Sekira tiga bulan sudah berlalu sejak sebagian besar menghabiskan waktunya di rumah saja. Melakukan kegiatan mereka dari rumah. Membatasi interaksinya dengan dunia luar. Kini, seruan akan dunia dan realitas yang baru digemakan banyak orang. New Normal katanya. Respons publik pun jatuh dalam seluruh jangkauan spektrum: optimis, pesimis, skeptis, semua ada. Masing-masing dengan perspektif dan berdasarkan pengamatannya masing-masing.
Sementara bagi Marsha Timothy, New Normal sebetulnya dalam batasan tertentu bukanlah hal yang benar-benar “baru”. Realitas yang baru sejatinya sudah dihadapi Marsha sejak kegiatan syutingnya ditunda dan ia harus berkegiatan serba dari rumah. Bagi Marsha sendiri, New Normal adalah fase-fase adaptasi yang mesti dihadapi manusia setiap kali menghadapi perubahan. “Seperti ketika baru punya anak, [kita] beradaptasi dengan kehidupan baru. Sekarang kita harus menjalani apa yang telah diatur pemerintah untuk kebaikan bersama. Tentunya perlu proses untuk jadi terbiasa,” lanjut ibu dari satu anak itu. Prosesnya bermacam-macam. Misalnya dengan rutinitas baru yang ia susun dan keterampilan baru yang ia pelajari.
Selain itu, menurut Marsha juga bagaimana kita memiliki pemahaman baru dalam melihat keseharian. “Tidak mungkin lagi jalan-jalan di mal sekadar iseng atau duduk-duduk di kafe,” tegasnya. Baginya perjalanan ke luar rumah benar-benar dilakukan untuk hal-hal yang perlu saja. Ke supermarket misalnya untuk membeli berbagai barang kebutuhan. Ia juga menceritakan disiplin baru yang ia terapkan, yakni untuk langsung masuk kamar mandi, mandi dan keramas setiap habis pergi keluar rumah. Semuanya ia lakukan dengan kesadaran bahwa ini juga menyangkut kesehatan serta keselamatan diri dan orang-orang di sekitarnya.
Realitas baru pastinya tidak hanya dihadapi Marsha di konteks kehidupan pribadinya, tetapi juga dalam konteks industri keprofesiannya, industri film. Dengan berhentinya kegiatan produksi, spontan berhenti pula pemasukan bagi sebagian besar pekerja lapangan di industri itu. Hal ini menurutnya menumbuhkan solidaritas individu sesama praktisi film. Marsha mencontohkan misalnya lewat beberapa penggalangan dana yang dilakukan. “Ada yang membuka kelas-kelas daring dan hasilnya digunakan untuk donasi bagi teman-teman pekerja seni yang membutuhkan. Ada juga pelelangan still photo dan foto behind-the-scene produksi film. Jadi cukup banyak kita lakukan untuk saling membantu,” jelasnya.
Tapi kerinduan untuk kembali berakting tentu tetap menggelayuti hati Marsha. Kerinduan yang rasanya belum akan terjawab dalam waktu dekat. Mengingat belum terlihat hilal izin syuting akan dikeluarkan. Namun, Marsha tahu bahwa suasana di lapangan jelas akan berubah. Terutama tentang protokol kesehatan di lokasi. Mulai dari wajib menggunakan masker, sterilisasi lokasi dan alat, serta pencegahan COVID-19. “Dan juga apakah perlu karantina selama proses produksi itu yang kita belum tahu. Akan banyak sekali yang berubah.”
Dari sekian banyak perubahan yang niscaya mengiringi proses syuting di lokasi ketika kegiatan itu mulai kembali bergeliat, ada satu yang punya dampak pada pengalaman Marsha secara personal: kesempatan menjelajah berbagai wilayah di pelosok Indonesia. Ia menceritakan bagaimana kegiatan syuting sering kali menjadi hal yang membawanya berkeliling tempat menarik di Tanah Air. Mulai dari film panjang pertamanya, Ekspedisi Madewa, di mana ia jadi punya kesempatan melihat gua Buni Ayu di Sukabumi. “Enggak mungkin rasanya saya jalan-jalan ke sana kalau bukan karena film,” kenang Marsha.
Tak berhenti sampai di situ, kesempatan untuk mejelajah tempat lain di Indonesia kembali muncul dari proses syuting. Tepatnya ke Balige. Sempat pula ia melakukan road trip Jakarta-Banyuwangi untuk film Kulari ke Pantai. Dan tentu saja kesempatan ke Sumba untuk proses syuting film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak yang juga kemudian mengantarkannya ke Cannes Film Festival. “Pengalaman-pengalaman travel yang saya dapat dari film itu luar biasa,” lanjutnya lagi. Berbagai pengalaman berkesan memang didapatkan Marsha di lokasi syuting. Di lokasi syuting pulalah ia dipertemukan dengan sang suami, tepatnya di set syuting Coklat Stroberi.
Namun, mengingat batasan-batasan yang masih diberlakukan. Baik itu untuk konteks syuting maupun traveling. Kesempatan berkeliling Indonesia itu rasanya belum akan datang dalam waktu dekat. Jikapun ada, Marsha punya keraguan pribadi yang ia simpan dalam soal berjalan-jalan. Menurutnya ada baiknya kita bersama-sama bersabar dan melihat perkembangan situasi meskipun nantinya sudah banyak daerah yang membuka destinasi wisatanya. Cemas dan antusias boleh jadi campur aduk mengiringi langkah Marsha Timothy—dan miliaran manusia lainnya—memasuki dunia dan realitas yang baru. Kewaspadaan disertai dengan pikiran positif menjadi kunci bagi Marsha dalam menyongsong tatanan hidup normal yang baru, dengan segala tantangan dan harapan yang dibawanya. (Shuliya Ratanavara) Foto: Alan Mahirma Lars.