Mataguru dan Bayang-bayang Iwan Tirta
Iwan Tirta Private Collection menegaskan visinya sebagai luxury batik house, sembari mencari arahan baru yang relevan dengan generasi masa kini.
5 Dec 2019


1 / 9
Sosok Iwan Tirta sebagai pakar batik menjadi titik awal Iwan Tirta Private Collection untuk meluncurkan koleksi bertajuk Mataguru. Koleksi ini merupakan sebuah tribute bagi sang maestro batik yang tutup usia pada tahun 2010.

Digelar di Fairmont Jakarta, pada Kamis, 28 November 2019, peragaan ini juga menjadi semacam awal baru bagi Iwan Tirta Private Collection sebagai luxury batik house. Sebutan ini berarti menandakan status ITPC yang tidak berhubungan dengan visi desain flamboyan Iwan Tirta dalam mode Indonesia pada rentang kariernya.

Sosok Iwan Tirta sebagai pakar batik yang melakukan pembaruan pada banyak motif klasik batik dengan persona Iwan Tirta sebagai desainer mode terasa perlu dibedakan. Selaku pemegang 13 ribu motif batik warisan Iwan Tirta, ITPC berupaya menyuguhkan kategori luxury batik dengan cara bercerita yang berbeda.

Dengan peragaan yang digelar dua tahun sekali, ITPC memulainya dengan Dewaraja pada 2015. Kemudian berlanjut pada Condrosengkolo pada 2017, serta kemudian Mataguru pada 2019. Persamaan pada keseluruhan visi koleksi itu adalah bagaimana memahami filosofi tersembunyi dari batik Indonesia, yang sebelumnya telah banyak digali oleh Iwan Tirta.

 
Finale dari peragaan Mataguru dari Iwan Tirta Private Collection. (Foto: Orie Buchori)


Kemampuan untuk melihat dan memahami secara holistik yang dituangkan dalam batik merupakan sebuah pesan yang ingin disampaikan turun temurun lewat batik. Nilai ini yang membedakan batik Indonesia dengan tradisi tekstil serupa di negara-negara lainnya.

Lewat Mataguru, simbol-simbol itu berupaya untuk diceritakan. Peragaan misalkan dibuat dengan latar Pohon Hayat atau Pohon Kehidupan sebagai suatu perwujudan semesta yang berada dalam satu kesatuan, seperti pembabakan dalam pertunjukan wayang.

Motif Pohon Hayat pun banyak dimunculkan pada bagian pertama koleksi ini yang bertajuk Talu. Ini merupakan babak perdana dalam pewayangan yang dimulai dengan gong sebagai penanda. Peragaan Mataguru pun dibuka dengan setelan dress dengan motif Pohon Hayat sebagai pusat pada torso yang  dipadukan dengan kalung mutiara.

Pohon Hayat dan Gunungan Kekayon—yang juga berarti simbol pohon kehidupan—menjadi penanda dalam sequence pertama peragaan. Didominasi warna coklat dan abu-abu, motif tersebut menggambarkan semesta yang merupakan satu kesatuan sekaligus manusia sebagai semesta itu sendiri.

Sequence kedua, yang diberi nama Adeg Jejer merupakan sebuah interpretasi ulang atas motif-motif ikonis dari Iwan Tirta. Mulai dari Mangkuto atau mahkota, Parang, hingga Gurdo, banyak mendominasi bagian ini. Didominasi warna cokelat, motif-motif ini merupakan lambang dari kebijaksanaan yang terus menerus diharapkan bagi para pemimpin.

Pada bagian penutup, ITPC menampilkan segmen bertajuk Adeg Sabrang yang menampilkan motif-motif batik yang terpengaruh kebudayaan asing. Mulai dari unsur oriental hingga Eropa dan Arab muncul dalam motif yang sebgaian didominasi motif bunga dan burung. Motif ini menggambarkan batik yang terbuka, dan juga betapa mumpuninya Iwan Tirta di masa silam menjadi inisiator dari diplomasi budaya melalui batik.

Secara keseluruhan, motif yang ditampilkan memang masih memiliki nafas Iwan Tirta. Tapi tentu, pada beberapa bagian, koleksi ini terasa kurang kuat dalam penataan gaya jika ingin menampilkan sosok Iwan Tirta sebagai maestro.

Sebagian kemeja prianya memang dikenakan ala Iwan Tirta, yang selalu dimasukkan ke dalam bagian atas celana. Sayangnya unsur lavish dan keparipurnaan yang dijunjung tinggi Sang Maestro semasa hidupnya untuk melambangkan status sosial yang lebih baik bagi para kliennya, kini sedikit meredup. (SJH) Foto: ASA Medier, Orie Buchori


 
 
 

 

Author

DEWI INDONESIA