam mendapatkan suaranya kembali.
Dari karyanya yang berakar pada ingatan masa kecil di Jepang, hingga Indonesia yang menjadi tempatnya bermukim kini, ia mengajak kita untuk melihat dunia dengan mata yang lebih peka. Dalam setiap karyanya, ada pertanyaan yang menunggu untuk digali. Dan melalui pertanyaan-pertanyaan inilah ia membuka pintu bagi kita semua untuk merenung, belajar, dan mungkin, mulai menulis cerita baru bersama bumi
Teks: Mardyana Ulva
Foto: Gayuh Prasongko, Liandro Siringoringo - Museum MACAN