Langkah Yosep Anggi Noen Menciptakan Layar Kontemplasi
Ia membuka sepatu lalu menyelonjorkan kaki dan menyandarkan punggung di sebuah kursi besi. “Saya ingin relaks,” tutur Yosep Anggi Noen. Siang itu begitu terik. Yosep baru selesai mengajar. Kami berbincang di sebuah food court tak beratap yang berjarak beberapa langkah dari kampus tempatnya mengajar. Lima tahun terakhir pria ini bekerja sebagai dosen jurusan film di salah satu universitas swasta di Serpong, Tangerang, Banten. “Kita masih perlu mahasiswa yang mampu berpikir kritis. Industri film zaman sekarang menciptakan pekerja bukan pemikir. Kemudahan teknologi yang memungkinkan orang mempelajari cara membuat film dari You Tube membuat mereka lupa bahwa film itu harus ‘diisi’ dan dibuat dengan pencapaian artistik yang eksploratif. Perlu berpikir berani dan liar,” katanya.
Dulu almarhum ayah Yosep pernah berkata hal senada. Sempat terjadi ketegangan di antara mereka ketika Yosep berkeinginan keras untuk kuliah jurusan film di Institut Kesenian Jakarta. Sang ayah tidak merestui dan berkata padanya, “Tidak perlu kuliah film untuk bisa membuat film. Hal yang sulit ialah mengisi film. Dan hal itu bisa dilakukan saat mempelajari bidang lain.” Yosep menuruti perkataan ayah yang cukup masuk akal. Ia diterima di Universitas Gadjah Mada dan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Tetapi dalam perjalanannya Yosep cenderung mengesampingkan dunia pendidikan. Ia jarang masuk kelas dan kerap berseberangan pendapat dengan dosen. “Sebagian besar dari mereka tampak tertutup terhadap perkembangan ilmu. Membuat saya menjadi skeptis terhadap ilmu pendidikan.”
Masa kuliah ia manfaatkan dengan membuat film, menghadiri berbagai diskusi film, dan bergaul dengan para praktisi dan pecinta film. “Dari SMA saya telah membuat film. Di awal kuliah saya membuat film berjudul Ketemu Bapak. Kisahnya terinspirasi dari empat tetangga yang masuk penjara karena mencuri aliran listrik lantaran ingin mengadakan pesta dangdut. Keesokan harinya hujan turun, terjadi korslet yang menewaskan seorang warga. Mereka pun dipenjara. Saya mengambil gagasan penjara tersebut. Ketemu Bapak mengisahkan seorang ibu yang mengajak anaknya mengunjungi ayahnya di penjara. Bagi orang desa, pergi ke penjara berarti mengunjungi kota dan hal tersebut memunculkan euforia. Si anak tak mengerti tentang konsep penjara. Ia bahagia karena hendak pergi ke kota. Sementara si ibu pergi dengan perasaan yang begitu mendalam,” kenang Yosep.
Ia mengadakan pemutaran Ketemu Bapak dengan meminjam aula sekolah sebagai lokasi. Yosep membuat poster film dan menempelkannya di sejumlah kampus. Pemutaran berhasil menghadirkan seratusan penonton. Sebuah diskusi film yang menghadirkan pembicara dosen kampus turut diselenggarakan. Tak lama setelah itu sebuah LSM meminta Yosep membuat film dokumenter. Ia sangat menikmati setiap aktivitas yang dilakukan terkait dengan film. Ia senang saat terlibat dalam penyelenggaraan festival film Jogja Asian Film Festival bersama Garin Nugroho dan Ifa Isfansyah.
“Bagi saya film itu sakral.” Sulung dari tiga bersaudara ini bersemangat saat menceritakan tentang para tetangganya dulu yang kerap berjalan ke rumahnya di malam hari dengan berbekal sebuah senter demi bisa menonton televisi. “Ketika itu di desa hanya ayah saya yang punya televisi. Rumah kami ramai setiap hari. Mereka rela berjalan jauh untuk menyaksikan Oshin di TVRI. Pertemuan awal saya dengan film sudah terasa sinematik.”
Beranjak dewasa, Yosep merasa kegiatan menyaksikan film layaknya sebuah ritual. “Kita sengaja meluangkan waktu untuk datang ke bioskop. Memasuki ruang gelap, duduk, lampu meredup, film mulai ditayangkan di layar besar. Saat menyaksikannya, saya berupaya mengidentikkan diri dengan tokoh yang ada di layar. Adakah peran saya di kehidupan ini yang tercermin pada layar.”
Di mata Yosep dunia kini telah terasa begitu riuh sehingga nyaris tak ada ruang untuk bercermin dan melihat diri lebih dalam, “Terlalu banyak distraksi. Film sanggup menjawab kekurangan tersebut.”
Ia banyak mendapat penghargaan setelah film terbarunya Istirahatlah Kata-Kata ditayangkan. Film fiksi yang terinspirasi dari kisah aktivis dan penyair Wiji Thukul ini meraih sekitar 51.000 penonton di Indonesia. Jumlah yang cukup besar untuk karya independen. Belum lama ini Yosep mendapat penghargaan dari Bangkok ASEAN Film Festival. Istirahatlah Kata-Kata ia ciptakan untuk generasi milenial yang belum familiar dengan Thukul. Sebagian menanggap film ini mengundang kantuk. Sebagian lagi merasa film itu mampu menggugah emosi melalui kekuatan gambar dan kata-kata yang minim. Ada yang protes mengapa perjuangan Thukul sebagai aktivis tidak ditampilkan. Yosep memang memilih untuk menampilkan sisi humanis Thukul yang ia kemas secara puitis. Istirahatlah Kata-Kata menyiratkan rangkaian gestur yang mampu bicara tentang relasi kekuasaan.
Anggapan lain berkata bahwa film tersebut terasa lamban. “Untuk memancing renungan pada kejadian yang lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari, saya memang menggunakan durasi yang lama. Kita tidak bisa terburu-buru untuk mengajak penonton berpikir tentang hal yang mereka lewatkan dari kejadian sehari-hari. Keseharian memiliki nilai mendalam ketika kita menceritakannya dengan jukstaposisi yang tepat. Saya yakin peristiwa yang biasa sebenarnya memiliki makna yang luar biasa. Sayangnya di sana kerap tersimpan ketidakacuhan kita,” tuturnya.
Layar kaca ialah medium kontemplasi di mana ia selalu ingin memajang kompleksitas manusia. “Taruhlah kita bicara tentang seseorang yang selingkuh. Penyebabnya tidak hanya karena seks. Ada pula faktor sosial, ekonomi, pengakutan, dan relaksasi. Itu juga ada di film pertama saya Vakansi Yang Janggal. Tidak ada benar atau salah. Kita tidak bisa bilang seseorang mencuri karena dia jahat. Jika ditelusuri, bisa saja masalah hidupnya lebih rumit dari kita.”
Pertemuan kami terjadi beberapa hari setelah ia kembali dari Aceh dalam rangka riset pembuatan film dokumenter tentang Perdamaian di Aceh dari sudut pandang Inong Bale. Hal yang paling membekas justru kejadian di warung kopi saat ia memesan segelas air dingin. “Di sana orang menyebut air es itu es kosong. Ternyata di Aceh kata kosong pun digunakan untuk merujuk sesuatu yang punya isi. Saya langsung teringat biksu di tayangan silat Kera Sakti yang suka mengatakan bahwa kosong adalah isi. Menarik sekali,”
Pikirannya mudah menjelajah ke berbagai hal. Terkadang kawan-kawan Yosep menganggapnya aneh. Ia tak peduli, “Saya selalu ingin memahami kultur dan melihat sesuatu secara mendalam.” Caranya bisa jadi tak biasa. Ketika memegang koran, hal yang menarik perhatian ialah iklan penjualan batu nisan. Ke manapun ia pergi, selalu tersimpan sebuah catatan kecil di dalam tas untuk mencatat ide yang kerap muncul tiba-tiba. “Ya mungkin kita menemukan hal baru yang kurang dianggap penting tetapi saat dibingkai dalam ranah seni hal itu mampu menjadi perhatian. Sanggup menjadi hal yang reflektif dan mendalam,” ujarnya.
Di catatan itu tersimpan sketsa-sketsa tempat yang ia kunjungi. Terkadang ia bubuhkan dengan kata-kata yang nampak seperti potongan puisi. Akun Instagram Yosep terlihat bagai buku harian visual yang berisi hal-hal menarik dari kehidupan sehari-hari manusia dan ruang hidup. Terkesan sederhana tapi mengena. Seperti filmnya.
Dalam sebuah jeda perbincangan kami, ia teringat ibu yang menurutnya punya keinginan sederhana, agar Yosep menjadi seorang guru Bahasa Inggris. “Keinginan fatalis sekaligus visioner. Mungkin Ibu ingin hidup saya mudah dan terjamin tetapi di sisi lain membatasi kesuksesan orang dengan profesi guru,” tuturnya.
Yosep terlanjur hanyut dalam perfilman. Kekasihnya, Ima, juga pembuat film dokumenter di samping peneliti dan pendiri Yayasan Kampung Halaman. Bersama Ima, ia suka memperbincangkan tentang anak muda, “Karena remaja adalah titik perubahan seseorang menjadi manusia yang sesungguhnya.”
Kami berjalan kembali menuju area kampus. Melewati kerumunan mahasiswa. Yosep berkata almamaternya meminta ia untuk membantu merancang kurikulum baru. “Ketika saya memperjuangkan mahasiswa agar bisa menjadi pemikir, mereka justru meminta agar lulusan baru cepat bisa terserap industri film. Membingungkan,” tuturnya. Setidaknya melalui karyanya Yosep telah memberi contoh pada para murid tentang sebuah pencapaian arsitektur yang eksploratif. (JAR) Foto: dok. Adhitya Wisnu. Lokasi: Paviliun28.
Dulu almarhum ayah Yosep pernah berkata hal senada. Sempat terjadi ketegangan di antara mereka ketika Yosep berkeinginan keras untuk kuliah jurusan film di Institut Kesenian Jakarta. Sang ayah tidak merestui dan berkata padanya, “Tidak perlu kuliah film untuk bisa membuat film. Hal yang sulit ialah mengisi film. Dan hal itu bisa dilakukan saat mempelajari bidang lain.” Yosep menuruti perkataan ayah yang cukup masuk akal. Ia diterima di Universitas Gadjah Mada dan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi.
Tetapi dalam perjalanannya Yosep cenderung mengesampingkan dunia pendidikan. Ia jarang masuk kelas dan kerap berseberangan pendapat dengan dosen. “Sebagian besar dari mereka tampak tertutup terhadap perkembangan ilmu. Membuat saya menjadi skeptis terhadap ilmu pendidikan.”
Masa kuliah ia manfaatkan dengan membuat film, menghadiri berbagai diskusi film, dan bergaul dengan para praktisi dan pecinta film. “Dari SMA saya telah membuat film. Di awal kuliah saya membuat film berjudul Ketemu Bapak. Kisahnya terinspirasi dari empat tetangga yang masuk penjara karena mencuri aliran listrik lantaran ingin mengadakan pesta dangdut. Keesokan harinya hujan turun, terjadi korslet yang menewaskan seorang warga. Mereka pun dipenjara. Saya mengambil gagasan penjara tersebut. Ketemu Bapak mengisahkan seorang ibu yang mengajak anaknya mengunjungi ayahnya di penjara. Bagi orang desa, pergi ke penjara berarti mengunjungi kota dan hal tersebut memunculkan euforia. Si anak tak mengerti tentang konsep penjara. Ia bahagia karena hendak pergi ke kota. Sementara si ibu pergi dengan perasaan yang begitu mendalam,” kenang Yosep.
Ia mengadakan pemutaran Ketemu Bapak dengan meminjam aula sekolah sebagai lokasi. Yosep membuat poster film dan menempelkannya di sejumlah kampus. Pemutaran berhasil menghadirkan seratusan penonton. Sebuah diskusi film yang menghadirkan pembicara dosen kampus turut diselenggarakan. Tak lama setelah itu sebuah LSM meminta Yosep membuat film dokumenter. Ia sangat menikmati setiap aktivitas yang dilakukan terkait dengan film. Ia senang saat terlibat dalam penyelenggaraan festival film Jogja Asian Film Festival bersama Garin Nugroho dan Ifa Isfansyah.
“Bagi saya film itu sakral.” Sulung dari tiga bersaudara ini bersemangat saat menceritakan tentang para tetangganya dulu yang kerap berjalan ke rumahnya di malam hari dengan berbekal sebuah senter demi bisa menonton televisi. “Ketika itu di desa hanya ayah saya yang punya televisi. Rumah kami ramai setiap hari. Mereka rela berjalan jauh untuk menyaksikan Oshin di TVRI. Pertemuan awal saya dengan film sudah terasa sinematik.”
Beranjak dewasa, Yosep merasa kegiatan menyaksikan film layaknya sebuah ritual. “Kita sengaja meluangkan waktu untuk datang ke bioskop. Memasuki ruang gelap, duduk, lampu meredup, film mulai ditayangkan di layar besar. Saat menyaksikannya, saya berupaya mengidentikkan diri dengan tokoh yang ada di layar. Adakah peran saya di kehidupan ini yang tercermin pada layar.”
Di mata Yosep dunia kini telah terasa begitu riuh sehingga nyaris tak ada ruang untuk bercermin dan melihat diri lebih dalam, “Terlalu banyak distraksi. Film sanggup menjawab kekurangan tersebut.”
Ia banyak mendapat penghargaan setelah film terbarunya Istirahatlah Kata-Kata ditayangkan. Film fiksi yang terinspirasi dari kisah aktivis dan penyair Wiji Thukul ini meraih sekitar 51.000 penonton di Indonesia. Jumlah yang cukup besar untuk karya independen. Belum lama ini Yosep mendapat penghargaan dari Bangkok ASEAN Film Festival. Istirahatlah Kata-Kata ia ciptakan untuk generasi milenial yang belum familiar dengan Thukul. Sebagian menanggap film ini mengundang kantuk. Sebagian lagi merasa film itu mampu menggugah emosi melalui kekuatan gambar dan kata-kata yang minim. Ada yang protes mengapa perjuangan Thukul sebagai aktivis tidak ditampilkan. Yosep memang memilih untuk menampilkan sisi humanis Thukul yang ia kemas secara puitis. Istirahatlah Kata-Kata menyiratkan rangkaian gestur yang mampu bicara tentang relasi kekuasaan.
Anggapan lain berkata bahwa film tersebut terasa lamban. “Untuk memancing renungan pada kejadian yang lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari, saya memang menggunakan durasi yang lama. Kita tidak bisa terburu-buru untuk mengajak penonton berpikir tentang hal yang mereka lewatkan dari kejadian sehari-hari. Keseharian memiliki nilai mendalam ketika kita menceritakannya dengan jukstaposisi yang tepat. Saya yakin peristiwa yang biasa sebenarnya memiliki makna yang luar biasa. Sayangnya di sana kerap tersimpan ketidakacuhan kita,” tuturnya.
Layar kaca ialah medium kontemplasi di mana ia selalu ingin memajang kompleksitas manusia. “Taruhlah kita bicara tentang seseorang yang selingkuh. Penyebabnya tidak hanya karena seks. Ada pula faktor sosial, ekonomi, pengakutan, dan relaksasi. Itu juga ada di film pertama saya Vakansi Yang Janggal. Tidak ada benar atau salah. Kita tidak bisa bilang seseorang mencuri karena dia jahat. Jika ditelusuri, bisa saja masalah hidupnya lebih rumit dari kita.”
Pertemuan kami terjadi beberapa hari setelah ia kembali dari Aceh dalam rangka riset pembuatan film dokumenter tentang Perdamaian di Aceh dari sudut pandang Inong Bale. Hal yang paling membekas justru kejadian di warung kopi saat ia memesan segelas air dingin. “Di sana orang menyebut air es itu es kosong. Ternyata di Aceh kata kosong pun digunakan untuk merujuk sesuatu yang punya isi. Saya langsung teringat biksu di tayangan silat Kera Sakti yang suka mengatakan bahwa kosong adalah isi. Menarik sekali,”
Pikirannya mudah menjelajah ke berbagai hal. Terkadang kawan-kawan Yosep menganggapnya aneh. Ia tak peduli, “Saya selalu ingin memahami kultur dan melihat sesuatu secara mendalam.” Caranya bisa jadi tak biasa. Ketika memegang koran, hal yang menarik perhatian ialah iklan penjualan batu nisan. Ke manapun ia pergi, selalu tersimpan sebuah catatan kecil di dalam tas untuk mencatat ide yang kerap muncul tiba-tiba. “Ya mungkin kita menemukan hal baru yang kurang dianggap penting tetapi saat dibingkai dalam ranah seni hal itu mampu menjadi perhatian. Sanggup menjadi hal yang reflektif dan mendalam,” ujarnya.
Di catatan itu tersimpan sketsa-sketsa tempat yang ia kunjungi. Terkadang ia bubuhkan dengan kata-kata yang nampak seperti potongan puisi. Akun Instagram Yosep terlihat bagai buku harian visual yang berisi hal-hal menarik dari kehidupan sehari-hari manusia dan ruang hidup. Terkesan sederhana tapi mengena. Seperti filmnya.
Dalam sebuah jeda perbincangan kami, ia teringat ibu yang menurutnya punya keinginan sederhana, agar Yosep menjadi seorang guru Bahasa Inggris. “Keinginan fatalis sekaligus visioner. Mungkin Ibu ingin hidup saya mudah dan terjamin tetapi di sisi lain membatasi kesuksesan orang dengan profesi guru,” tuturnya.
Yosep terlanjur hanyut dalam perfilman. Kekasihnya, Ima, juga pembuat film dokumenter di samping peneliti dan pendiri Yayasan Kampung Halaman. Bersama Ima, ia suka memperbincangkan tentang anak muda, “Karena remaja adalah titik perubahan seseorang menjadi manusia yang sesungguhnya.”
Kami berjalan kembali menuju area kampus. Melewati kerumunan mahasiswa. Yosep berkata almamaternya meminta ia untuk membantu merancang kurikulum baru. “Ketika saya memperjuangkan mahasiswa agar bisa menjadi pemikir, mereka justru meminta agar lulusan baru cepat bisa terserap industri film. Membingungkan,” tuturnya. Setidaknya melalui karyanya Yosep telah memberi contoh pada para murid tentang sebuah pencapaian arsitektur yang eksploratif. (JAR) Foto: dok. Adhitya Wisnu. Lokasi: Paviliun28.