F.X. Harsono yang Berjuang untuk Kemanusiaan Melalui Seni
F.X Harsono, pendobrak estetika seni rupa yang menggunakan karya-karyanya untuk berjuang demi masyarakat.
13 Jan 2017




Lelaki asal Blitar ini terlahir dengan nama Oh Hong Bun. Ayahnya, Oh Hok Tjoe yang belakangan mengubah namanya menjadi Hendro Subagio adalah seorang juru foto yang ikut mendokumentasikan pembongkaran kuburan-kuburan massal yang berisi jasad korban pembantaian etnis Tionghoa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur antara 1946 hingga 1948. Foto-foto hasil dokumentasi pembongkaran kuburan massal yang dilakukan pada sekitar 1951 itu yang berpuluh tahun kemudian ditemukan Harsono dan menginspirasi karya-karyanya dalam pameran tunggal The Erased Time di Galeri Nasional pada 2009 silam. Tema-tema sosial, politik, hak asasi manusia dan lingkungan manusia kerap menjadi energi yang menggerakkan seniman yang pernah menimba ilmu di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini ketika berkarya.
Sejak pertengahan 1970an, Harsono bisa disebut sebagai seniman yang aktivis dan giat memperjuangkan berbagai ketidakadilan lewat karya-karyanya. Ia salah seorang dari beberapa seniman yang mendeklarasikan gerakan Desember Hitam yang menolak institusionalilsasi seni pada 1974. Setahun kemudian, tepatnya pada 1975, seniman yang pernah menerima penghargaan Prince Klaus dari pemerintah Belanda dan Joseph Balestier Award for The Freedom of Art dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Singapura ini juga menjadi salah seorang penggagas Gerakan Seni Rupa Baru yang melakukan berbagai pendobrakan estetika seni rupa. Ia membuat seni instalasi dan pertunjukan yang saat itu masih dianggap sebagai anti estetika dan menyalahi konvensi. Sepanjang pemerintahan Orde Baru, lewat karya-karyanya, Harsono termasuk seniman yang berada di barisan depan menentang rezim represif yang membungkam banyak sekali suara. Perjuangan itu terus berlanjut hingga dekade 1980-an ketika ia aktif terlibat dalam berbagai aksi yang ia serta teman-temannya namai sebagai seni kontekstual atau seni penyadaran yang berusaha mengembangkan sarana yang memungkinkan praktik artistik bisa menjadi ruang representasi dan komunikasi yang dialogis. Hingga akhir dekade 1990-an, ia masih menerapkan itu dan memakai karya-karyanya untuk memperjuangkan apa yang ia anggap penting bagi masyarakat.
Menjelang kejatuhan presiden Soeharto, terjadi kerusuhan anti etnis Cina di sejumlah kota. Tragedi itu menjadi sebuah penanda penting dalam perjalanan karier seni rupa Harsono. “Saat itu, saya, sama seperti warga lainnya mengalami ketakutan yang mencekam. Keadaan itu seperti pukulan keras buat saya yang selama hidup selalu merasa bahwa saya adalah orang Indonesia. Karya-karya yang saya buat selalu berangkat dari nasionalisme sebagai seorang anak bangsa. Maka ketika gelombang anti Cina itu terjadi, saya lalu bertanya, jadi selama ini, siapa saya yang sebenarnya?” kata Harsono dalam sebuah perbincangan dengan dewi. Momen itu menjadi titik balik yang kemudian mengubah arah karya-karya Harsono yang sebelumnya selalu tentang segala ketidak adilan yang berada di luar dirinya, menjadi sebuah perjalanan batin menemukan identitasnya sebagai manusia. Tentu saja, ia tak lantas membenci Indonesia, karena baginya, Indonesia adalah rumah dan Tanah Air. “Saya hanya merasa perlu menemukan diri dan sejarah saya sebagai manusia,” katanya. (ISA) Foto: Dok. ISA.     
 

 

Author

DEWI INDONESIA