Keping-keping Dunia Christine Hakim
Film dan peran-peran bagi Christine Hakim adalah kepingan puzzle yang membukakan dunianya.
10 Nov 2019



“Film buat saya sekarang ini seperti sebuah amanat. Dulu, ketika mulai terjun ke dunia film di usia 18 tahun, sama sama sekali tidak tahu apa yang bisa saya capai lewat apa yang saya kerjakan. Saya sama sekali tak paham bahwa melalui film saya bisa memiliki sarana untuk berekspresi, mengaktualisasikan diri, apalagi sampai bisa menyampaikan pesan dan mengajak orang melakukan kebaikan tanpa perlu menggurui,” kata Christine hakim memerankan Ade di film debutnya Cinta Pertama (1973) yang ia bintangi sebagai pendatang baru itu langsung mendapat Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 1974.

Slamet Raharjo, lawan main Christine di film Cinta Pertama mengatakan kalau kolega yang kemudian menjadi sahabatnya itu memang bukan orang yang memasuki dunia film dengan cinta membara. “Dia itu memang baru jatuh cinta pada dunia film setelah ia tanpa sengaja terjun ke dalamnya. Berbeda dengan banyak pemain film yang begitu menggebu ingin jadi aktris atau aktor, Christine justru terlihat tak paham hasil seperti apa yang akan muncul dari kerjanya saat ia pertama kali bermain di Cinta Pertama. Saya masih ingat sekali bagaimana bingungnya Christine saat ia harus maju menerima penghargaan dan disodori mikrofon untuk bicara ketika namanya disebut sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik untuk film debutnya, di FFI tahun 1974 ini ,” kata Slamet Raharjo mengenang.

Pencapaian tertinggi di dunia film Indonesia itu, dikatakan Slamet sebagai hal yang membuat Christine mulai menyadari apa yang ia kerjakan. “Christine yang waktu itu memang masih sangat muda, seperti terbuka matanya bahwa kerjanya sebagai pemain film itu adalah sesuatu yang luar biasa. Karena tak hanya bisa menghasilkan karya, tapi juga penghargaan, aktualisasi diri, popularitas dan bahkan bisa menjadi dharmabaktinya pada bangsa. Christine sendiri menyebut film Tjoet Nja’ Dhien (1988) arahan Eros Djarot yang dibintanginya, sebagai sebuah titik balik kesadaran tentang betapa karya yang ia buat bisa menjadi sebuah persembahan tanda cinta pada bangsa dan negara. “Saat memerankan Tjoet Nja’ Dhien adalah turning point saya mulai memikirkan soal identitas kebangsaan. Film itu seperti kepingan puzzle terakhir yang melengkapi fase awal perjalanan karier saya di dunia film. Pengalaman memerankan perempuan pejuang Aceh itu seperti membuat pikiran dan hati saya terbuka bahwa saya tak hanya kebetulan saja ‘diceburkan’ Tuhan ke dunia film. Pasti ada amanat yang Dia berikan dan harus saya tunaikan,” kata Christine. Selain terpilih sebagai film terbaik di FFI 1989, Tjoet Nja’ Dhien juga mencatatkan sebuah sejarah baru dalam perfilman Indonesia ketika menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Festival Film Cannes, sebuah ajang film bergengsi dunia.

Film-film yang kemudian ia bintangi pasca Tjoet Nja’ Dhien, menurut Christine, merupakan sebuah papan puzzle baru yang ia mulai susun lagi kepingan-kepingannya dengan sebuah kesadaran yang lebih utuh tentang apa yang ingin ia perjuangkan dan berikan pada bangsa. Salah satu yang ia lakukan adalah mendirikan Christine Hakim Film (CHF) pada 1997. Daun di Atas Bantal (1997) dan Pasir Berbisik (2001) adalah dua film yang diproduksi CHF saat perfilman Indonesia seperti tengah mati suri. Kedua film tersebut serupa tinju perjuangan Christine sebagai insan film untuk menolak patah dan menyerah kalah oleh lesunya industri film kala itu. Kedua film produksi CHF tersebut juga mendapat pengakuan yang baik di festival-festival film internasional.

Christine memang menyerahkan dirinya secara utuh pada perfilman. Ia tak hanya belajar menjadi aktris yang mampu mendalami karakter yang ia perankan dengan baik, tapi juga memberi ruh pada karakter tersebut. “Totalitasnya sangat luar biasa. Sampai hari ini, saya selalu melihat hal tersebut dari Christine. Ia pantang menyerah. Christine itu pemain film yang rela menyerahkan diri sepenuhnya padaproses penciptaan. Ia membiarkan dirinya jadi spons yang memiliki daya absorbsi tinggi dan selalu menganggap apa yang dia lakukan sebagai ilmu pengetahuan,” Slamet Raharjo mengatakan.

Teks: Indah S. Ariani
Foto: Thomas Danes
Pengarah Gaya: Karin Wijaya
Busana:
Rias Wajah dan Rambut: Andre Celavi Salon 


 

 


Topic

Cover Story

Author

DEWI INDONESIA