Dewi Daya: Sosok Temu Misti Sang Pelestari Tari Gandrung Banyuwangi
Sosok Temu Misti dari Desa Kemiren baginya penari Gandrung bukan sebatas pandai menari tapi harus pandai pula bernyanyi.
22 Apr 2015


Temu Misti tinggal di desa Kemiren, sekitar 15 menit bermobil dari pusat kota Banyuwangi. Tari gandrung yang menjadi kebanggaan kota ini selama hampir setengah abad bahkan disinonimkan dengan namanya: Gandrung Temu. Para penggemarnya ada yang menyaksikan ia menari sejak mereka masih kanak-kanak. Di Banyuwangi, di tiap sudut kota dan jalan, lelaki dan perempuan yang mendengar namanya disebut, tidak ada yang tidak mengenalnya. Pembicaraan pun langsung menjadi hangat. Ia seorang maestro dari kesenian rakyat. Di puncak masa jayanya, di tahun 1970-an, ia seringkali menari selama 21 hari dalam sebulan, dari jam sembilan malam hingga jam empat pagi. Tiada rasa lelah. Kegembiraannya sederhana, “Yang penting hari tidak hujan.”

Seorang penari gandrung mengemban tanggung jawab melebih perempuan biasa. Akhir dari setiap pertunjukan gandrung selalu disempurnakan dengan seblang, tari perpisahan yang mengisahkan bahwa setelah sang penari menunaikan tugasnya untuk menghibur, Temu Misti masih harus menjalankan tugas lain di rumah, yaitu mengurus keluarganya. Penonton yang memahami makna seblang, biasanya menangis tiap kali menyaksikan tari perpisahan ini, apalagi sang penari mampu menjiwai tiap gerak yang bermakna.

Sudah 47 tahun Temu Misti menari, dan itu nyaris sepanjang usianya yang kini menginjak 61 tahun. Awal mula ia menari hampir menyerupai kisah dongeng tentang mereka yang terlahir istimewa atas titah para dewata. Setelah melalui tahap antara hidup dan mati, ia menjalani takdirnya. Pada usia satu tahun Temu Misti diangkat anak oleh bibinya sendiri, Khatijah, yang tidak dikaruniai keturunan. Suatu hari ia menderita sakit parah. “Tidak mau makan, lalu dibawa ke seorang dukun. Saya dipijat dan dijampi. Dulu di kampung belum ada Puskesmas atau dokter seperti sekarang. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Ibu dan saya mampir di rumah seorang juragan gandrung bernama Mbah Ti’ah yang baru saja selesai memasak nasi. Mbak Ti’ah berkata, ‘Ambilkan saja (nasi) biar anak ini mau makan. Mudah-mudahan sembuh. Nanti ganti namanya jadi Temu. Kalau sudah besar, nanti jadikan dia penari gandrung’. Nama saya itu tadinya Misti. Saya mengetahui cerita ini, karena Mbah Ti’ah datang untuk menagih janji pada Ibu waktu saya sudah kelas 5 SD,” tuturnya.

Ibunya menolak permintaan Mbah Ti’ah yang ingin menjadikan Temu penari gandrung. Namun, di usianya yang ke-14, Temu tak bisa menghindari suratan ini. “Seorang juragan gandrung, bernama Pak Sutris tidak punya penari, padahal ada pesanan untuk tampil lima hari lagi. Kakak ipar Ibu, Mak Tijah, membujuk saya menjadi penari untuk grup Pak Sutris.  Mak Tijah ini tukang rias gandrung. Setelah sempat minum kopi yang disediakan Mak Tijah, saya langsung mengikuti dia untuk diantar latihan, tanpa pamitan ke Ibu,” kenangnya. Sejak itu pula Temu Misti terus menekuni gandrung.

Pada 2013, Temu memperoleh penghargaan Indihome Women Awards untuk kategori “Women Cultural Artist”. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak waktu itu, Linda Gumelar, menyerahkan langsung penghargaan tadi kepada Temu.  (LINDA CHRISTANTY) Fotografer: Rendra Kurnia

 

Author

DEWI INDONESIA