
Di tengah dunia yang semakin dan saling terhubung, industri garmen Indonesia menghadapi tantangan yang kian kompleks. Batas geografis memang semakin kabur, tetapi batasan struktural—mulai dari efisiensi produksi, integrasi rantai pasok, hingga daya saing global—masih menjadi persoalan utama.
Untuk itu, Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) hadir di Center Stage Jakarta Fashion Week (JFW) 2026, membuka diskusi yang bertajuk “Weaving Opportunities: The Future of Indonesian Garments in a Borderless Market.” Dialog ini menegaskan bahwa keterbukaan pasar tidak selalu berjalan seiring dengan kesiapan sistem industri di dalam negeri.
Pergeseran dalam Paradigma Industri Garmen
Ketua Umum AGTI, Anne Patricia Sutanto, menyoroti bahwa masa depan industri garmen nasional tidak lagi dapat bergantung pada keunggulan biaya produksi atau kapasitas manufaktur semata. Dalam pasar global yang semakin kompetitif, keunggulan ditentukan oleh efisiensi sistem, pemanfaatan teknologi serta kemampuan industri untuk beradaptasi terhadap perubahan standar dan permintaan internasional.
“Di pasar yang semakin mengikis batasan antar negara, keunggulan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling besar, melainkan oleh siapa yang paling siap.” ujar Anne Patricia Sutanto di sesi Center Stage JFW 2026.
Pernyataannya ini menandai pergeseran paradigma penting. Industri garmen tidak lagi cukup berperan sebagai basis produksi, tetapi harus mampu meningkatkan nilai tambah melalui inovasi dan integrasi lintas sektor.
Selama bertahun-tahun, industri ini berada dalam posisi yang paradoks. Di satu sisi, Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen tekstil dan garmen terbesar. Namun, di sisi lain, nilai tambah industri masih rentan tertahan pada tahap manufaktur. Posisi ini menjadi semakin rentan karena persaingan global tidak lagi ditentukan oleh kuantitas produksi, melainkan oleh kecepatan, presisi, dan diferensiasi produk. Tanpa peningkatan kapasitas sistem dan manajerial, industri garmen nasional berisiko tertinggal dalam rantai nilai global.
AGTI memandang bahwa tantangan tersebut tidak dapat diselesaikan secara parsial. Transformasi industri harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari penguatan sektor hulu, modernisasi fasilitas produksi, hingga integrasi teknologi digital dalam rantai pasok. Perubahan stuktural ini menjadi langkah awal agar industri garmen Indonesia dapat bersaing secara berkelanjutan di pasar global.
Anne menekankan bahwa perubahan ini bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Industri yang bertahan dengan cara lama akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri dengan dinamika pasar internasional.
Mode dan Garmen dalam Satu Ekosistem
Kehadiran AGTI di Center Stage JFW 2026 mempelihatkan keterhubungan antara industri garmen dan ekosistem mode. Selama ini, fashion dan manufaktur kerap berjalan pada jalur yang terpisah. Padahal, para perancang membutuhkan industri garmen yang mampu menerjemahkan kreativitas ke dalam produksi berskala besar. Begitu pula dengan industri garmen yang membutuhkan desain dan narasi untuk meningkatkan daya saing produk di pasar global. harmoni inilah yang menjadi fondasi bagi ekosistem mode yang berkelanjutan dan relevan di mata dunia.
Panggung mode kini mengambil peran lebih dari sekadar ruang presentasi estetika. Pembahasan ini berkembang menjadi ruang dialog strategis yang mempertemukan kepentingan kreatif, industri, dan kebijakan.
“Fashion week hadir bukan hanya sebagai panggung selebrasi, tetapi ruang strategis untuk membangun ekosistem dan menentukan arah industri ke depan.” ungkap Svida Alisjahbana, CEO GCM Group & Chairwoman JFW 2026.
***
Meskipun penuh tantangan, pasar global yang terbuka tetap menawarkan peluang besar. Indonesia memiliki modal kuat berupa sumber daya manusia, kapasitas produksi, serta kekayaan budaya yang dapat menjadi keunggulan kompetitif. namun, peluang tersebut hanya dapat dimanfaatkan melalui kolaborasi yang erat antara asosiasi industri, pelaku usaha, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Pasar global menuntut cara berpikir yang melampaui batas konvensional. Dalam dinamika yang terus berubah, pesan AGTI menjadi relevan dan mendesak: masa depan industri garmen Indonesia tidak ditentukan oleh besarnya kapasitas produksi, melainkan oleh kecermatan dalam menenun peluang melalui teknologi, kolaborasi, dan keberanian untuk bertransformasi.
Teks: Nadia Indah
Editor: Mardyana Ulva
Dok. JFW 2026