Alex Bayu: Bercerita Melalui Ruang

Alex Bayu percaya bahwa arsitektur adalah bahasa, dan setiap ruang menawarkan kalimatnya sendiri.

“Bagi saya, ruang itu sesungguhnya bercerita. Anda bercerita melalui tulisan, sementara saya bercerita melalui ruangan,” ujar Alex Bayu, arsitek dan desainer interior yang memandang setiap proyek sebagai narasi visual yang hidup.

Di setiap awal proyek, Alex dan timnya selalu memulai dari kanvas kosong. Tidak ada yang instan, tidak ada yang terburu-buru. Ia percaya bahwa setiap ruang memiliki jiwa, dan tugasnya adalah menemukan tujuan serta karakter ruang itu sendiri. “Kami selalu mulai dengan pertanyaan: apa cerita yang ingin disampaikan ruang ini?” katanya lagi.

Menemukan DNA Ducati

Pertanyaan itu pula yang menjadi dasar dalam salah satu proyek terbarunya: merancang Casa Ducati di perhelatan MotoGP Mandalika 2025. Alih-alih sekadar membuat ruang pamer atau tempat berteduh bagi para tamu VIP, Alex berusaha menerjemahkan DNA Ducati ke dalam pengalaman spasial yang imersif.

Advertisement

“Nilai utama Ducati adalah kecepatan, kemewahan, dan energi. Jadi bagaimana kami bisa membuat orang merasakan itu, bukan hanya melihatnya?”

Desain dengan Sentuhan Kemanusiaan

Bagi Alex, arsitektur bukan hanya tentang bentuk atau estetika. Ada nilai kemanusiaan yang selalu ia sisipkan di setiap desainnya.

Seperti ketika ia menambahkan dapur di dalam lounge Ducati—sebuah keputusan yang mungkin tak lazim, tapi sarat makna. “Makanan adalah simbol keramahan dan keakraban. Ketika kita mengundang seseorang untuk makan, itu adalah gestur persahabatan. Bagi saya, hospitality adalah jiwa dari ruang.”

Konsep yang ia sebut sebagai “fusion of Italian racing DNA and exclusive hospitality” ini menjadi benang merah desainnya. Setiap elemen disusun dengan intensi untuk menciptakan ruang yang bertenaga sekaligus hangat. Dari warna merah khas Ducati, bentuk melengkung yang dinamis, hingga pilihan furnitur berkarakter mewah

Tantangan dan Ketepatan

Tantangan pun tak kecil. VIP Booth yang dirancang bukanlah ruang permanen, jadi tidak boleh ada satu pun paku yang menempel di dinding, dan harus bisa dibangun serta dibongkar hanya dalam waktu seminggu.

“Itu membuat kami harus menciptakan sistem struktur independen. Semua serba presisi. Tapi di situlah serunya: bagaimana ide bisa diwujudkan tanpa kehilangan nyawa,” ujarnya.

Dari framing pertama hingga tahap akhir, setiap proses didokumentasikan dengan cermat. “Pekerjaan kami bukan hanya menciptakan cerita, tapi juga mewujudkannya secara nyata,” tambahnya. “Apa yang Anda lihat sekarang adalah hasilnya—sebuah ruang yang hidup.”

Ia kemudian memilih warna dasar yang gelap agar mata audiens otomatis tertarik ke dalam, menciptakan suasana eksklusif di tengah keramaian. Elemen ceiling melengkung menegaskan ilusi kecepatan, sementara material reflektif memberikan efek misterius—membuka dimensi visual baru yang membuat pengunjung ingin menengadah dan merasakan ruang dari perspektif berbeda.

“Ketika Anda mendongak, Anda sebenarnya sedang memasuki dimensi lain,” ujarnya. “Ada energi yang berbeda yang mengalir ke dalam ruang.”

Antara Idealisme dan Realitas

Bagi Alex, perjalanan menjadi seorang desainer adalah tentang menyeimbangkan idealisme dan realitas. Tentu ada saatnya ide-idenya harus berhadapan dengan batasan klien atau waktu. Tapi seiring waktu, ia mengakui bahwa reputasi membantu. Menurutnya, ketika klien percaya pada brand kita sebagai individu, kompromi bisa menjadi lebih minim.

“Kalau Tom Cruise bilang idenya bagus, kemungkinan besar semua orang akan bilang setuju. Reputasi adalah hasil dari konsistensi dan pengalaman,” jelasnya, mengibaratkan proses itu seperti industri film.

Gaya yang Tak Terpaku

Menariknya, Alex tidak pernah terpaku pada satu gaya. Ia bisa beralih dari modern ke klasik, dari rustic ke transitional, tanpa kehilangan karakter.

“Benang merahnya adalah kemampuan untuk mencampur,” tuturnya. “Bisa gaya, bisa warna, tapi yang penting adalah hasil akhirnya harus merepresentasikan pesan dan emosi yang ingin kami sampaikan.”

Bagi Alex Bayu, arsitektur bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah bentuk ekspresi, cara berkomunikasi, bahkan refleksi spiritual tentang bagaimana manusia hadir di dalam ruang dan waktu.

“Ruang yang baik tidak hanya indah,” katanya pelan, “tapi mampu membuat orang merasa ada di dalam ceritanya.”

Foto: DUCATI Indonesia

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

5 Cara Memulai Gaya Hidup Sehat dengan Jamu

Next Post

Pementasan "The Last Geishas: Re-Creation" di Teater Salihara: Tafsir atas Jejak Perempuan dalam Seni yang Kian Menyusut

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.