Opini: Memahami Kartini
Joy Roesma dan Nadya Mulya berkisah tentang pemahaman mereka akan sosok emansipasi wanita, Kartini.
30 Apr 2019




Membaca tulisan “Kartini, Nasionalis yang Terlupakan” yang ditulis oleh Devi Maharani, chief editor situs isu perempuan dan feminisme, Magdalene.co, kami berdua merasa tersentil. Di matanya, merayakan hari Kartini, dengan siswi dan pegawai perempuan berdandan cantik mengenakan kebaya dan konde Kartini, adalah hal absurd. “Pengamatan Kartini yang kritis, cita-citanya memberdayakan perempuan, kritik-kritik tajamnya untuk hal-hal yang membatasi perempuan pada masanya, dan bahkan tulisan imagined community, yakni kaum Jawa memiliki arti dan kehendak sendiri, yang artinya ia sudah memiliki konsep integritas suatu bangsa, kok hanya diapresiasi sekitar urusan penampilan. Kartini itu bukan hanya ibu emansipasi dan intelektual Indonesia, ia juga tokoh nasionalisme,” serunya tajam.

 Duh, ternyata pemahaman kami berdua mengenai sosok emansipasi perempuan tersebut sangatlah dangkal. Sekedar hafalan di pelajaran PSPB untuk meraih nilai bagus saat ulangan, tanpa memaknai. Yang hafal mati sosok emansipasi wanita yang hobi membaca buku dan menulis surat pada sekumpulan orang Eropa yang kemudian dibukukan dengan judul (antara lain) “Habis Gelap Terbit lah Terang”. Meski berwawasan maju, toh akhirnya Kartini mau dipoligami menjadi istri keempat bupati, dengan catatan ia diperbolehkan membuka sekolah dasar perempuan di Rembang. Karena besar jasanya untuk perempuan Indonesia, WR Supratman sampai membuat lagu untuknya. Titik!  Fast forward ke zaman now, pemahaman di generasi muda lebih memprihatinkan. Sekali setahun memposting foto berpose cantik dengan kebaya, dilengkapi salah satu dari sekian banyak kutipannya yang feminis progresif dengan permainan diksi yang asyik. Kalau bukan karena layar lebar Kartini versi Dian Sastrowardoyo, bisa jadi perempuan generation Z (dan Alpha) tidak mendapatkan referensi visual mengenai betapa terkungkungnya kaum perempuan oleh pendapat kolot dan adat usang, pada saat itu.

Ah Ibu Kartini, kira-kira apa pendapatnya bila melihat perjuangannya demi kesempatan pendidikan justru di-take for granted oleh kami yang terdidik?

Besar di pendidikan zaman Orde Baru, kami hanya tahu judul nama buku Kartini, tanpa sekalipun “membedah” jeritan hati dan kritik tajam yang disuarakan di surat-suratnya. Menggadang-gadangkan sejarah, kami justru luput akan esensi dan ide-ide brilyan di kepalanya. Kami nrimo tanpa merasa perlu mempertanyakan rutinitas setiap tanggal 21 April; dari saat kecil didandani ibu dengan kebaya mini sewaan dan panggil salon di pagi buta untuk sanggul rambut.

Menurut Devi, kurangnya pemahaman akan esensi dan ide-ide brilyan Kartini di publik adalah warisan jaman orde baru. “Pemikiran kritis Kartini dan ide-idenya yang mendobrak terutama perihal nasionalisme dan feminisme justru seperti ditutup-tutupi. Yang justru diangkat untuk disosialisasikan adalah sosok keibuannya yang patuh dan menjalankan tugas-tugas domestiknya,“ ujar Devi  serius. Memang zaman orde baru tak menghendaki perempuan kritis dan lantang bersuara. No wonder imej yang terekam dan berkembang di publik adalah potret Kartini berkebaya dan berkonde Jawa. Dimana jasanya dirayakan dengan mengikuti jejak gaya busananya tapi mirisnya pemikirannya justru ditelantarkan.

Meski bisa menyalahkan kesalahanpahaman kami akan Kartini karena “doktrin” Orde Baru, tapi kalau mau jujur sebenarnya itu bukan alasan. Bayangkan Kartini, dengan situasi dipingit dan minim informasi dan akses untuk berkembang, ia tetap bisa kritis dan bisa menghasilkan pemikiran kesetaraan gender dan nasionalisme, yang bisa dibilang beberapa langkah ke depan di zamannya dan dituangkan di surat-suratnya.  Sementara kami yang bebas dan hidup di era informasi teknologi justru lengah. Hal ini juga disetujui Devi. “Peran Kartini sebagai pengamat yang menuliskan pengamatannya dengan sangat kritis, ini harus disosialisasikan. Ini patut dicontoh. Sebagai wanita, kita jangan hanya nrimo dan cepat puas. Cari tahu lebih banyak dan analisa lah segala sesuatu.”

Jadi sebaiknya, apa yang perlu dilakukan untuk mengapresiasi Kartini, dan merayakan perjuangannya setiap tahun, daripada sekadar adu cantik berbusana kebaya? Menurut Devi, sebaiknya dirayakan dengan menonjolkan perempuan sebagai sosok berdaya. Seperti perempuan ada di berbagai aspek kehidupan dan pekerjaan. “Atau menonjolkan hobi atau spesialisasinya dirinya. Kartini itu pelahap buku dan penulis esai. Lomba menulis, lomba debat atau kompetisi coding, menurut saya lebih cocok dan merepresentasikan Kartini daripada fashion show atau lomba kebaya,“ jawabnya panjang lebar. Kami setuju mbak Devi. Kami juga menginginkan agar para guru di sekolah tingkat dasar dan menengah tak hanya mendongengkan sejarah Kartini. Yang lebih penting, justru membedah isi surat-surat dan pemikirannya. Kami yakin, dengan lomba-lomba di atas dan metode belajar gaya baru ini, senyum bangga terkembang di bibir “ibu bangsa”  dalam keabadiannya. (Joy Roesma & Nadya Mulya) Foto: Dok. Film Kartini 

 

Author

DEWI INDONESIA