Empat puluh enam tahun lalu, Norbertus Riantiarno atau dikenal Nano Riantiarno mendirikan sebuah kelompok teater independen Teater Koma yang namanya terus harum sampai sekarang. Teater Koma kemudian menjadi wadah para seniman panggung sandiwara untuk bersinar serta memperluas ruang apresiasi seni dan sastra Indonesia. Lebih dari seratus sebelas pertunjukan panggung dan penayangan televisi telah terselenggara di di bawah tampuk kepemimpinan beliau.
Pendiri Teater Koma ini lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Rasa tertarik pada sastra sudah muncul pada diri Nano sejak menempuh pendidikan di bangku SLTP, dimulai dari membuat puisi dan cerita pendek. Dikutip dari Ensikopledia Sastra Indonesia Kemendikbud RI, Nano sudah melahirkan lima puluhan naskah drama, tiga puluhan skenario film, dan beberapa novel serta cerpen.
Lampu sorot panggung terus menyinarinya sehingga karir N. Rianto terus melesat dan mendapat pengakuan dari dalam negeri maupun dunia internasional. Pada tahun 1972 -1974 ia memenangkan sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Lalu, pada tahun 1978, naskah film “Jakarta, Jakarta" pun meraih Piala Citra. Hingga tahun 1988 ia dianugerahi penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand di Bangkok.
"Sampek Engtay", pementasan teater besutan redaktur majalah Zaman pada tahun 1979-1985 ini juga pernah mendapatkan rekor MURI. Sebagai karya yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama.
Hari ini, maestro teater tanah air itu mengembuskan napas terakhir di usia 74 tahun. Karyanya akan selalu dapat dinikmati, kegigihannya dan cintanya pada dunia teater Indonesia akan terus menjadi barometer para penerusnya. Selamat jalan, Nano Riantiarno.
FIRYAL SHABIRAH
Editor: Aldi Indrajaya
Foto: Instagram/nanoriantiarno
Topic
PeopleAuthor
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"