Sebuah Memoar untuk Sang Pengamat Mode dan Gaya Hidup, Samuel Mulia
Sanjungan terakhir mengantar kepergian Samuel Mulia ke keabadian.
30 Jun 2022



Akhir pekan lalu, satu lagi jurnalis mode dan gaya hidup Tanah Air yang harus kembali ke keabadian. Satu sosok nama yang tak jarang membuat kontroversi lewat tulisan-tulisannya. Bagi para pemuja media massa, siapa yang tak mengenal Samuel Mulia? Ia adalah sesosok jurnalis yang berani mengemukakan pendapatnya sedemikian gamblang. Tulisannya mewarnai ragam halaman majalah dan kolom surat kabar terdepan di Tanah Air. Dunia mode dan gaya hidup kehilangan dirinya. Kini Samuel telah pergi selamanya hari Sabtu, 22 Juni 2022 di usia 59 tahun.

Masih membekas dengan jelas di ingatan Dewi bagaimana Samuel Mulia membentuk mode Tanah Air di era awal lahirnya majalah ini. Tahun 1991, belum ada majalah gaya hidup kelas atas yang dapat dijadikan pedoman para perempuan urban di Indonesia. Majalah Dewi lahir di tengah masyarakat yang haus akan informasi gaya hidup kosmopolitan, ditemani tulisan-tulisan serta arahan gaya dari Samuel Mulia. Dewi beruntung memiliki sosok redaktur dengan pemahaman mode yang tajam seperti yang dimiliki Samuel Mulia kala itu.

Di tengah kabar duka yang turut meliputi tim Dewi pekan lalu, kami membuka kembali arsip lama Dewi dan menemukan edisi perdana majalah Dewi bulan November tahun 1991. Di dalamnya terpampang nyata tulisan-tulisan serta arahan gaya Samuel Mulia berpuluh-puluh halaman jumlahnya.

Samuel Mulia memang menjadi nyawa awal Dewi, ia mulanya mengambil jurusan kedokteran di Universitas Udayana - kurang satu semester lagi akan segera lulus dan menjadi seorang dokter - namun kemudian banting setir mengambil jurusan jurnalistik fashion di kota Paris. Di tahun 1989, ia melamar di Femina Group kemudian diterima dan ‘disimpan’ dahulu untuk majalah Dewi yang saat itu sedang dalam masa persiapan untuk terbit.

M.N. Retno Murti, mantan Pemimpin Redaksi Dewi yang saat itu menjabat sebagai Redaktur Pelaksana dan merekrut Samuel Mulia memiliki pandangan yang luar biasa terhadap pribadinya. “Samuel itu selalu mengeluarkan pandangan soal apa yang ia rasa dengan sangat tajam lewat tulisannya. Ia ingin segala sesuatu sempurna.” Tetapi bagi Retno Murti, Samuel selalu mampu membuat Dewi menjadi majalah seperti yang ada dalam rencana, walau terkadang ia suka melewati rambu-rambu yang ada karena gaya bicaranya yang lugas.

“Dia orang yang luar biasa, tidak hanya dalam dunia mode, tetapi dalam lingkungan sosial. Apalagi jika berbicara soal keagamaan, dia orang yang sangat religius dan asyik untuk diajak bertukar pikiran. Saya masih sering bertemu walau kami punya kesibukan masing-masing, bahkan saat ia sakit dan dinyatakan sembuh. Samuel adalah orang yang sangat rendah hati dan pengetahuannya terhadap sesuatu hal begitu luar biasa hingga ia sanggup memberi warna tersendiri bagi Dewi,” tambah Retno yang membimbing Samuel hingga ia keluar dari Dewi di tahun 2000 dan membuat majalah besutannya sendiri.
 

Dari kiri ke kanan: Ratih Wiryanti Teguh, Amy Wirabudi, Santi Sierra, Samuel Mulia, dan Vincensius di kantor Dewi tahun 1990-an.

 

Menurut rekan-rekan sekerjanya dahulu, ia adalah sosok yang sangat taat dengan aturan, walau tak bisa dipungkiri banyak yang mengenal dirinya sebagai orang yang sulit ‘digapai’ berkat pengetahuan dan etos kerjanya. “Samuel itu tipe orang taat, baik dalam keimanan maupun kegiatan keseharian. Jadwal dan deadline tidak pernah lewat. Malah cenderung selesai sebelum deadline. Gaya kerja dia memang selesai atau ‘lunas 100%’ di setiap titik,” ungkap Amy Wirabudi, salah satu sahabat Samuel Mulia yang juga menjadi rekan kerjanya di Dewi sejak tahun 1993.

Bagi tim Dewi saat ini, ia adalah sosok senior yang amat inspiratif walau tak sempat bekerja bersama dan mengenalnya secara pribadi. Gaya penulisannya membuai dan membuat kami betah membaca kata per kata walau sudah 30 tahun silam usianya. Rasanya masih relevan dan seperti membaca tulisan gaya masa kini. Sebuah tulisan bertajuk “Jalan-Jalan di Paris” singkat akan tetapi menggambarkan pengetahuannya yang tajam tentang tren mode. Begitu juga dengan “Monsieur de Givenchy”. Bayangkan saat itu akses informasi masih sangat terbatas, tetapi rekognisinya terhadap dunia mode global membuktikan ia pantas disebut sebagai seorang jurnalis mode yang ulung.
 

Majalah perdana Dewi edisi November 1991 dengan tulisan Samuel Mulia untuk rubrik mode. 


Ia juga menjadi salah satu motor penggerak mode Tanah Air yang dinamis. Setiap tahunnya ia terbang jauh ke kota Paris untuk menilik pergerakan mode di sana dan tak jarang menjadi pemandu jalan bagi rekannya yang juga harus berjibaku dengan pekerjaan. Di antara rekan kerjanya, ia paling mahir berbahasa Prancis tetapi tidak pernah pelit ilmu. “Setiap sore sesudah jam kantor, Sam buka kelas belajar bahasa Prancis. Seru. Sam-lah hiburan kami saat stres deadline atau ngga ada ide menulis. Dia tuh kocak, kreatif, punya banyak ide yang ajaib-ajaib,” demikian kata Fitriandini Wiana, yang juga menjadi salah satu rekan sekerjanya di Dewi tahun 1991-1994.

Perawakan Samuel Mulia memang kecil, tetapi apa yang ia kerjakan bagi perkembangan mode di Indonesia yang waktu itu baru diinfusi oleh merek-merek fashion global yang menyambangi Ibukota, besar dampaknya. Ia tak pernah takut mengkritik pedas karya desainer hingga berujung masalah yang harus ditangani oleh pemimpin redaksi Dewi. “Memang yang ditulis benar, hanya saja ada hal-hal yang bisa lebih diperhalus penyampaiannya. Tapi ya itulah Samuel; cerdas, ceplas-ceplos, ‘nakal’ dan sejalan waktu ia mengubah keluguan bertutur menjadi jenaka, menjadi parodi a la Samuel,” jelas Amy Wirabudi.

Fitriandini Wiana, Amy Wirabudi, M.N. Retno Murti, Samuel Mulia, dan Aini Sani Hutasoit di reuni terakhir majalah Dewi sebelum pandemi Covid-19.


Terkadang sosok yang lugas, berani, dan ceplas-ceplos memang dibutuhkan untuk industri yang keras seperti mode ini. Kalau kata Willy Wahyudi, seorang Makeup Artist Profesional langganannya saat memproduksi sampul Dewi, Samuel itu juga orang dengan pemikiran yang sangat terbuka dan apa adanya. Samuel Mulia tidak peduli apa yang orang lain katakan di luar sana, toh bukan mereka yang kasih kita makan, begitu katanya.

“Seingat saya Samuel yang berani meminta saya untuk menampilkan wajah Desy Ratnasari dengan gaya smoky tanpa alis padahal alisnya super tebal dan hitam. Saat itu belum ada teknik editing di dalam fotografi pula,” kenang Willy Wahyudi. Intinya jika bersama Samuel Mulia harus bisa berpikir out-of-the-box.

“Karena cara kerjanya yang selalu mau lunas 100% itu, membuat waktu dia pergi, dia senyum, cakep kayak cover boy. Sepertinya dia pergi dengan ringan karena tidak ada sisa apa pun, tidak ada hutang, semua sudah fulfill termasuk kepasrahan dia ke Tuhan,” ungkap Amy Wirabudi yang menghantarnya sampai ke proses kremasi hari Kamis, 30 Juni 2022. Tulisan ini pun pada akhirnya menjadi surat perpisahan Dewi untuk kepergian Samuel yang kini telah meninggalkan kita untuk selamanya.

Tak akan ada lagi celotehan-celotehan lucu yang membius dari kolom humor hariannya bersama surat kabar Kompas. Bahkan tulisan-tulisan singkat di halaman Instagram pribadinya begitu menyentuh dan mengetuk hati pengikutnya secara tidak langsung. Apa yang ia katakan itu benar apa adanya, tidak bersembunyi dalam kepura-puraan. Ia meninggalkan warisan jurnalisme yang membekas dan khas. Seperti jiwanya yang telah melanglang buana menuju keabadian, tulisan-tulisannya pun akan menjadi catatan arsip khusus bagi para penerusnya di majalah Dewi dan pengagumnya sampai kapanpun.
 

Samuel Mulia dan tempat peristirahatan terakhirnya.


Selamat jalan, Samuel Mulia. Selamat beristirahat di kekekalan.

 

JESSICA ESTHER
Foto: Amy Wirabudi, dok. Dewi.

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA