Kiat Memajukan Arsitektur Indonesia oleh Danny Wicaksono Lewat Pameran dan Riset
Danny Wicaksono membangun kesadaran tentang wacana arsitektur melalui pameran dan riset kota-kota kecil untuk menemukan solusi demi ruang hidup yang kondusif.
18 May 2017


Ia antusias saat menceritakan pidato Sutan Syahrir di tahun 1950an tentang kota. Hal itu nyaris tidak pernah diperbincangkan publik, termasuk kalangan arsitek dalam negeri. Danny Wicaksono bersyukur bisa mendapatkan buku tua yang memuat pidato tersebut. Ia membayangkan andaikata pendapat Syahrir itu dipraktikkan, bisa saja Indonesia punya tatanan kota yang lebih baik dari hari ini. Setidaknya tercipta sebuah kondisi yang tak mengundang kegelisahan cukup besar tentang ruang hidup nyaman di Ibukota. “Saya selalu tertarik dengan awal. Asal usul, masa lalu, bagaimana Indonesia ada, bagaimana modernisme dalam arsitektur lahir,” katanya di tengah perbincangan kami.
 
Kakek Danny seorang wartawan yang bekerja di kantor berita Antara yang sempat hilang saat peristiwa politik pada 1965 dan berhasil kembali dengan selamat enam bulan kemudian. Danny tumbuh dengan cerita-cerita sang kakek tentang Indonesia dan Soekarno.. “Kakek bagai terobsesi dengan beliau. Setiap Bung Karno datang ke Cirebon, Kakek selalu dipanggil untuk bertemu. Saat Kakek datang ke Jakarta, dia menginap di Istana,” kenangnya. Meski tidak mengidolakan Soekarno, Bung Karno, Danny  mengenang pejuang kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia sebagai sosok yang menganggap arsitektur sebagai wajah bangsa. “Soekarno percaya untuk membangun bangsa yang hebat, kita harus membangun arsitektur yang inspiratif dan dapat dikagumi bangsa lain. Beliau melarang adanya elemen tradisional di bangunan-bangunan pemerintahan seperti Masjid Istiqlal, Gedung Pola, dan Gedung MPR. Atap hijau gedung MPR adalah satu-satunya atap di dunia dengan struktur seperti itu. Dia berusaha menghilangkan jejak bangunan Belanda dan menetralisir banyaknya elemen tradisional dari sekian ratus suku bangsa di Indonesia melalui arsitektur yang modern.”
 
Tujuh puluh tahun berjalan, harapan Soekarno serasa jauh dari kenyataan. Danny turut gusar.  “Indonesia masih berjarak dari poros wacana arsitektur dunia. Padahal keberadaan wacana ini penting agar kita bisa melihat kemungkinan-kemungkinan baru dan mampu membuat kita sehebat sosok-sosok yang kita kagumi. Sekarang Andra Matin dan Studio TonTon rutin mengadakan pameran di Jepang, tapi hal itu masih jauh dari cukup,” ujar pria yang menjadi anggota Komite Internasional untuk Kritikus Arsitektur.
 
Kegelisahan Danny muncul sejak sembilan tahun lalu ketika di dalam negeri tengah terjadi “eksodus arsitek muda”. Terbuka peluang besar bagi para arsitek untuk bekerja di firma arsitektur negara-negara Singapura, Cina, dan Timur Tengah yang tengah menggencarkan pembangunan. Ia khawatir kepergian para arsitek muda itu akan mematikan proses pertukaran pikiran dan gagasan baru. Bersama kawannya Paskalis Krishno, Rafael Arsono, dan Noerhadi; Danny membentuk Jong Arsitek!, sebuah jurnal yang berisi pemikiran para arsitek untuk memastikan pertukaran gagasan tetap ada. Meski demikian hal tersebut tak lantas membuatnya tenang. Arsitek Kengo Kuma dan Rem Koolhaas pernah menjadi narasumber kuliah umum yang pernah diselenggarakan Danny.
 
Di tahun yang sama ia sempat bertandang ke Beijing bersama Adi Purnomo, pemilik biro arsitektur Mamostudio tempatnya bekerja dulu, untuk menghadiri pertemuan Ordos 100, proyek yang melibatkan 100 arsitek dari seluruh dunia pilihan Firma Herzog & de Meuron untuk membangun rumah di kota tersebut. “Pemikiran arsitek Indonesia jarang sekali didengar. Kebanyakan bahkan tidak pernah mengetahui bahwa Indonesia memiliki arsitektur modern. Ini membuat Jong Arsitek! membuka komunikasi dengan desainer dan arsitek dari negara lain agar peluang terbangunnya pemikiran baru lebih terbuka. Kami mengundang mereka untuk berkontribusi dan juga mengundang arsitek luar Indonesia untuk mengadakan kuliah umum,” tuturnya.
 
Sejak itu pula Danny rutin menyelenggarakan acara lokakarya desain, diskusi terbuka, dan pameran. Jong Arsitek! tutup di 2012. “Karena kami merasa pertukaran informasi semakin mudah,” katanya. Ia tetap menjadi kurator pameran arsitektur dan desain. Dalam setahun terakhir ia menjadi kurator untuk pameran Indonesia Pavilion in London Design Biennale 2016 dan International Architecture Week Seoul yang akan diselenggarakan September 2017. Kini ia tengah menyeleksi karya para arsitek berdasar tema reaksi terhadap kota.  
 
Peran kurator sesungguhnya bukan jadi cita-cita Danny. Begitupun dengan profesinya saat ini. “Orangtua saya adalah salah satu pihak yang terkena dampak krisis ekonomi 1998. Sejak saat itu saya berkeinginan untuk bekerja secara independen. Pilihan yang sesuai dengan kondisi saat itu adalah dokter, desainer grafis, dan arsitek. Saya memilih arsitek,” kata pria yang juga berafiliasi dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). 
 
 Ia mendirikan firma Studio Dasar. Proyek pertama datang dari Goenawan Mohamad, pendiri pusat kesenian Salihara. “Pak Goen meminta saya mendesain gedung pertunjukan baru untuk menunjang kegiatan berkesenian di kompleks Galeri Salihara. Saya mendesain bangunan 5 lantai yang terdiri dari studio musik, studio tari, wisma untuk penampil, ruang serbaguna, dan panggung atap,” tuturnya. Anjung terasa sebagai sebuah bangunan modern yang mengundang untuk dinikmati. Terlebih jika cuaca cerah. Duduk di depan tangga melingkar atau di area residensi penampil bisa saja menjadi sebuah momen kontemplatif.  
 
Sampai hari ini Danny memilih untuk tidak menerima proyek komersial seperti hotel dan restoran. Ia lebih nyaman mendesain arsitektur yang bisa dinikmati masyarakat juga rumah tinggal yang kaya akan eksplorasi desain. Sekarang ia mendesain rumah minimal, rumah dengan satu dinding. Danny bagai gemar pada hal-hal yang tidak lazim. Seperti saat menjadi curator pameran bertajuk Rumah Tanpa Pintu.
 
Kini proyek ruang publik yang sedang dirampungkannya ialah Pasar Anyar, sebuah bangunan yang fasadnya sepintas mengingatkan pada motif segitiga di tenun ikat Indonesia Timur. “Di pasar ini ada ruang terbuka hijau yang berhubungan langsung dengan pasar. Area Food Court berhubungan dengan taman dan akan menghidupkan kegiatan di taman publik ini. Pasar ini didominasi oleh bentuk atap pelana yang pada beberapa bagiannya menerus hingga ke tanah. Kami ingin membuat sebuah bangunan dimana pengunjung dapat terhubung dengan baik di bangunan ini, bahkan hingga ke titik tertinggi bangunan.”
 
Di sisi lain, Studio Dasar juga menjadi studio riset yang saat ini mempelajari tentang kota-kota kecil, “Para cendekiawan arsitektur kurang memperbincangkan mengenai kota-kota kecil. Kita perlu keluar dari Pulau Jawa. Dari sekitar 247 kota  di Indonesia dengan penduduk di bawah 100.000 jiwa, hanya dua di Pulau Jawa. Kabupaten-kabupaten seperti Tubaba dan Banyuwangi harus lebih banyak muncul. Dua lokasi tersebut bisa membuat kita mempelajari cara kota dibangun dan ditata lebih baik. Baru-baru ini kami meriset tentang kemampuan terbang pesawat lansiran PT. Dirgantara N250. Saya merasa salah satu kunci untuk mebangun kota kecil ialah bandara dengan fungsinya sebagai ‘jembatan’ antar daerah. Dengan mengetahui kemampuan terbang pesawat, kita bisa memprediksi infrastruktur yang diperlukan dengan efisien. Kesempatan trading antar daerah yang juga didasarkan pada sumber daya lokal harus dibuka lebar dan ditunjang dengan efektif.”
 
Danny telah terbiasa dengan aktivitas meriset. Tradisi ini ditanamkan saat ia bekerja di Mamostudio. Bagi Danny, Adi Purnomo punya peran dalam pembentukan cara berpikirnya sebagai seorang arsitek. Ia belajar bahwa simbol dan bentuk bukan hal yang utama. Ada tujuan lain yang bisa membuat arsitektur menjadi lebih baik dan bermanfaat. Meski bentuk bukan yang utama, nyatanya Mamostudio selalu berhasil membuat Danny terpana dan bertanya-tanya saat merasakan bangunannya.
 
 Sampai kini ia tetap menjalani keinginan untuk terus mempelajari kota dan memikirkan ruang hidup. Terlepas dari sukses atau tidak gagasan yang dibuatnya. (JAR) Foto: Dok. Denny Herliyanso.
 

 

Author

DEWI INDONESIA