Najwa Shihab Merajut Peluang di Ranah Digital
Najwa punya visi yang jelas tentang potensi dan peran media yang ia tumpahkan dalam Narasi TV.
30 Jan 2020




Beberapa tahun belakangan, riuh rendah berita di ranah digital memang kerap membuat gerah. Mulai dari judul-judul bombastis pemancing klik, hingga ulah kampanye para buzzer yang bising. Namun tak bisa dimungkiri ranah digital adalah tempat di mana khalayak ada dan di sanalah Najwa Shihab memutuskan bersuara.

“Salah satu dari sekian banyak alasan yang membuat saya memutuskan mendirikan Narasi adalah karena saya menyadari perubahan pola konsumsi media masyarakat itu,” katanya. Menurutnya, digital adalah masa kini dan nanti dunia media, sehingga mau tidak mau, media pun harus menyesuaikan kalau tidak mau ditinggal. “Pilihannya either menyesuaikan atau ditinggal. Hal paling relevan yang bisa dilakukan adalah pergi ke tempat di mana orang-orang ada,” Najwa mengungkapkan.

Tiga tahun sudah ia bekerja membangun media baru berbasis internet, Narasi TV. Setelah selama dua tahun sebelumnya ia berusaha mengimbangi citra produksi Mata Najwa dan Catatan Najwa yang dianggap hard issue dengan konten-konten yang lebih “ringan”, kini ia dan Narasi Melihat kebutuhan untuk mengembangkan newsroom kembali.

“Kami membuat program berita lagi. Program investigasi yang sudah ada akan lebih dipersering. Kami akan membuat berita harian meskipun formatnya akan berbeda dengan di portal-portal berita lain,” katanya.

Beriringan dengan itu, ia juga menyadari pentingnya membentuk spesialisasi dari setiap konten yang ia produksi bersama timnya. “Untuk setiap platform media di mana sebuah konten ditayangkan, kami membuat format yang spesifik. Dulu, orang mengira bahwa membuat konten untuk digital itu, apa pun kontennya tinggal dipecah-pecah dan dibuat sama untuk semua platform. Padahal salah total,” katanya.

Sebuah konten digital harus dibuat secara spesifik sesuai dengan platform masing-masing. “Bikin konten untuk Instagram tentu berbeda dengan untuk Facebook, Twitter, bahkan Tiktok dan sebagainya. Jadi memang, semakin spesifik media, harus spesifik juga konten yang dibuat. Ini yang menjadi tantangan, karena tuntutan pada jurnalis juga semakin meningkat,” ungkapnya.

Tak hanya dituntut bergerak cepat, jurnalis juga dituntut untuk selalu berpegang dan menjalankan kaidahnya. “Sekarang ini, butuh media yang menyediakan hard facts dengan konteks yang benar. Ada banyak sekali kita temukan berita-berita yang misleading, keluar dari konteks sama sekali, yang afiliasinya terbaca dengan sangat jelas, sehingga independensinya meragukan,” kata Najwa tentang kondisi media saat ini. Narasi, yang ia dan beberapa sahabatnya dirikan, memang berangkat dari kebutuhan tersebut. “Para founders Narasi semuanya jurnalis. Latar belakang jurnalistik ini membuat kami ingin menyediakan alternatif media untuk orang-orang yang ingin mencari slow news. Berita yang tak hanya sekadar mengejar click-bite, tapi berita yang memberi konteks yang mendalam dan dilengkapi riset yang serius. Berita-berita sekarang cenderung tenggelam dalam judul yang bombastis karena harus berkejaran dengan kecepatan,” kata Najwa.

Di luar tantangan yang demikian nyata, Najwa menemui sisi yang menyenangkan media digital yang tak mungkin disediakan oleh media konvensional. “Di media digital, kami bisa belajar berulang kali. Bila di televisi sebuah program hanya punya ‘masa percobaan’ maksimal 13 episode dan bila dalam masa itu ratingnya tidak bisa terkejar, maka program tersebut harus turun layar. Juga, untuk bereksperimen biayanya sangat mahal,” katanya.

Sisi lain yang juga menyenangkan dari media digital menurut Najwa adalah tingkat keterukurannya. “Karena terukur, kita bisa tahu reach-nya berapa, di menit berapa penonton senang, di menit berapa mereka bosan, konten apa yang digemari, berapa lama mereka nonton, siapa yang nonton, gendernya apa, selain nonton kita apa lagi yang mereka tonton, hobinya apa, ada begitu banyak data dan berdasarkan matriks yang ada. Kami bisa bikin konten yang spesifik. Di digital, kemungkinan kita untuk trial and error bisa lebih sering. Learn, relearn, unlearn, ubah lagi, bongkar lagi, belajar lagi. Itu yang bikin dunia digital jadi menarik,” katanya bersemangat.

Begitu banyak data yang bisa dimiliki sebuah media di era digital ini memberi media itu kemungkinan untuk bisa memiliki kuasa. Hanya saja, menurut Najwa, hal tersebut tak serta merta terjadi. Syarat yang perlu diperhatikan untuk meniscayakan hal itu adalah kemampuan mengurai dan menerjemahkan data-data yang dimiliki tersebut sesuai konteks. Ia memberi contoh sederhana tentang orang yang memakai arloji yang bisa mengukur detak jantung. Kalau informasi detak jantung yang terkumpul itu bisa membuat si pemakai arloji mengetahui tentang pola hidup sehat kemudian ia bisa mengatur seberapa banyak olahraga yang harus kita lakukan, mengatur makan dan sebagainya, maka data tersebut, dikatakan Najwa, bisa jadi informasi yang memiliki kekuatan. “Terkadang kita hanya mengumpulkan data tanpa tahu konteksnya. Maka data analisis menjadi sangat penting. Kalau hanya sekumpulan data tanpa diberi makna, tanpa diberi konteks dan tanpa kita olah untuk tujuan tertentu, menurut saya akan percuma,” katanya.

Najwa menyebut Cambridge Analytica sebagai sebuah lembaga yang bisa menjadi contoh pemanfaatan data menjadi sesuatu yang sangat digdaya. “Karena dari matriks yang ditemukan, mereka bisa membaca berbagai hal mulai dari preferensi dan sentimen orang, kesukaan orang yang kemudian menjadi bahan untuk membuat strategi kampanye yang bisa dengan tepat menjangkau kalangan yang mejadi target,” Najwa menjelaskan. Di Indonesia, menurutnya, data-data yang terkumpul belum terpakai secara maksimal. “Datanya sudah terkumpul. Tapi bagaimana cara kita menggunakannya terasa seperti masih meraba dan mencari,” katanya. Fakta ini yang membuat ia dan timnya di Narasi mencoba secara serius membangun pusat data dan mencari cara untuk memaksimalkan penggunaan data tersebut. Bukan semata untuk memiliki kuasa atas mereka yang data-datanya berada di tangan, melainkan juga untuk memindai apa formula program paling baik dan bergizi bagi masyarakat yang dapat mereka sajikan.

(Indah Ariani)
Foto: Vicky Tanzil
Pengarah Gaya: Karin Wijaya
Busana: Auguste Soesastro, Dior, Fendi
Sneakers: Koleksi pribadi
Rias Wajah: Ike Hartono
Tata Rambut: Evievrian




 

 


Topic

Profile

Author

DEWI INDONESIA