Sekala dan Niskala Su Ma

Puncak pengalaman andrawina (fine dining) adalah ketika ragam racikan yang disuguhkan mengundang sensasi pancaindera dan mendulang refleksi nalar. Su Ma, dengan sekala sajiannya, mengubah niskala sudut pandang saya.

Saya terlambat datang ke acara saya siang itu. Keriuhan Blok M tidak membantu. Pun, ketika saya tergopoh-gopoh keluar dari mobil, bangunan putih polos menyambut dengan hawa lega nan lapamg. Meniti tangga, resepsionis telah menanti saya dan dengan segera mengantarkan ke ruangan berlapis panel kayu polos. Instalasi batu dan pasir, bak bonsai taman-taman karensasui biksu-biksu zen, seakan ingin mengingatkan: ini adalah ruang tenang.

Rangkaian Wonderful Indonesia Gourmet siang itu dijamu oleh Chef Rachel Tjahja dari Su Ma. Geometri arsitektural dari bidang-bidang batu putih, berpadu dengan hangat organik dinding-dinding kayu. Dalam ruang makan yang intim, Chef Rachel Tjahja menyambut, sembari mengorkestrasi koreografi brigade dapur.

Advertisement

Sekala: Menyambut cita rasa baru Su Ma

Menu yang disajikan siang itu adalah babak terakhir dari Volume 4. Selama beberapa waktu, Chef Rachel telah menggali ulang pitarah keluarganya. Kedekatan baru terhadap warisan Tiomgkok-nya membuat Chef Rachel memutuskan untuk lebih berani menggulawentah resep-resep Tiongkok dalam andrawina Su Ma.

“Kami terinspirasi dari banyak hal yang sudah terjadi berdasarkan identitas kami dan perjalanan yang kami lakukan,” jelas Chef Rachel. “Kami menelusuri yang lama dalam bentuk-bentuk baru. Chef Ryan dan saya lebih mengolah akar kami; saya sebagai Tionghoa Indonesia, Chef Ryan sebagai seorang Korea. Di volume sebelumnya, kami masih meraba akan hal-hal yang berkeja dan tidak. Tetapi, di Volume 5, kami lebih percaya diri dengan warisan kami.”

Ketika saya tiba, amuse-bouche baru saja selesai disantap. Sì hai, demikian namanya, adalah empat kudapan yang menggambarkan empat lautan dalam Bahasa Mandarin. Keripik dari tapioca pearl dengan potongan daging tenderloin, kroket dengan notasi asam dan manis, sable dengan selai manis, serta kudapan dari bihun berlapis ikan asam-manis, terinspirasi dari restoran XOPP dari masa Chef Rachel di Sidney dahulu. Amuse-bouche ini menegaskan arah sajian selanjutnya.

“Saya meyakini pengalaman bersantap yang didasarkan kepada ingatan.” Demikian Chef Rachel menegaskan dalam perbicangan kami.

Lantas datang satu wadah penuh telur dengan petuah Tiongkok di permukaannya. Golden egg—semangkuk kecil telur, dibungkus jeli basil dan kedelai, dengan sepucuk kaviar oscietra terselip di antaranya. Saya menyendok dengan bon china cantik—dan terkejut karena kuning telurnya adalah selai jeruk yang legit. Mengejutkan dengan indah.

Kemudian datanglah daikon. Iris-irisan lobak dimasak pelan, lantas dipoles dalam renyah karamel, sebelum dimahkotai lapis-lapis asam. Ia berkubang dalam kuah jingga miso dan safron yang pekat. Ketika saya menyuap kuah ini, saya bergumam kepada diri saya sendiri: bubur bayi. Hadi Ismanto, Direktur Kreatif Su Ma yang duduk di seberang saya, tergelak ketika saya mengomentari hal ini. “Kamu masih ingat rasa makanan yang kamu makan saat bayi?” ia bertanya. Saya ikut tertawa. Bukan bahwa saya ingat memori tiga dekade silam, akan tetapi cita rasa yang begitu nostalgis dalam prasaja rasanya begitu nyaman dan menenteramkan…

Secara kebetulan, alergi moluska saya justru membuat saya bisa mengintip Volume 5 Su Ma. Sup rebus ganda diganti karena kandungan baharinya. Menariknya, di tengah mangkuk-mangkuk gerabah, sebulir buah pir Asia berbalut kain dihantarkan ke meja saya. Bagian atasnya diiris dan dicap dengan logo Su Ma. Ketika saya buka, uap kaldu segar segera membuncah. Saya bukan seorang soup-person, pun sesuap saja dan saya terpukau. Sup kaldu bening ini terasa sangat ringan, nun kaya akan cita rasa.

Niskala: Warisan ingatan dalam suapan

Sepanjang wawancara, saya dapat melihat Chef Rachel berseri, matanya berbinar dengan tulus. Yang ia ceritakan adalah sebuah kejujuran yang legawa; penuh penerimaan akan revelasi yang diangkat, dan menemukan keyakinan dalam kebenarannya.

“Beberapa waktu terakhir saya menggali lebih dalam akar saya,” tutur Chef Rachel. “Sebelum Su Ma, saya memiliki ide dengan leluhur saya. Pun, dengan ini, saya mau tidak mau, untuk memahami akar saya dan meracik sajian yang lebih baik, saya menelaah lebih jauh asal pitarah saya, adat dan resepnya; sehingga akan ada banyak bahan yang jarang ditemukan di Indonesia.

“Misalnya, akan ada sejenis pasta asli Tiongkok. Kita akan luncurkan menu namanya cat’s ears karena bentuknya menyerupai telinga kucing, dan lipatan di dalamnya adalah tempat semua rasa menempel…”

Memasuki entrée, pertama-tama sajian ikan. Dou dari ikan bass dan kuah sochu membuka dengan lembut daging putih ikan, berbalut gurih kuah, berhias asam acar sayuran. Lantas, beef wellington—menariknya terinfusi cita rasa Tiongkok yang kental. Saya rasa untuk entrée, hidangan ini pas menjadi primadona. Kulit pastri yang membungkus dengan renyah dan buttery, berpadu dengan rempah-rempah lapsang souchong yang khas.

Sebagai pembersih mulut, bird’s nest alias sarang burung walet diubah dalam bentuk minuman dan wafer meringue ringan. Notasi teh osmanthus berpadu dengan cita rasa bergamot dan vanila—wangi, aromatik, dan floral.

Penutup paripurna hadir melalui buckwheat. Es krim dengan cita rasa susu yang kental disandingkan dengan selapis crepes dari buckwheat. Garam laut memberikan rasa gurih nan subtil. Kudapan ini tidak berusaha berlebihan untuk memukau lidah. Justru, ia hadir dengan apa adanya, percaya diri akan cita rasa yang ia dulang. Sekali lagi, prasaja, pun memesona dalam ketegasannya.

“Saya rasa ada batas yang membuat terlalu bereksperimen jadi susah diterima,” ujar Chef Rachel. “Pun ada kecantikan ketika kita bisa meleburkan eksperimentasi dengan kenyamanan… Itu yang berusaha kami racik: kesetimbangan.”

Menikmati santap siang di Su Ma, saya rasa benar bahwa Chef Rachel telah menemukan kepercayaan diri akan racikan pitarahnya. Unapologetic: ia tidak meminta izin untuk sepenuhnya meleburkan diri dalam buai sedap Tiongkok. Chef Rachel hanya hadir dengan cita rasa yang ia kenali sedari dini dan tumbuh bersamanya. Pun, dengan kejujuran inilah Su Ma tidak hanya mengundang decak lidah, tetapi juga mengubah sudut pandang. Saya, misalnya, pulang sambil bergumam senang: mungkin saya sebenarnya seorang pecinta sup…

Previous Post

Menyatukan Tubuh dan Pikiran dengan Floating Yoga & Pilates

Next Post

Rina Renville: Desainer Interior sebagai Agen Perubahan

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.