Para Pembuat Film Istirahatlak Kata-Kata Menceritakan Pembuatan Film nya.
Film berjudul Istirahatlah Kata-Kata mendapatkan respon yang baik dimata masyarakat.
2 May 2017


1 / 2
SEANTUSIAS APA REAKSI PUBLIK?
Yulia Evina Bhara (Ebe): Sejak ditayangkan perdana pada 19 Januari 2017 sampai pertengahan Februari ini sudah disaksikan 51.424 penonton. Yosep Anggi Noen (Anggi): Kalau dalam segi bisnis, tidak terlalu besar hasilnya. Tetapi dari segi konteks filmnya, film seperti ini dengan penonton 51.424 penonton itu bukan semata-mata menyangkut fenomena kepenontonan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan film-film independen di Thailand, resepsi penonton kita luar biasa. Di Thailand, film semacam ini hanya ditonton sekitar 2.000 orang dan maksimal 11.000-an. Potential market untuk film-film seperti ini sebetulnya memang ada. Film ini paling bersejarah sebenarnya dari segi penerimaan publik, yaitu ini untuk pertama kalinya orang-orang yang ingin menonton dapat mendesak bioskop memutar film yang mereka minta dan bioskop memenuhi permintaan itu. Eduwart Boang Manalu: Saya menonton film ini lebih dari 15 kali. Selain dihubungi Mbak Ebe untuk bisa hadir, juga ada organisasi atau industri yang mengajak menonton bersama. Jadi saya hafal dari adegan pertama sampai terakhir.
ADAKAH KRITIK?
Anggi: Beberapa orang berpendapat bahwa Istirahatlah Kata Kata mengedepankan pencapaian-pencapaian artistik saya ketimbang pergulatan aktivisme Wiji Thukul, penyair dan aktivis demokrasi yang sosoknya menginspirasi film ini. Sebenarnya aktivisme memiliki makna luas, yaitu perpanjangan tangan dari penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri. Saya pikir, Wiji adalah sosok yang juga punya kerinduan dan sisi manusiawi. Saya ingin menyentuh sisi ini.
Ada yang sangat tidak suka film ini. Ada pula yang begitu suka dengan film ini, kemudian kembali teringat masa Orde Baru. Ada yang sama sekali tidak tahu apaapa soal Wiji, lalu mencari informasi siapa dia. Semua kritik dan reaksi tersebut membuktikan kepedulian mereka.
MENGAPA MEMBUAT FILM INI?
Ebe: Pembuat film ini merupakan proses yang bergulir. Berawal dari saya, Tunggal Pawestri dan Okky Madasari yang bersama-sama membuat Barisan Pengingat,dengan menggerakkan sejumlah anak muda membuat mural beberapa sastrawan di Indonesia, yang salah satunya Wiji Thukul. Mural sastrawan ini ada di jembatan Cilandak Town Square dan di Cikini. Tujuannya mengajak anak-anak muda mengenal sejarah melalui cara yang populer, menggunakan ruang-ruang yang menyenangkan dan asyik. Setelah beranjak menjadi keinginan membuat film, Anggi ditawari menjadi sutradara. Naskah awal ditulis oleh Mumu Aloka. Anggi: Saya tidak menduga bahwa Istirahatlah Kata-Kata menjadi film panjang kedua saya setelah Vakansi yang Janggal. Saya sedang menyiapkan film saya yang kedua waktu itu. Tapi kemudian ajakan membuat film ini menjadi tantangan dan kesempatan besar saya untuk melihat masa lalu. Saya hidup dan dibesarkan di sebuah kampung di Yogyakarta, yang jauh dari dari hingar-bingar perubahan dan Reformasi. Waktu saya kuliah di kota dan berinteraksi dengan komunitas-komunitas penggiat sosial, aktivis, dan seniman, saya baru merasa ada yang bolong. Saya merasa tidak punya bayangan dan memori apapun mengenai Reformasi, meski sejumlah orang yang saya temui di kampus memilikinya. Di antara mereka, ada yang bersekolah di SMP dekat bundaran Universitas Gadjah Mada. Mereka melihat tanktank diparkir. Mereka menyaksikan tentara-tentara bersiaga di depan sekolah.
PROSES PEMBUATAN DAN KENDALANYA?
Anggi: Tentu tarik ulurnya cukup lama. Mumu Aloha menulis naskah, lalu saya mentransformasi naskah itu sesuai bahasa film. Setelah naskah selesai dan cukup panjang, saya tiba-tiba merasa tidak akan jadi film. Kami pun sadar akan kekuatan kami. Akhirnya saya menulis naskah itu sendiri dan kami fokus pada satu masa dalam hidup Wiji, yaitu waktu dia terpaksa bersembunyi dari buruan aparat di Kalimantan. Saya pun memutuskan pergi ke Pontianak. Saya ingin menyesatkan diri di Pontianak seperti Wiji. Saya bertiga dengan Aria (co-producer) dan Bayu Prihantoro (director of photography). Itu tahun 2015. Ebe: Lalu kita jalan lagi untuk riset dan untuk sampai syuting, itu membutuhkan waktu 1,5 tahun kemudian. Dalam kurun waktu tersebutkami bertemu banyak orang, dari yang mengenal Thukul waktu dia masih di Solo hingga kawankawannya dulu di Partai Rakyat Demokratik. Kami sudah lebih mengenal perjalanannya dari cerita-cerita mereka. Anggi: Beberapa orang ternyata berinteraksi dengan Wiji secara singkat. Ada yang cuma pernah ketemu satu kali. Tapi mereka lalu sangat terkesan. Gunawan Maryanto, pemeran Wiji Thukul, pernah bertemu Wiji dan melihatnya dari sebuah jarak, yaitu waktu Wiji membaca puisi di Pasar Beringharjo untuk membela orangorang pasar. Wiji ternyata menyimpan banyak misteri. Sosok yang misterius. Masa dia di Pontianak itu sebuah masa yang memang tidak banyak yang tahu, bahkan teman-temannya sendiri tidak tahu. (LC, RR) Foto: Dok. Dewi.
 

 

Author

DEWI INDONESIA