
Garis-garis berlekuk, saling-silang malang-melintang dalam satu garis tak berkesudahan, membentuk figur-figur bak hikayat dalam bentuk gambar: unalome, demikianlah spiritualisme Timur menamai geometri hidup manusia. Dalam gelaran bertajuk sama, perancang Cynthia Vicario dan Abirama lewat bendera ALTO Project, menelaah tarikh hidup manusia.
ALTO PROJECT menggandeng seniman Ryan Geraldin dalam koleksi Spring-Summer 2026 ini untuk menciptakan corak unalome baru. Mengambil inspirasi dari corak-corak Dayak, Sumba Timur, dan Toraja, motif unalome Ryan Geraldin lantas ditenun menjadi wastra dengan dukungan Cita Tenun Indonesia. Koleksi ini ditampilkan dalam fashion show yang digelar pada Kamis, 7 Agustus 2025, di LOMMA, Jakarta, dilanjutkan dengan pameran pada tanggal 8-9 Agustus 2025.



Membesut “unalome” kontemporer
Dalam “Unalome,” perancang Cynthia Vicario dan Abirama merenungkan sebuah pemikiran: bahwa kehidupan bukan tentang mencapai tujuan dalam sebuah trayektori yang lurus, melainkan tentang memaknai dinamika kehidupan.
“Hidup ini tidak melulu soal lahir, lalu menjalani naik-turunnya, hingga raga kemudian mati. Akan tetapi, kematian dan kehidupan juga bisa dimaknai secara spiritual: kita selalu bisa terlahir kembali sebagai seseorang yang baru,” jelas Cynthia Vicario, Creative Director ALTO PROJECT.
Bersama Ryan Geraldin, Cynthia lantas memilih tiga kebudayaan Indonesia untuk menggambarkan siklus kehidupan manusia sebagai corak. Motif daun kelakai, yang digunakan dukun prewangan dalam ritual menjejaknya bayi-bayi Dayak, menggambarkan kelahiran; motif kuda, ladang, dan bukit Sumba Timur menganalogikan perjalanan mencari air kala kemarau laiknya naik-turun hidup manusia; sedangkan motif kubur batu, tanduk banteng, dan atap tongkonan yang khas dalam upacara rambusolo Toraja menggambarkan kematian.
Motif-motif ini kemudian ditenun menjadi wastra lewat kolaborasi dengan Cita Tenun Indonesia. Sejak belia, Cynthia telah mengoleksi wastra langsung dari perajinnya. Tak dinyana, suatu ketika filantropis Adit Marciano memperkenalkan Cynthia kepada Cita Tenun Indonesia. Cynthia segera mengambil kesempatan merealisasikan mimpi untuk menciptakan koleksi yang seluruhnya dari wastra, terlibat langsung mempelajari proses pembuatan tenun agar dapat menciptakan corak sendiri.
“Saya merasa kreativitas saya hidup ketika berkecimpung dengan wastra,” jelas Cynthia. “Lewat ‘Unalome,’ saya ingin audiens melihat bahwa perajin Indonesia memiliki keterampilan yang tidak kalah menakjubkan dari artisan asing.”





Padu-padan seni dan busana
Malam itu, Lomma sebagai lokasi gelaran disulap menjadi sebuah ruang pameran sekaligus lintasan peragaan. Tamu disambut dengan instalasi unalome karya Ryan Geraldin dengan material perca, serta perpaduan antara kawat perak dengan sulam tangan. Seluruhnya dibuat oleh perajin lokal.
Gelaran dibuka dengan musik daerah dan tari dengan wastra. Sebanyak 27 rancangan busana siap-pakai dan tiga rancangan adibusana ditampilkan dalam pameran ini. Seluruhnya menggunakan palet warna alam seperti offwhite, krem, biru indigo, dan kecoklatan; berpadu dengan monokromatik hitam dan putih, sesuai dengan motif garis kekal (infinity lines) karya Ryan Geraldin.
Busana dirancang dalam siluet yang kasual, memadukan kelonggaran dan struktur. Garis pola terkesan tegas, pun dalam volume yang lebih luang, menciptakan geometri yang senada dengan corak. Selintas aksentuasi lekuk asimetris di sejumlah sudut sekali lagi mengingatkan akan perjalanan hidup yang tidak linear. Impresi yang didapatkan adalah segaris liar yang menyelinap di antara garis-garis yang terstruktur. Seperti hidup, tidak kurang-kurang kejutan—pun, justru dalam ketidakbiasaan yang demikianlah hidup menemukan keindahannya.





