Simak Inspirasi di Balik Karier dan Karya Hidup Susan Budihardjo
Salah satu tokoh yang paling signifikan dalam dunia fashion Indonesia, Susan Budihardjo, menceritakan inspirasi di balik kariernya sebagai desainer dan geliatnya dalam dunia pendidikan mode tanah air.
27 Nov 2017


1 / 1
Tiga dekade mendidik ranah mode Indonesia. Nyatanya, fashion bukanlah cita-cita pertamanya. Susan Budihardjo termasuk wanita cerdas yang gemar belajar. Ia kuliah saat usianya 16 tahun. Ia kuliah studi Arsitektur di Universitas Tarumanegara, Jakarta. Susan punya hobi menggambar. Bisa jadi dipengaruhi sang ibu yang juga suka menggambar. Mimpinya selalu berubah-ubah. Ingin menjadi penari balet, pianis, bahkan sempat bercita-cita menjadi atlet renang atau basket. “Pada era itu, kebanyakan orang bercita-cita menjadi dokter atau arsitek. Saat itu tidak ada orang Indonesia bermimpi ingin menjadi fashion designer, termasuk saya,” kisahnya. Satu semester kuliah Arsitektur, ia merasa jenuh. “Saya berpikir, rasanya bukan di sini tempat seharusnya saya berada,”

Dunia mode sesungguhnya bukan impian Susan sejak kecil. Sewaktu kuliah, ia mengenal pesta yang kemudian mengharuskan Susan berpikir keras setiap hendak berpakaian. “Saya ingin berpenampilan beda. Tidak sama dengan kebanyakan orang. Keinginan itu menorong saya untuk mendesain sendiri baju-baju pesta.” Memiliki ibu yang gemar menjahit dan pandai memadupadankan busana, Susan kian bersemangat mendesain baju sendiri. Dan baju karyanya kerap kali mencuri perhatian di tengah pesta. Hasilnya, teman-teman meminta Susan membuatkan baju. Susan lantas menemukan kenyamanan yang ia cari selama ini.   

Hal tersebut meyakinkan Susan untuk masuk sekolah mode di Indonesia. Saat itu hanya ada sekolah mode ASRIDE yang kini bernama ISWI. Susan belajar di sana selama satu tahun, pada tahun 1972. “Saya harus menyerap banyak ilmu. Maka saya melanjutkan studi ke Berlin, Jerman, lalu sekolah di London, Inggris. Lima tahun sekolah, saya kemudian pulang ke Indonesia,” cerita Susan. Keinginan mendirikan sekolah mode hanya dilatarbelakangi oleh kesulitan yang ia hadapi saat dulu mencari tempat belajar mode di Indonesia. Tidak ada pemikiran saat itu bahwa mendirikan sekolah fashion dalam rangka membesarkan dunia fashion Indonesia. “Saya ingin orang-orang di Indonesia tidak lagi susah mencari sekolah mode atau pergi jauh ke luar negeri untuk belajar mode,” kisahnya. Tahun 1980 sekolah Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo berdiri dan menjadi sekolah mode pertama di Indonesia (lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum). Kini telah memiliki cabang di Semarang, Surabaya, dan Bali. 

Kini Susan Budihardjo sudah tidak lagi mengajar atau menggelar show tunggal. Kerinduan mendesain baju ia tuangkan melalui karya desain busana yang dipesan teman-teman dekatnya atau untuk digunakan dirinya sendiri. “Saya lebih senang disebut sebagai pendidik dibanding sebagai desainer mode. Meski demikian, saya tidak pernah berharap ada ‘Susan Budihardjo kecil’ sebagai penerus saya.” Susan yakin, setiap orang punya karakter masing-masing yang tidak pernah sama persis. Desainer yang berkualitas, menurutnya, adalah mereka yang mendesain dengan statement baru. “Fashion bisa berubah, tapi ada DNA sebagai karakter yang membentuk identitas.”

“Kuncinya adalah kreativitas. Kepekaan yang terus-menerus diasah. Kita juga mesti sering-sering bertanya, apa yang dibutuhkan orang dalam berbusana? Apa yang bisa diterima masyarakat? Banyak orang ingin go international, tetapi pada saat bersamaan tidak memerhatikan kualitas,” ungkap Susan. Baginya, seorang desainer harus mampu menggabungkan dua hal, karya-karya yang mencerminkan karakter desainer dan sekaligus bisa diterima masyarakat luas. Susan mencontohkan dirinya, yang meski kini berubah gaya tetapi punya satu garis yang selalu bertahan. “Dulu saya bergaya sangat elegan. Pakai jas, rok, dan aksesori kalung. Saya sekarang tidak lagi seperti itu. Namun dari dulu, gaya berbusana saya selalu ‘clean’. Seperti apa pun gaya mode yang saya kenakan, saya tetap tidak memakai yang ribet dan terlalu banyak ornamen,” aku Susan.

Sebagai desainer mode sekaligus pendidik, Susan paham betapa sulitnya mencari bahan dengan kualitas bertaraf internasional di Indonesia. “Industri tekstil di sini sebenarnya bisa membuat kain dengan kualitas prima, namun itu semua orderan pihak luar negeri.” Maka itu Susan mulai mendidik murid-muridnya agar peka melihat ke pasar industri ready-to-wear yang pasarnya lebih besar.

Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo merupakan sekolah mode tertua di Indonesia. Dari sekolah mode ini, telah lahir banyak nama besar fashion designer Indonesia. Beberapa desainer bertalenta yang lahir dari LPTB Susan Budihardjo, di antaranya yaitu Sebastian Gunawan, Eddy Betty, Adrian Gan, Irsan, Didi Budiarjo, Denny Wirawan, dan Sofie. “Saya bangga dengan semua murid lulusan sekolah ini. Mereka melesat, kuat, dan telah memiliki tempatnya masing-masing,” ujar Susan. Tidak semua murid lulusan sekolah mode Susan Budihardjo dikenal publik melalui sorot media. Beberapa lulusannya sukses menapaki ranah mode Tanah Air meski tak dikenal banyak orang (tidak semua murid Susan memilih berkarier sebagai desainer mode, banyak yang akhirnya memilih memiliki usaha tekstil atau pabrikan). Namun, sebagai pendidik, Susan memiliki kebanggaan yang sama terhadap semua muridnya. “Mereka yang berhasil di industri mode tapi tak terkenal, dan mereka yang berhasil sebagai desainer, misalnya Adrian Gan yang memiliki lini adibusana, keduanya sama-sama bikin saya bangga sekali.” 

Kali pertama Susan Budihardjo mendirikan sekolah, banyak teman-teman yang meragukannya. “Mereka bilang, ‘Kamu sekolah lima tahun lalu pulang ke Indonesia bagi-bagi ilmu. Memangnya tidak rugi?’ Saya berbagi ilmu, tetapi mode itu bergerak dan berkembang. Saya selalu memegang prinsip ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Sebagai pendidik, kita tidak sepatutnya punya perasaan takut kalah pintar atau kalah terkenal dibanding murid-murid sebagai generasi penerus,” ungkap Susan.

Susan mengungkapkan dirinya menemukan kepuasan dan kebanggaan ketika anak muridnya sukses. “Ketika lulus dari sekolah ini, mereka siap terbang dengan percaya diri. Saya ikut senang dan haru. Bahkan ketika orangtua murid mengucap terima kasih kepada saya. Rasanya sulit diungkap dengan kata-kata.” 

Ia bukan perempuan yang haus eksistensi. Terbukti, Susan tidak mementingkan apakah dirinya dikenal atau tidak. “Bisa jadi yang mengenal saya adalah mereka yang senior atau sudah lama berada di dunia mode. Generasi zaman sekarang mungkin banyak yang tidak mengetahui saya karena saya tidak suka mengekspos diri sendiri,” ungkapnya. Susan tidak melibatkan diri di dunia media sosial seperti Instagram, twitter, dan facebook. Hanya profil dan kegiatan sekolah LPTB Susan Budihardjo, tetapi tidak mengumbar kehidupan pribadi Susan. “Saya tidak merasa orang-orang perlu tahu saya makan apa dan sedang pergi ke mana. Saya ingin orang membicarakan saya mengenai karya dan sekolah beserta murid-murid. Rasanya tidak perlu orang-orang mengetahui kehidupan personal saya,” ujarnya seraya tersenyum kepada dewi.

Perjalanan puluhan tahun ini tidak selalu mulus. Ada hambatan serupa tantangan serta momen jatuh yang pada akhirnya membangkitkan optimisme Susan. Ia pernah berhenti dan menutup sekolahnya selama tujuh tahun. “Saya merasa sangat bersalah dan kemudian kembali ke ranah ini dengan perasaan suka cita,” tuturnya. Ia mengaku sangat menikmati proses desain dan menyenangi setiap pelanggan yang sudah menempati hatinya. Tetapi, tidak ada yang bisa mengalahkan kesenangan saat bergelut dengan murid-murid dan kurikulum sekolah mode Susan. “Meski pun tengah berada di luar negeri atau luar kota, saya tetap bisa mengarahkan murid-murid. Jadwal belajar dan praktek semua teratur dan terkendali. Saya senang sekali berada di momen ini,” ungkapnya.
Di balik kegigihan dan keuletannya, Susan menyimpan ketakutan yang ia simpan rapat-rapat. Seiring bertambahnya usia, ia khawatir sekali pada kepikunan. “Usia saya saat ini 67 tahun. Dan saya ada turunan penyakit Alzheimer. Karena itu saat muda saya kerja gila-gilaan sebab rencananya saya pensiun di umur 55. Tetapi setelah saya pikir, kerja sampai lupa waktu juga tidak sepenuhnya benar. Saya harus punya waktu untuk diri sendiri,” kata Susan yang gemar makan dan belanja.

Tidak lagi muda bukan berarti membatasi kegembiraan hidup. “Awet muda itu bukan soal muka harus kencang atau baju harus seksi terbuka. Tetapi cara berpikir yang seperti anak muda. Senang belajar dan terbuka pada banyak kemungkinan,” katanya. Susan mengaku jarang sekali berolahraga, tetapi selalu aktif bergerak sehari-hari. Jika harus berolahraga, maka ia memilih kegiatan outdoor. Misalnya renang, basket, atau lari. Ia selalu minum vitamin pada pagi hari. Susan makan makanan apa pun tanpa pantangan. Namun ia batasi porsi hanya secukupnya. Setiap hari tubuhnya kian terasa bugar meski usianya tidak lagi muda. Apa yang sesungguhnya membakar semangat Susan? “Murid-murid saya. Usia saya selalu bertambah angkanya, tetapi murid saya selalu berusia 18-19 tahun. Bersama generasi muda, saya ikut terbawa semangat dan gairah belajar yang senang mengeksplorasi hal-hal baru. Ini penting jika bicara soal bertahan dalam dunia mode,” tutupnya.  (RR) Foto: Dok. Yohan Liliyani
 

 

Author

DEWI INDONESIA