Pertunjukan Ratapan untuk Alam dari Garin Nugroho
Membawa tradisi Lament dari Indonesia Timur, pementasan Planet Sebuah Lament berkisah tentang alam dan kehidupan.
20 Jan 2020




Planet Sebuah Lament merupakan sebuah pementasan dalam bentuk ratapan alam karena keserakahan manusia karya Garin Nugroho.  Naskah yang dituliskan oleh Michael Kantor ini mengangkat isu lingkungan hidup. Perubahan iklim menjadikan banyaknya bencana alam di dunia dan Indonesia, dan membuat manusia mencari keselamatan untuk menemukan pangan dan energi yang diperebutkan terus menerus.

Planet Sebuah Lament merupakan sebuah renungan lewat lagu, ekpresi dan tari yang berkisah pasca tsunami, ketika manusia hanya disisakan sebuah telur sebagi simbol pangan dan energi. Sementara, plastik dan benda rongsokan tak terurai menjelma menjadi monster yang memburu energi. Sebuah pertarungan upaya keselamatan dan kebinatangan di tengah berbagai bencana alam di bumi.

 

“Perjalanan Planet Sebuah Lament terasa dipenuhi oleh peristiwa yang tidak terduga, antara lain tsunami Aceh, konflik berdarah di beberapa sudut negeri, kebakaran hutan di Riau, hingga peristiwa Paskah di Pulau Procida, Italia hingga Larantuka.  Bagi saya, semua itu adalah jalan lament, sebuah kisah mengalami kepedihan kemanusiaan untuk menemukan jalan cinta dan kebangkitan yang harus dihidupkan ketika dunia begitu keras dan vulgar,” ujar Garin Nugroho.


Pertunjukan yang menggabungkan teater, film, dance, dan lagu ini mengusung perpaduan budaya dari Indonesia Timur (Melanesia) yang begitu kaya dengan kekayaan tari dan lagu serta tema lingkungan. Garin Nugroho mengambil referensi tablo jalan salib yang ada di Larantuka, Flores Timur. Tiap babak dinarasikan melalui paduan suara dan lagu-lagu ratapan pada transisinya.

 


Koreografi direpresentasikan kolektif secara apik dan naratif oleh Joy Alpuerto Ritter, Otniel Tasman dan Boogie Papeda yang mengombinasikan elemen pergerakan tubuh dari tradisi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Papua. Gerakan ritmik dari para penari ini akan diiringi musik yang digarap oleh 3 komposer muda, yaitu Septina Layan, Taufik Adam, dan Nursalim Yadi Anugerah yang mengolah komposisi-komposisi untuk paduan suara dan menjadi kekuatan utama sebagai narasi.

Karya ini mengangkat lagu-lagu lament yang langka dan banyak hilang di wilayah Papua dan NTT, yakni ratapan duka bencana untuk kebangkitan  bersama , menjadi suara keselamatan alam Indonesia ke dunia. Properti yang digunakan sebagai narasi yang diproyesikan di telur raksasa di panggung. Telur raksasa ini disimbolisasikan sebagai sebuah kekuatan untuk menggabungkan imaji dan kata.

 


Pentas yang bekerja sama dengan tim dari berbagai negara ini ditampilkan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 17-18 Januari 2020. Selain itu, ini merupakan pertunjukan perdana sebelum dipentaskan di berbagai negara sekaligus karya pembuka dalam ASIA TOPA (Asia-Pacific Triennial of Performing Arts) pada Februari 2020 mendatang di Melbourne, Australia.(WHY) Foto: Dok. Image Dynamics


 

 

Author

DEWI INDONESIA