Kuasa Negosiasi Angkie Yudistia
Melalui keterbatasannya, ia berjuang melakukan pemberdayaan ekonomi untuk kaum difabel.
27 Feb 2017



Ohio, negara bagian di Amerika Serikat ini menyimpan memori tersendiri bagi Angkie. Pada akhir 2015 ia datang ke sana sebagai peserta International Visitor Leadership Program. Pemerintah Amerika Serikat menyelenggarakan program ini untuk mempererat hubungan bilateralnya dengan Indonesia di berbagai bidang. Para peserta program terdiri dari pemimpin dan pengusaha muda potensial dari 23 negara. Mereka diajak mengunjungi sejumlah institusi di  beberapa negara bagian.
Angkie satu-satunya peserta difabel dari Indonesia. Ia tunarungu. Sebelum itu, lima tahun lamanya Angkie melakukan riset terhadap kaum difabel. Ia mencari cara agar Indonesia bisa menjadi negara yang kondusif untuk kaumnya, termasuk memperjuangkan pemakaian istilah yang tepat, “Jangan lagi menggunakan kata penyandang cacat.”
Tantangannya tidak ringan, “Indonesia ini subyektif. Perkataan didengar bergantung dari siapa yang bicara.”  Ia membutuhkan strategi yang tepat agar memperoleh dukungan, “Oleh karena itu saya menulis buku. Melalui buku, saya bisa menjangkau orang banyak dan kredibilitas saya akan meningkat.” Buku itu berjudul Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas, membahas kehidupan dan peluang-peluang yang bisa didapatkan kaum tunarungu. Respons masyarakat sangat positif. Buku terjual habis.
Di tahun 2011, tak lama setelah buku itu terbit, dengan Wahyu Utomo, ia mendirikan Thisable Enterprise, lembaga independen yang disebutnya ‘social business for social profit’. Katanya, “Semua orang bisa menjadi pengusaha tetapi yang penting bagaimana ia menjadi pengusaha yang berdampak. Nama Thisable menandakan bahwa kaum difabel memiliki kemampuan dan kesempatan yang layak.”
Di bawah bendera Thisable, Angkie mulai mendekati pemerintah agar peduli dan ikut berperan memberdayakan kaum difabel, termasuk mengupayakan perizinan agar program-program lembaganya berjalan lancar. Ia bahkan melakukan kampanye sosial dan pendampingan kaum difabel hingga ke Timor Leste.
Skema pun dirancang. Ia membuka peluang kerja bagi kaum difabel dengan usia produktif untuk bergabung di organisasi tersebut, “Akhirnya berhasil tersaring 10 orang. Bagi saya bukan berapa banyak orang yang bergabung tetapi berapa banyak orang yang bergabung mampu berkarya.”
Ia menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan untuk memberi pelatihan personal branding, social media for business, dan visual presentation pada mereka. Tapi perjuangan Angkie tentu saja tak berhenti sampai disini. Ia hendak menciptakan institusi pendidikan untuk kaum difabel. Ia tak kenal menyerah, “Memperjuangkan kaum difabel ialah program yang sangat panjang dan butuh komitmen untuk melakukannya.” (JAR) Foto: Dok. dewi
 

 

Author

DEWI INDONESIA