
Di antara gemerlap Emerald City, kisah persahabatan yang paling fenomenal di Oz kembali menyihir layar lebar. Sebagai sekuel yang paling dinantikan, Wicked: For Good menghadirkan kisah tentang keberanian, empati, dan arti sejati “kebaikan”. Film ini telah tayang untuk publik secara serentak di Indonesia pada 19 November 2025.
Di bawah arahan Jon M. Chu, kita ditarik kembali ke dunia di mana Elphaba (Cynthia Erivo) dan Glinda (Ariana Grande) kini dipisahkan oleh takdir yang kontradiktif. Elphaba, kini dijuluki The Wicked Witch of the West, berjuang mengungkap kebenaran yang ditutupi oleh Sang Penyihir dan Madame Morrible. Di sisi lain, Glinda tampil sebagai wajah Emerald City. Ia mengambil peran untuk menjaga ketertiban dan meredakan keresahan, seraya mempertahankan citra “baik” yang telah melekat padanya sejak awal.
Nuansa Magis Dunia Oz
Bagi pencinta sinema, film ini adalah pesta visual yang memanjakan mata. Produksi sinematik ini didukung tata musik yang memukau dari Stephen Schwartz, serta rancangan busana karya Paul Tazewell yang berhasil meleburkan estetika panggung Broadway dengan skala produksi layar lebar. Nuansa hijau Elphaba yang pekat bersanding dengan warna pink cerah khas Glinda dalam bingkai sinematik yang menawan.

Perayaan warna ikonis ini juga meresap hingga Jakarta melalui rangkaian aktivasi publik, mulai dari kegiatan Nyanyi Bareng Jakarta x CloseUp Wicked: For Good edition yang menghadirkan ratusan peserta bernyanyi lagu “Defying Gravity” bersama dalam dresscode hijau dan pink, hingga tampilan facade light dengan palet warna serupa di Grand Hyatt Jakarta. Di Plaza Senayan, Universal Pictures Indonesia juga menghadirkan instalasi tematik dan koleksi busana edisi khusus hasil kolaborasi dengan desainer Indonesia, Peggy Hartanto, yang menampilkan skema warna khas dunia Oz dengan perpaduan nuansa magis yang menjadi identitas visual cerita ini.
Mendekonstruksi Makna Kebaikan

Wicked: For Good mempertanyakan makna kebaikan yang sesungguhnya dengan menyingkap dinamika kekuasaan di Oz. Film ini dengan cermat memperlihatkan bagaimana para penguasa merancang narasi yang menyesatkan dan memanfaatkan celah-celah kerentanan publik untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan.
Di balik tabir kemegahan Emerald City, terkuak bahwa Sang Penyihir hanyalah figur publik yang dikendalikan oleh Madame Morrible. Kita dapat melihat ketakutan para penguasa terhadap kecerdasan yang dianggap mengusik status quo dari upaya mereka untuk membungkam pihak-pihak yang berpotensi mengungkap kebohongan, serta mempolarisasi publik dengan membingkai Elphaba sebagai penyihir jahat. Oleh karena itu, Elphaba yang selalu bertindak dengan niat tulus justru selalu disalahpahami dan ditakuti oleh masyarakat.

Sementara itu, hadir sosok sahabatnya yang kini telah diangkat dan ditugaskan untuk menenangkan massa, sekaligus meyakinkan bahwa segala sesuatunya baik-baik saja di bawah pemerintahan Sang Penyihir. Glinda menjelma sebagai simbol kebaikan yang dirayakan publik. Namun di balik suasana yang tampak gemilang, hubungan Glinda dan Fiyero yang baru saja bertunangan justru menyimpan kekosongan yang mulai terasa sejak kepergian Elphaba.
Melalui bahasa tubuh dan sorot mata yang selalu tampak mencari sesuatu, film ini berhasil menampilkan kehampaan yang dirasakan oleh Fiyero. Glinda pun menyadari bahwa percikan hidup yang dulu begitu kuat dalam diri Fiyero kian memudar, seakan kebahagiaan yang mereka bangun selalu bersentuhan dengan kerinduan yang sama. Bayangan Elphaba tetap hadir di antara mereka, memperlihatkan betapa rumit dan halusnya ikatan yang menyatukan ketiganya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Cynthia Erivo, inti cerita ini menembus batas antara kebaikan dan keberanian. Ia menunjukkan bahwa kekuatan terbesar bukan berasal dari sihir, melainkan dari empati dan cinta yang tulus. Ariana Grande menambahkan bahwa persahabatan sejati mampu mengubah dunia. Di balik segala perbedaan, mereka menemukan keberanian untuk saling memahami, dan ini merupakan bentuk sihir yang paling nyata.
Nada, Gerak, dan Emosi yang Saling Menghidupkan

Sebagai drama musikal, kekuatan film ini bertumpu pada musikalisasi yang ditangani dengan sangat cermat. Jon M. Chu memberikan kesempatan bagi para pemerannya untuk bernyanyi secara langsung di set. Keputusan ini menghasilkan lapisan vokal yang lebih autentik, hangat, dan emosional. Resonansi suara para pemain menyatu erat dengan ekspresi dan gerak tubuh mereka, sehingga adegan-adegan musikal tampak mengalir secara alami. Langkah dan perpindahan tubuh dalam koreografi pun dirancang dengan dinamika yang bervariasi untuk menyokong perkembangan emosi sekaligus menggerakkan cerita dan menambah kedalaman hubungan antartokoh.
Di antara deretan adegan musikal dalam Wicked: For Good, penampilan “For Good” menjadi puncak titik yang paling emosional. Berbeda dengan adegan perpisahan dalam “Defying Gravity” yang menggambarkan keputusan Elphaba untuk menjauh demi keyakinannya pada film Wicked yang pertama, adegan musikal “For Good” menandai perpisahan yang benar-benar final bagi Elphaba dan Glinda. Teknik pengambilan gambar close-up shot pada wajah keduanya menangkap detail ekspresi sendu dengan cermat, diselimuti gradasi warna hangat yang melebur dengan rona senja.
Refleksi Kebaikan dalam Perspektif Baru

Wicked: For Good hadir sebagai tontonan yang memukau secara visual, musikal, dan emosional. Perpaduan sinematografi yang kaya, aransemen musik yang syahdu, serta penjiwaan karakter yang kuat menghasilkan pengalaman yang tak kalah memikat dari pesona panggung aslinya. Pada hakikatnya, kisah Elphaba dan Glinda menjadi pengingat bahwa kebaikan sejati berakar pada keberanian untuk membela kebenaran dan merangkul satu sama lain, bukan sekadar pada citra atau gelar yang disematkan oleh publik. Kisah ini sudah pasti akan menyentuh hati bagi siapa pun yang pernah merasakan pilu kehilangan atau perpisahan.
Editor: Imam Notonogoro
Teks: Aqeela Hamarthya Czecheska Humayra