Opini: Pesta Hantaran Di Bulan Suci Untuk Siapa?
Tanpa disadari, tradisi yang berawal dari kebaikan ini telah berubah menjadi sebuah ajang pamer, dengan dampak samping yang kurang sedap
12 Jun 2019


Ramadan telah tiba! Sejak tarawih pertama, smartphone penuh dengan broadcast permohonan lahir batin dan ucapan selamat berpuasa. Para pedagang pun heboh buka lapak menggelar dagangan kue, daging kering, sampai kaftan. Agenda sejak minggu kedua padat merayap dengan acara buka bersama lengkap dengan dresscode berbeda (yang artinya budget naik tiga kali lipat euy, muka mau ditaruh mana kalau masih mengenakan koleksi tunik dan kaftan dua tahun lalu.) Semua ini adalah tradisi yang membuat bulan suci begitu hangat dan semarak. Didasari pada rasa syukur diberi kesempatan untuk menumpuk amal di bulan suci sekaligus antusiasme ingin berbagi rezeki pada sesama. 

Demikian dengan tradisi hantaran. Para istri kreatif memikirkan makanan apa lagi yang ingin mereka kirim pada barisan handai taulan. Hantaran kini makin ekstravagan. Bahkan beberapa berlomba untuk menghadirkan hantaran paling hits dengan temuan makanan yang banyak belum tahu sehingga menuai pujian dan desakan ingin tahu dari mana mendapatkannya. Menjadi kebanggaan tersendiri, apalagi di zaman semua serba didokumentasikan dan diunggah. Satu hantaran hits, tak hanya dinikmati si penerima tok, tapi akan disaksikan ratusan mata di Instastory.

Namun, ternyata tradisi hantaran ini bisa menjadi beban bagi sebagian. Bayangkan, satu hantaran berkisar ratusan ribu rupiah. Kalikan dengan jumlah orang yang bisa mencapai puluhan; keluarga, kolega suami, geng baru satu tadarusan, geng pengajian, geng arisan, geng sesama ibu sekolahan sampai geng hangout. Haduh! kenapa daftar tiap tahun makin panjang. Tapi nanti kalau tidak mengirim, hmm, akan dicap sombong, pelit atau yang paling fatal, bisnis suami lagi turun? Belum lagi, banyak “bonus” hantaran dari handai taulan yang kurang dekat dan tidak ada di daftar. Sudah kulkas tidak muat, uang pun keluar lagi; karena mau tidak mau harus dibalas. Tambahkan pula biaya pengiriman kurir ojek online yang bikin puasa nyaris batal saat berurusan dengan driver yang bolot, setiap tiga menit bertanya atau telepon terus.

Yang semula adalah tanda perhatian menjadi merepotkan. Hantaran-hantaran yang datang pun ujung-ujungnya menumpuk di kulkas. Niat ingin mencicipi semua tapi apa daya, tidak rela juga timbangan yang turun (sedikit) jadi ternodai. Akhirnya dari kulkas dirrotasi ke dapur belakang atau pos satpam, bahkan ada yang nekad meneruskannya kepada orang lain. Tentu sudah diperhitungkan, ke yang beda pergaulan. Meski tetap harap-harap cemas, tidak di posting di Instastory dan sampai ke mata yang memberi. 

Dan ironisnya, di bulan yang seharusnya sarat dengan menahan diri atau fasting, menjadi ajang serba berlebih atau feasting. 

Menurut Isnawa Adji, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, saat bertemu dengan Nadia di acara Diet Kantong Plastik, colume sampah di Ibu Kota cenderung meningkat di bulan suci. Dan sampah yang dimaksud adalah sampah rumah tangga alias makanan sisa; seperti sayur-mayur, buah-buahan, plastik, serta pembungkus makanan lainnya. Ramadhan tahun lalu mencatat kenaikan sampah di Ibu Kota sebanyak empat persen atau 7.999 ton per hari!

"Peningkatan tersebut disebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat dengan meningkatnya konsumsi pada waktu berbuka puasa dan waktu sahur," jelas Isnawa. Ia juga menyanyangkan perilaku berlebih dalam urusan makanan sehingga banyak yang tidak habis lantas terbuang.

Sangat disayangkan di bulan Ramadhan yang seyogyanya, menjadi ajang kesederhanaan dan kebersahajaan, untuk meneguhkan rasa empati terhadap kaum dhuafa, justru kerap tercoreng menjadi ajang pemborosan dan kompetisi-dengan efek samping yang sangat buruk pula bagi lingkungan. Alangkah baiknya jika tradisi hantaran ini disederhanakan atau tanda perhatian ini justru diberikan ke kaum dhuafa atau anak-anak panti asuhan agar lidah mereka 'berpesta', sesuatu yang jarang mereka rasakan. (Joanita Roesma dan Nadia Mulya)

 

Author

DEWI INDONESIA