Petang Kreatif DEWI bersama Ardi Gunawan di ISA Art

Sebagai momen perayaan pameran tunggal dari seniman Ardi Gunawan yang bertajuk “Made Me Dirty“, ISA Art berkolaborasi dengan Majalah DEWI menggelar sesi art talk dan art workshop. Pada sesi art talk, sang seniman mengutarakan pandangannya bahwa konsumsi media saat ini sangatlah dinamis dan cepat, memunculkan ide bagi Ardi untuk bisa melukis kapapun dan apapun. Pada sesi art workshop, para peserta diajak untuk menyelami proses kreatif mereka; menuang cat, mengolesnya dengan sumpit dan sendok untuk mencipta bentuk di atas kanvas masing-masing.

Bincang Seni Kekaryaan sang Seniman

Sesi Art Talk bersama Ardi Gunawan dan kurator pameran, Hendro Wiyanto, yang dimoderatori oleh Zarani Risjad

Zarani Risjad memoderatori sesi ini, dengan diskusi bersama Ardi Gunawan dan kurator pameran ini, Hendro Wiyanto. Zarani sendiri adalah seorang produser kreatif yang bergelut di bidang kuratorial dan komunikasi, yang telah mengkurasi berbagai pameran seperti “Past Present Future” (Raci, 2022) dan “A Thousand Words” (Orasis Artspace, 2023). 

Advertisement

Dalam diskusi ini, praktik berkesenian Ardi Gunawan diulas secara mendalam dengan berbagai refleksi atas perkembangan seni rupa saat ini. Misalnya bahwa karya seni dipengaruhi oleh efek-efek alam yang secara natural hadir di sekitar kita, seperti gravitasi, hujan, dan manifestasi alam lainnya. Ketika cat menyentuh bidang kanvas yang dimainkan,  gravitasi yang menarik cat membentuk alur cat yang seolah berjalan di atas kanvas. Menurut Hendra, aspek-aspek ini ikut memberikan sentuhan tersendiri dalam karya seni.

Yang Tersurat dan Yang Tersirat

Menurut sang kurator, cara Ardi berkarya sangatlah unik. Kita dapat melihat bagaimana cat ‘mencuri’ fokus karyanya. Hendro menyebut bahwa “Made Me Dirty” merupakan pameran cat, bukan pameran lukisan.  

“Biasanya ketika melihat suatu lukisan, kita cenderung fokus dengan rupa yang tampak, sedangkan karya Ardi menarik kita pada catnya. Kemana aliran cat ini menuju? Ia akan bersinggungan dengan warna apa hingga akhirnya mencipta bentuknya?” ujar Hendro.

Lebih lanjut, Hendro mengatakan bahwa karya lukis memang harus dilihat secara sungguh-sungguh, baik itu secara faktual maupun material. Secara faktual mata kita pada normalnya akan terfokus pada imaji yang ada pada lukisan. Namun, karya Ardi membuka mata terhadap material lukisan; mengenai apa yang bisa dilihat dalam karyanya. Sehingga mata tertuju pada hal-hal tersirat yang ikut hadir di atas kanvas.

Trash Images: Reproduksi Gambar di Internet

Dalam mencipta karyanya, Ardi menyatakan bahwa ia melakukan reproduksi media yang ia temukan di internet dalam bentuk lukisan. Ardi mencari gambar-gambar yang bertebaran di media sosial, untuk kemudian ia hadirkan kembali di atas kanvas dengan gayanya tersendiri. Dengan kecepatan masa konsumsi media saat ini, Ardi ingin menciptakan momentum untuk mengapresiasi lebih gambar-gambar yang biasanya kita lewatkan dalam hitungan detik.  Bagaimana selama ini media itu hanya dilihat secara digital, ia ingin menghadirkan mereka secara fisik dengan gayanya sendiri,. Mmengingatkan kita untuk mengonsumsi media secara pelan. 

Ardi juga melihat kondisi ini sebagai kesempatan untuk menjadi lebih produktif dalam berkarya. Menurutnya, masih banyak gambar dan media di luar sana yang dapat dieksplor, yang memungkinkannya untuk berkreasi melalui lukisan.

Zombie Rationalism: Sebuah Perumpamaan Seni

Ada satu istilah menarik yang muncul dalam diskusi ini, yakni ‘zombie rationalism’. Ini adalah konsep yang menurut Ardi memperlihatkan kontras antara kata zombie dengan rasionalisme, yang menggambarkan sosok tanpa akal (mindless), tapi berkelindan dengan akal (rationalism) yang menuntut keteraturan. 

Zombie sendiri merupakan figur yang ‘hidup’ tapi sejatinya tak memiliki jiwa. Zombie menjadi analogi seni rupa modern yang terlihat sangat dinamis dan selalu berkembang; namun dinamika ini justru menimbulkan presepsi bahwa di skena seni rupa modern, seni rupa (terutama seni lukis)  justru terkesan ‘mati’.

Dekonstruksi Gagasan

Ardi juga berpendapat bahwa menyatakan bawah sosok Zombie yang ditakuti seharusnya malah dikasihani. Katanya, “Zombie itu kan bentuknya nggak keurus, kelihatannya gembel banget. Jadi harusnya dia itu kita kasihan sama zombie, bukannya takut, hahaha.”

Ide “rasionalisme zombie” yang digagas oleh Ardi juga berangkat dari pemikiran modern yang meyakini bahwa manusia memiliki fungsi dan terikat pada rutinitas serta tuntutan keteraturan. Kondisi ini mencerminkan kemajuan yang sangat fungsional dan efisien.

Melalui karyanya, Ardi menghadirkan paradoks dengan memosisikan sosok zombie yang tanpa pikiran (mindless) ke dalam tatanan rasionalisme yang kaku. Dalam gagasannya, zombie hadir sebagai sebuah kritik, sebuah entitas yang dapat menertawakan ekspektasi dunia terhadap keteraturan dan efisiensi yang berlebihan.

Gagasan ini tersirat jelas dalam lukisannya. Siluet senyuman yang muncul pada lukisan-lukisan tersebut adalah manifestasi dari zombie itu sendiri, yang seolah-olah sedang mengejek dan menertawakan realitas dunia.

***

Pameran Ardi kali ini hadir sebagai respons terhadap dunia yang serba dinamis dan penuh rutinitas. Karya-karya Ardi juga mengingkatkan kita bahwa tidak apa untuk bersantai, menjadi naif, dan kotor. Pameran “Made Me Dirty” karya Ardi Gunawan dihelat di ISA Art Gallery pada 04 Juli hingga 12 September 2025. 

Teks: Nadia Indah
Editor: Mardyana Ulva

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

“Beyond Unsettled Pasts”: Menapak Jejak Kolonial, Membayangkan Dunia yang Lebih Adil

Next Post

Menelaah Tarikh Hidup Manusia

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.