“Olafur Eliasson: Your Curious Journey”, Sebuah Meditasi Pancaindra, Alam, dan Ketidakkekalan

Olafur Eliasson menyelami fenomena alam, pengalaman manusia, dan keterikatan ekologis, membuka ruang refleksi tentang bagaimana kita menjalin hubungan dengan alam, diri sendiri, dan dunia.
Life is lived along lines (2009), salah satu karya Olafur Eliasson dalam pameran “Your Curious Journey” di Museum MACAN Jakarta

Ada seniman yang menggugah pikiran, ada yang menggiring emosi. Olafur Eliasson melakukan keduanya dengan cara yang persuasif. Dalam pameran terbarunya, Your Curious Journey di Museum MACAN, ia mengajak pengunjung untuk kembali pada sesuatu yang sering kita abaikan di tengah dunia yang terburu–buru: kepekaan indera kita sendiri.

Alih-alih memberi petunjuk atau penjelasan panjang, Eliasson memilih untuk memberi ruang. “Karya seni hanya akan menjadi utuh bila Anda berinteraksi dengan rasa ingin tahu Anda,” ujar seniman kelahiran Denmark tersebut. Ia mengajak kita bukan untuk mengerti, tapi untuk merasakan; untuk membuka diri pada yang tak terduga; untuk merangkul perubahan tanpa perlu buru-buru memahaminya.

Selebihnya, museum menjadi sebuah lanskap untuk mendengar kembali bagaimana mata, telinga, kulit, dan penciuman kita sebenarnya memiliki intelektualitasnya sendiri. Bagi sang seniman, segala pengalaman inderawi ini, sejatinya adalah pengetahuan yang tidak selalu memerlukan kata-kata selama kita bisa hadir dan sadar sepenuhnya.

Advertisement

Ventilator (1997), Gerak yang Mengatur Napas Ruang

Ventilator (1997) menunjukkan bahwa sesuatu yang sesederhana tiupan angin dapat menjadi pengalaman estetis ketika kita memilih untuk hadir sepenuhnya.

Karya pertama yang menyambut pengunjung adalah Ventilator (1997), yang merupa dalam bentuk kipas angin. Ia menggantung dari langit-langit, bergerak bebas mengikuti arus udara. Tampak sederhana, hampir seperti objek rumah tangga. Namun justru dalam kesederhanaan itu, kita diajak menyadari keberadaan ruang antara: ritme, jarak, dan gerakan yang tak pernah sama.

Kipas itu seperti mengatur tempo napas ruangan. Perlahan tubuh kita selaras, menemukan ketenangan melalui sesuatu yang begitu sehari-hari, namun jarang kita sadari.

Adrift Compass (2019), Ketika Alam Menggambar Garisnya Sendiri

Dalam ketenangan karya ini, kita diingatkan bahwa garis-garis yang membentuk hidup kita sering kali bukan hasil kalkulasi rasional, melainkan tarikan halus dari sesuatu yang lebih besar, lebih purba, lebih konstan.

Sebuah kayu apung menggantung tenang dari langit-langit, benda sederhana yang menyimpan perjalanan panjang dari pesisir Islandia. Permukaannya telah dipangkas di salah satu ujung, dihaluskan hingga membentuk sudut yang tegas, lalu diberi sedikit warna, seolah menandai batas antara yang alami dan intervensi manusia.

Yang membuatnya hidup adalah batang magnetik tipis yang juga tergantung dari tubuh kayu tersebut. Tanpa suara, ia menarik kayu apung itu untuk selalu mengarah ke poros utara–selatan, layaknya jarum kompas yang mengikuti bisikan medan magnet bumi. Tidak ada teknologi rumit, tidak ada narasi yang menyuruh kita harus melihatnya bagaimana. Yang ada hanyalah alam; yang bekerja secara perlahan, nyaris tak terlihat, namun tetap pasti.

The Last Seven Days of Glacial Ice (2023), Keabadian yang Rapuh

Sesuatu yang seharusnya mencair justru dibekukan. Energinya tetap ada, hanya bentuknya yang berubah.

Di ruang lain, bola-bola kristal mengejawantahkan waktu. Olafur merekam bongkahan es selama tujuh hari, memotret setiap perubahan, lalu mencetak ulang bentuk-bentuk cair itu dalam perunggu yang abadi.

Di sini, paradoks bekerja sangat halus.

Es yang mencair adalah bukti nyata perubahan iklim: cepat, konkret, tak terelakkan. Namun perunggu yang membekukannya menjadi bentuk permanen justru menjadi penanda bahwa sesuatu yang rapuh ternyata bisa meninggalkan jejak kuat. Saat melihatnya, kita seolah diajak mengamati energi yang tetap hidup meski bentuknya terus berubah.

Moss Wall (1994), Kehidupan dalam Keheningan

Karya ini menjadi pengingat hening bahwa keindahan dalam hal-hal yang dianggap kecil, sepele, namun diam-diam menyelamatkan dunia.

Salah satu karya paling sunyi namun paling menggugah adalah Algae Wall, lempengan alga yang dibawa dari Berlin, Singapura, dan Taipei. Kering, rapuh, namun belum mati. Mereka hanya berhibernasi.

Ada aroma tanah yang muncul samar-samar, mengingatkan saya bahwa organisme paling sederhana sekalipun memegang peran penting untuk Bumi. Alga menyerap CO₂ lebih banyak dari pohon. Ini memang informasi yang terasa kecil, namun justru memperlihatkan besar dan misteriusnya jaringan kehidupan di sekitar kita. Di tengah hiruk pikuk teknologi dan percepatan, karya ini hadir sebagai jeda: sebuah napas panjang yang kembali menyatukan tubuh kita dengan alam.

Double Spiral (2001), Ketika Ruang Berputar Bersama Waktu

Gerakannya seperti napas panjang sebuah ruang. Rasanya seperti menyaksikan dinamika hidup yang terus berputar, lembut namun tak pernah sepenuhnya berhenti.

Dalam Double Spiral (2001), sebuah tabung baja panjang melingkar membentuk dua spiral: spiral luas yang mengelilingi spiral yang lebih rapat di dalamnya. Digantung secara vertikal dan diputar perlahan oleh motor kecil, spiral ini menciptakan ilusi dua gelombang yang saling berpotongan. Satu naik, satu turun.

Gerakannya seperti napas panjang sebuah ruang. Ada yang mengembang, ada yang mengerut. Rasanya seperti menyaksikan dinamika hidup yang terus berputar, lembut namun tak pernah sepenuhnya berhenti.

Beauty (1993), Keindahan yang Hanya Terjadi Sekali

Salah satu karya paling puitis dalam pameran ini adalah Beauty (1993). Kabut tipis jatuh seperti tirai, dan cahaya dari spotlight yang ditempatkan dengan sudut presisi memecahnya menjadi pita-pita warna. Setiap langkah kecil mengubah spektrum pelangi. Setiap orang melihat pelangi yang berbeda.

Di sinilah gagasan penting Eliasson terungkap: pengunjung adalah co-producer karya seni. Keindahan tidak hanya diciptakan oleh seniman, tetapi juga oleh sudut pandang, jarak, dan sensitivitas tiap tubuh yang hadir.

Circumstellar Resonator (2018), Cincin Cahaya yang Bernapas

Sebuah cincin kaca besar, dipotong dan dibentuk dengan ketelitian ilmiah, digantung di depan dinding putih. Dua lampu LED dengan filter warna kecil memancarkan cahaya yang kemudian dibiaskan, dipantulkan, dan dipecah oleh cincin tersebut. Hasilnya adalah pita-pita cahaya yang lembut tetapi intens, seperti halo yang terus bergerak.

Karya ini merujuk pada prinsip lensa Fresnel yang digunakan di mercusuar, yakni alat untuk mengintensifkan cahaya sehingga dapat memandu perjalanan. Dalam versi Olafur, cahaya itu menjadi pengalaman estetis, bukan instruksi. Ia menuntun bukan dengan arah, tetapi dengan rasa.

Undangan untuk Pulang ke Diri Sendiri

“Olafur Eliasson: Your Curious Journey” bukan hanya serangkaian instalasi seni. Ia seperti meditasi panjang tentang melihat, mendengar, dan membiarkan dunia masuk lewat celah-celah lembut di dalam diri kita.

Olafur, lewat pameran ini, mengajarkan bahwa rasa ingin tahu adalah bentuk keberanian: keberanian untuk membuka diri pada sesuatu yang tidak pasti, pada hal-hal kecil yang mungkin tidak kita sadari, pada perubahan yang tidak selalu mudah kita terima.

Dengan keindahan yang subtil dan pengalaman sensorial yang intim, pameran seni “Olafur Eliasson: Your Curious Journey” adalah undangan untuk kembali pulang: pulang kepada tubuh, kepada indra, kepada dunia, dan pada akhirnya, kepada diri kita sendiri.

Olafur Eliasson: Your Curious Journey
Museum MACAN Jakarta
29 November 2025 – 12 April 2026

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Ruang Kolaborasi Fritz Hansen x Yuni Jie: untuk Jiwa yang Merindukan Ritme Perlahan

Next Post

Sapto Djojokartiko Holiday 2026: Koleksi Intim dengan Siluet Elegan dan Detail Halus

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.