
Sejak Avatar pertama, sutradara James Cameron mengajak kita memandang semesta Pandora sebagai cermin: tentang manusia yang rakus, tentang alam yang hidup, dan tentang kemungkinan untuk belajar mencintai dunia yang bukan milik kita. Di Avatar: The Way of Water, cerita itu menjadi lebih intim; tentang keluarga, tentang menjadi orang tua, tentang belajar bertahan tanpa kehilangan empati. Kini, Avatar: Fire and Ash membuka babak yang lebih gelap dan dewasa: tentang duka yang tidak lagi bisa disembuhkan dengan doa.
Duka yang Menetap di Tubuh
Kematian Neteyam (Jamie Flatters), putra sulung Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldaña), menjadi pusat emosional Fire and Ash. Bagi keluarga Sully, kehilangan bukan lagi peristiwa, melainkan kondisi yang terus hidup di tubuh. Jake memikul duka sebagai tanggung jawab yang membisu; Neytiri menanggungnya sebagai amarah yang tak punya ruang aman untuk dilepaskan; sementara Lo’ak (Britain Dalton) tumbuh dengan rasa bersalah yang pelan-pelan membentuk identitasnya. Grief yang ditekan tidak pernah benar-benar hilang. Ia bermigrasi, menjelma menjadi kemarahan, jarak emosional, atau dorongan untuk mengontrol.
Ketika Luka Menjadi Lanskap
Perubahan batin itu tidak berhenti pada individu; Pandora pun ikut bergeser. Hadirnya Ash People (Manguan)—klan Na’vi yang hidup di lanskap vulkanik dan memilih meninggalkan kepercayaannya terhadap Eywa—menjadi metafora kuat tentang trauma kolektif. Mereka bukan sekadar antagonis, melainkan komunitas yang terputus dari sumber pemulihan. Dalam dunia wellness, ini terasa akrab: ketika seseorang memutus hubungan dengan tubuh, alam, atau spiritualitasnya, bukan karena tidak percaya, melainkan karena terlalu lelah berharap.
Belajar dari Para Pengendara Udara
Namun film ini tidak berhenti pada keterputusan. Berbeda dengan Ash People, Wind Traders—para pengembara udara—menawarkan cara lain untuk bertahan hidup: tidak mengakar, tetapi bergerak. Mereka mengingatkan bahwa penyembuhan tidak selalu berarti menetap; kadang ia hadir lewat ritme, jarak, dan kemampuan membaca arah angin batin sendiri. Menjalani hidup dengan damai bagi mereka bukan tentang stabilitas mutlak, melainkan tentang kepekaan terhadap perubahan.
Tubuh yang Belajar Bernapas
Di antara ketegangan yang semakin kompleks, Spider muncul sebagai figur rapuh namun penuh kemungkinan. Tubuhnya menjadi simbol tubuh yang belajar bertahan di antara dua dunia. Dengan bantuan Kiri (Sigourney Weaver) dan keterhubungannya dengan jiwa Eywa, film ini mengisyaratkan bahwa penyembuhan tidak lahir dari dominasi, melainkan dari relasi. Dari kedekatan, bukan penaklukan.
Konflik yang Berpindah ke Dalam
Avatar: Fire and Ash menggeser konflik dari sekadar manusia versus Na’vi menjadi pergulatan internal: tentang bagaimana komunitas yang terluka bisa saling berhadapan. Dalam konteks budaya hari ini, pergeseran ini terasa relevan. Keberlanjutan, baik yang ekologis maupun emosional, tidak mungkin tercapai tanpa keberanian memberi ruang pada duka, alih-alih menutupinya dengan narasi harmoni palsu.
Ruang untuk Merasakan, Bukan Menyelesaikan
James Cameron pun sengaja menanggalkan citra alam sebagai ibu yang selalu memeluk. Fire and Ash memperlihatkan bahwa bahkan alam bisa menjadi ruang konflik ketika kehilangan tidak diproses. Dan di situlah film ini terasa paling manusiawi: ia tidak menawarkan resolusi cepat, hanya undangan untuk tinggal sejenak bersama rasa sakit—dan mendengarkan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
***
Pada akhirnya, Avatar: Fire and Ash berbicara tentang wellness sebagai keberanian untuk hadir bersama luka. Tentang memilih tetap lembut, meski dunia terasa terbakar. Tentang memahami bahwa duka bukan kegagalan spiritual, melainkan bahasa cinta yang belum menemukan jalannya pulang.
Dan mungkin, di antara abu dan api, kita diajak mengingat satu hal sederhana namun penting: merawat diri bukan berarti selalu kuat—kadang, ia berarti mengizinkan diri berduka sepenuhnya.