Terpikat Rajutan Terumbu Karang Mangmoel di Art Jakarta
Mangmoel menuturkan kisahnya kepada DEWI tentang karya di Art Jakarta, hingga soal ekosistem seni yang mendukungnya berkarya.
30 Aug 2022



Pergelaran seni tahunan Art Jakarta baru saja usai dihelat. Berlangsung selama tiga hari, pada 26-28 Agustus 2022, Art Jakarta pun masih menyisakan kekaguman pada beragam karya seni yang hadir di acara tersebut. Salah satunya karya ikonis dari Mulyana—yang  juga dikenal dengan nama Mangmoel, berupa panorama coral bawah laut yang dibuat dengan teknik rajutan. Uniknya, pada seri coral kali ini, Mangmoel juga memakai material plastik putih sebagai ‘benang’ untuk merajut karyanya.
 
Dari soal karya yang ia hadirkan di Art Jakarta kemarin hingga tentang ekosistem seni yang mendukung,  seniman asal Bandung yang kini menetap di Yogyakarta menuturkan ceritanya kepada DEWI. Simak perbincangan kami dengan Mangmoel berikut ini!
 
Karya seperti apa Anda hadirkan di Art Jakarta?
Bentuk karya untuk galeri Art Porter Singapura di Art Jakarta ini masih berupa rajutan dan seri coral, judulnya “Coral Luna.” Ini salah satu karya baru saya juga di tahun ini yang baru banget diselesaikan sekitar sepekan jelang Art Jakarta 2022.

Hal baru apa yang Anda coba hadirkan pada karya kali ini?

Ada satu karya dalam seri ini yang paling besar, yang dibuat menggunakan ‘benang rajut’ dari kantong plastik putih. Targetnya tiga hari sudah jadi, tapi untuk yang satu itu saya dan tim perlu sekitar 10 hari untuk menyelesaikannya. Ini harus dilihat langsung untuk bisa tahu detailnya dari dekat. Kalau dari foto saja, nggak kelihatan material yang digunakan serta kerumitannya.
 
Salah satu karya Mangmoel dari seri "Coral Luna" (2022) yang dipamerkan di Art Jakarta 2022
 

Apa ada makna atau cerita yang ingin diutarakan lewat seri ini?

Saya selalu tertarik dengan keindahan alam dan mengapresiasi harmoninya, terutama kehidupan bawah laut dengan keberadaan coral atau terumbu karang. Siklus luna atau bulan ini, kan, memengaruhi juga pasang surut air laut, dan selai itu bulan juga menjadi landasan perhitungan kalender hijriyah yang memandu kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Di samping itu, saya memang kagum pula dengan keindahan sang luna.
 

Seperti apa proses pembuatan “Coral Luna” ini?

Pembuatan karya ini totalnya perlu waktu sekitar tiga bulan, tapi saya nggak sendiri. Saya dibantu oleh sekitar 40 orang asisten untuk menyelesaikan karya-karya rajut saya, termasuk seri “Luna” ini. Jadi ada rajutan-rajutan yang saya ajarkan supaya bisa dibantu pengerjaannya, tapi untuk rajutan yang sifatnya free pattern yang gak bisa ditiru, itu harus saya sendiri dan ada dua asisten utama saya juga yang membantu.
 
Untuk karya yang terbuat dari ‘benang’ plastik tadi, pertama-tama saya dan beberapa orang akan menjadikan plastik putih tadi sebagai benang, untuk kemudian dirajut oleh para ibu-ibu yang membantu saya merajut. Selain plastik, saya juga memakai material merajut dari sisa pabrik di Bandung untuk membuat karya-karya lain di seri ini yang warna-warni. Ke depannya, saya juga ingin bisa memakai material bekas pakai, supaya nggak apa-apa harus baru, terutama untuk mencipta karya.

 
Pengunjung Art Jakarta 2022 di depan karya Mangmoel
 

Bagaimana ceritanya Anda bisa tertarik pada seni merajut?

Udah suka dari SMP karena waktu itu ada pelajaran tata busana, lalu saat kuliah di UPI Bandung saya bekerja paruh waktu di TOBUCIL dan ketemu komunitas merajut. Dari sana kok rasanya lebih asyik daripada origami modular yang saat itu saya gemari juga. Hasil rajutan juga lebih solid dibanding origami yang rapuh banget.
 
Saya pikir saya jatuh cinta dengan prosesnya, dan membiarkan rasa penasaran itu tumbuh dengan terus mendalaminya. Dari belajar dengan komunitas rajut, saya sempat juga berjualan benang dan workshop membuat syal rajutan. Saya juga tertantang banget membuat boneka beruang kecil yang waktu itu rasanya rumit banget memikirkan polanya.
 
Jadi merajut itu ada perhitungannya juga, dan buat saya itu menantang sekali meski awalnya saya nggak terpikir untuk menekuninya sebagai seniman. Ada banyak fase yang saya lewati bersama rajutan ini, dari berjualan merchandise, dan bahkan lewat merajut ini saya juga jadi bisa memberi manfaat ekonomis kepada para perajut yang membantu saya membuat karya.

Bagaimana Anda ‘menemukan’ sosok gurita Mogus sebagai kekhasan karya Anda?

Mogus itu singkatan Monster Gurita Sigarantang, yang awalnya adalah alter ego saya saat saya masih suka menulis di blog saat kuliah dulu. Pada masa itu orang bisa dengan mudahnya mengejek karena seseorang dianggap berbeda. Nah lewat penggambaran Mogus itu saya bisa mengekspresikan diri, sebagai laki-laki, perempuan, karakter yang ‘bandel’ maupun sosok yang salih, tapi bentuknya monster gurita.
 
Seru banget kalau diingat lagi, membuat cerita tentang apapun dengan sosok Mogus. Itu juga yang akhirnya jadi tugas akhir saya untuk menyelesaikan studi di jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI Bandung di tahun 2010. Saya bikin pameran tunggal di tahun 2012, setahun setelah wisuda, dan ternyata responsnya bagus. Saya pun akhirnya terus membawa Mogus di setiap karya saya hingga kini, menjadikannya semacam ‘tanda tangan’ dari saya untuk para kolektor karya saya.



 
Seperti apa peranan ajang pameran seni seperti Art Jakarta untuk membesarkan nama seniman?
Penting sekali. Art Jakarta ini dari namanya sendiri sudah mewakili gambaran kota yang jadi tempat bertemunya pada kolektor dengan para seniman. Art fair seperti Art Jakarta ini ajang penting untuk bisa tahu banyak seniman yang memamerkan karya di sana. Bagi para seniman, bisa menjadi wadah mempromosikan apa yang mereka punya, karena dari karya juga kami hidup. Bagi saya, peranan art fair seperti Art Jakarta ini penting sekali untuk memelihara ekosistem seni yang sudah ada, dan mengenalkan para seniman dan karya-karyanya ke khalayak luas, nggak hanya dari lingkungan seni.


Menurut Anda, dukungan ekosistem seni seperti apa yang diperlukan untuk bisa mengembangkan karier seni?

Pertama, saya yakin bahwa pasti ada tempat untuk kita tumbuh dan mengembangkan diri dengan baik. Kalau di sini nggak berhasil, berarti ada di tempat lain. Ekosistem yang mendukung itu yang bisa memberi masukan yang jujur dan membangun, dengan orang-orang yang punya kemauan untuk maju.
 
Di Jogja ini saya merasa bahwa komunitas seni di sini mendukung sekali untuk berkembang. Dibantu berjejaring, dan seniman yang lebih established juga memberi kesempatan buat yang baru-baru dengan support mereka. Saat pertama kali pameran, Jumaldi Alfi itu salah satu perupa yang beli karya saya, yang bikin saya jadi lebih semangat berkarya dan ikut membagikan apa yang bisa diberikan untuk komunitas.
 
Ketika ada pameran bagus, mereka juga menunjukkan ke orang-orang yang mereka kenal agar datang juga. Kalau ada rezeki lebih, bikin sedekah seni dan mengoleksi karya-karya seniman lain. Jadi, ya seperti itu, pada akhirnya ada banyak hal yang akhirnya bisa dibagikan ke orang lain, dari hal-hal sederhana, hal-hal yang bisa kita lakukan.
 

Teks dan foto: MARDYANA ULVA

 


Topic

Art

Author

DEWI INDONESIA