Melawan Jargon "Sustainability"
Selayaknya dalam fashion, begitu pun ada tren dalam hal wacana. Dan dua tahun belakangan ini, apalah yang lebih trendi selain menjadi pahlawan lingkungan yang mengusung gaya hidup “sustainable”?
9 Jun 2020



Membangun Solidaritas Publik
Sebetulnya sikap pemerintah yang masih nampak setengah hati mewujudkan sistem yang berkesinambungan adalah karena isunya yang belum populis. Dan ini berkaitan erat dengan pembahasan wacananya yang amat bias kelas, membuat isu keberlangsungan hajat hidup ini seakan sesuatu yang ndaki-ndaki. Isu high brow. Padahal sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Salah satu sebabnya adalah penggunaan bahasa. Sering kali, para aktivis lingkungan hidup ini menggunakan bahasa yang terlalu text book dalam wacana besarnya, seperti istilah “sustainable” itu sendiri. Atau tujuan akhir zero net carbon emission. Atau zero waste. Akan tetapi kemudian lupa membumikan wacana abstrak tentang keberlangsungan hajat hidup tadi dengan, well, hajat hidup masyarakat kebanyakan untuk menjadikannya isu yang populis. Misalnya dengan menggaungkan persoalan banjir Jakarta yang semakin parah, sembari pelan-pelan memberikan edukasi akan keterkaitannya dengan krisis iklim. Begitu pula dengan isu kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan tempo hari. Kedua isu itu cukup berhasil menarik perhatian publik akan wacana krisis iklim dan keberlangsungan hajat hidup. Sebabnya, tak lain dan tak bukan karena masyarakat kebanyakan bisa langsung menangkap urgensi isu tersebut bagi kehidupan mereka. Bukan sekadar wacana abstrak nan utopis.

Menurut Andhyta, menerjemahkan wacana-wacana abstrak tentang keberlangsungan hajat hidup masyarakat kepada masyarakat menjadi amat penting untuk membangun solidaritas publik tadi. “Kalau mau benar-benar mengoreksi, mereka [para pegiat lingkungan] mestinya menghadapkan corongnya bukan ke pemerintah dulu, tapi ke rakyatnya dulu.” Alasannya sederhana, politisi punya insentif lima tahunan kepada pemilihnya di daerah konstituen mereka. Jadi strateginya adalah untuk menjadikan isu keberlangsungan hajat hidup ini sebagai isu yang cukup populis sehingga suka tak suka, harus dilirik para politisi.

Saya jadi teringat menemukan sebuah meme di linimasa media sosial saya. Meme itu menunjukkan gambar penjual jajanan pinggir jalan yang menjajakan Toppoki, camilan asal Korea Selatan yang oleh si penjaja dideskripsikan sebagai “Oseng Lontong Sayur Ala Korea.” Sekonyol apapun kelihatannya, senorak apapun terjemahannya, harus diakui si abang penjual makanan tadi berhasil membuka imajinasi dan memberi pemahaman kepada sebagian pembelinya yang mungkin masih awam, tentang apa itu Toppoki. Melihat itu, saya jadi terpikir semestinya para pegiat lingkungan hidup kita pun punya level artikulasi isu yang serupa si penjaja Toppoki. Itu tentunya jika kita memang serius hendak mewujudkan sistem baru yang berkesinambungan dan bukan sekadar ikut serta dalam tren wacana terkini. (Shuliya Ratanavara)


 

 


Topic

Culture

Author

DEWI INDONESIA