Opini: Bahasa Indonesia, Riwayatmu Kini
Di era globalisasi, berwawasan internasional dan menguasai bahasa asing itu wajib hukumnya. Namun haruskah melupakan atau mengesampingkan bahasa ibu?
10 Sep 2019


 

Di suatu arisan di hotel berbintang, seorang ibu berparas sangat Indonesia membanggakan putranya “Baru umur tujuh tahun, he speaks perfect English and Mandarin fluently. Although literally bahasa Indonya ngaco, ha ha. But, so what?“ ujarnya dengan bahasa campur aduk sambil menatap meja sebelah tempat anak-anak peserta arisan duduk bosan bermodalkan ponsel menunggu ibu-ibunya.
 

The kiddy table. Anak-anak yang tengah menghibur diri dengan menonton Youtube. Ada yang melihat Azzyland, Guava Juice, Reaction Time, atau videoklip BTS. Tidak ada komunikasi sedikitpun, kecuali ketika pelayan restoran datang.
 

“Ada yang mau dipesan?” tanya si mbak pelayan ramah.
 

Do you make a rainbow slushie?” ujar seorang anak dengan paras Jawa  dengan logat Amerika kental yang disambut tatapan bingung si mbak yang kosakata Inggrisnya sangat terbatas.
 

Anak yang satu lagi berusaha membantu temannya, menjelaskan dengan bahasa Indonesia patah-patah dengan aksen kebule-bulean mirip logat salah seorang aktris blasteran.
 

Ini adalah cerita yang kerap terjadi pada anak-anak yang sekolah di sekolah internasional atau national plus. Bahasa Inggis dijadikan sebagai bahasa pengantar di rumah maupun sekolah. Komunikasi bahasa Indonesia dilakukan minim, hanya sekadar untuk bicara dengan asisten rumah tangga atau pelayan restoran. Hm, tampaknya di perspektif ibu-ibu seperti ini bahasa Indonesia itu seperti kuno, tidak level dengan kehidupan mereka, dan tidak membanggakan. Miris banget, bahasa Indonesia yang merupakan identitas dan jati diri bangsa, justru direndahkan oleh pemiliknya sendiri.
 

Penampakan Indonesia tapi, kok, tidak fasih berbahasa Indonesia? Jadi agak malu mengingat bagian ketiga Sumpah Pemuda. “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
 

Padahal kalau putra-putri Anda gagap berbahasa Indonesia, kesalahan terbesar ada di pundak orang tuanya. Aksen kebule-bulean bisa menempel, karena tidak pernah dikoreksi. Tidak fasih berbicara bahasa Indonesia, mungkin karena jarang dipraktekkan di rumah. Entah karena orang tuanya cuek, malas atau alasan kebablasan yang menganggap berbau Barat itu lebih keren.
 

Merasa tersentil? Kami pun. Tapi tidak ada istilah terlambat. Tidak perlu juga lantas mencarikan putra-putri Anda guru les untuk kursus bahasa Indonesia. Sebenarnya asal orang tua konsisten mempraktekkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kebiasaan ini akan ditiru putra-putri Anda dengan cepat. Pasalnya, area otak yang mengatur kemampuan bahasa, perkembangannya paling ‘juara’ saat anak usia 6-13 tahun. Teknik lainnya, dengan membelikan buku-buku dalam bahasa Indonesia dan mengajak anak menonton film Indonesia.
 

Berwawasan internasional dan menguasai bahasa asing itu memang wajib di era globalisasi seperti sekarang, tapi bukan berarti melupakan atau mengesampingkan bahasa ibu. Jangan sampai bahasa ibu lama-lama punah, tergerus peradaban, kalau orang Indonesia sendiri lebih bangga menggunakan bahasa asing.
 

Ada satu lagi fenomena berbahasa yang naik daun kurang lebih satu dekade terakhir. Istilah gurauannya ‘Anak Jaksel’, yakni kebiasaan generasi muda terutama milenial berkomunikasi dengan campuran bahasa Indonesia dan Inggris. “Gue literally sungguhan offended sih dengan joke anak Jaksel ngomong mixed,” atau “Basically, gue choose yang biru even kekecilan sedikit. Worth it soalnya.” Gado-gado maksimal cyin, bikin pening! Menurut Ivan Lanin, wikipediawan dan penulis buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?, bahasa anak Jaksel kebanyakan digunakan untuk gaya-gayaan, seperti menunjukkan dia itu keren atau intelek. Namun, ada juga yang karena pernah menuntut ilmu atau kuliah di luar negeri sehingga terbiasa menggunakan bahasa Inggris karena kebiasaan.
 

Kalau sesekali boleh lah menggunakan bahasa asing, terutama untuk kiasan atau analogi yang sulit dicarikan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Tapi jangan campur aduk keluar masuk karena kesan yang ditampilkan malah downgrade, tidak menguasai baik bahasa Indonesia maupun Inggris. Cobalah kalau satu kalimat menggunakan bahasa Inggris, ya bahasa Inggris saja. Kalau bahasa Indonesia, ya sebaliknya.
 

Yuk, tantang diri sendiri. Dimulai dari satu jam hingga satu hari penuh menggunakan hanya bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalau ada niat, pasti bisa. Kalau bukan kita yang melestarikan bahasa Indonesia, siapa lagi? (Joanita Roesma dan Nadia Mulya)
 

 


Topic

Opini

Author

DEWI INDONESIA