Jentera Perubahan dari Bivitri Susanti Melalui Sekolah Hukum
Bivitri Susanti menemukan kendala utama dari kegagalan hukum di Indonesia yang diatasinya dengan mendirikan sekolah hukum dengan kurikulum dan nilai tertentu.
4 Mar 2017




Ia pernah bercita-cita menjadi pengacara kaya-raya. Namun, situasi menjelang akhir kekuasaan Presiden Soeharto telah mengubah falsafah hidupnya. Pengalaman terlibat dalam aksi dan diskusi ternyata mengawali sebuah titik balik dari Bivitri Susanti, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
 
Bersama beberapa senior yang terdiri dari para pengacara profesional, ia mendirikan PSHK pada 1 Juli 1998.  Dulu ia merintis serta mengelola lembaga studi tersebut hanya berdua dengan temannya, tapi sekarang sekitar 30-an orang bekerja di situ. Mereka melakukan berbagai riset dan menerbitkan buku demi mendukung praktik hukum yang adil.  Situs hukumonline.com pun diluncurkan untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat yang semakin akrab dengan dunia digital.
 
Wanita yang kerap disapa Bibip ini dan rekan-rekannya di PSHK sepakat memperbaiki pendidikan hukum. Mengubah sistem pendidikan di sekolah hukum yang sudah mapan nyaris mustahil dilakukan, sehingga mendirikan sekolah hukum baru terasa memberi harapan.
 
Titik berat kurikulum Jentera pada pemahaman yang kuat terhadap hukum-hukum dasar, baik pidana maupun perdata.  Dengan demikian, satuan kredit semester untuk hukum-hukum dasar ini diperbanyak.  Ia menegaskan, “Dengan dasar-dasar yang kuat, sarjana hukum yang baik akan bisa menganalisis undang-undang baru apa saja.”
 
Jentera menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga lain untuk menyelenggarakan mata kuliah tertentu, seperti dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis. Pada tahun ke-3 atau tahun ke-4 kuliah, para mahasiswa didorong menjalankan praktik kerja berdasarkan minat. Bibip ingin calon-calon sarjana ini tidak hanya menghafal pasal-pasal, tapi juga menyaksikan serta mengalami penerapan hukum secara langsung. Nilai-nilai, seperti antikorupsi, harus tertanam pada setiap lulusan Jentera, meskipun sikap skeptis justru muncul dari kalangan temannya sendiri. “Ada yang bertanya apakah saya yakin hal itu terwujud. Untuk mendapat jadwal sidang saja harus membayar. Bagaimana caranya untuk menghapus suap sama sekali, katanya. Tapi kalau banyak orang mau susah sedikit, bisa saja datang tiap hari untuk menanyakan jadwal sidang sampai memperolehnya.”

Apa yang ingin ia lakukan di masa mendatang?  “Karena Jentera masih baru, saya ingin berkonsentrasi di sini dulu,” tukasnya, bersemangat. (LC) Foto: Dok. Dewi
 

 

Author

DEWI INDONESIA