Sound of X: Memasang Telinga untuk Menjelajahi dan Mengenali Kembali Kota-Kota
Di tengah masa isolasi, pembatasan sosial, dan restriksi perjalanan yang ketat, Sound of X menawarkan cara yang unik untuk menjelajahi tempat-tempat berbeda.
24 Jun 2020




Pusat kebudayaan Jerman Goethe-Institut meluncurkan proyek digital Sound of X, sebuah inisiatif yang menyajikan video bunyi lingkungan (soundscape) yang diciptakan musisi dan seniman dari Asia Tenggara, termasuk dari Medan, Indonesia.
 
Dengan menggunakan bunyi, kebisingan, dan akustik sebagai dasar untuk melakukan penafsiran ulang terhadap kota, para musisi dan seniman mengeksplorasi lingkungan sonik masing-masing guna mengusulkan cara unik terhubung kembali dengan kota dan ruang yang kita diami, khususnya setelah ada pandemi COVID-19, yang telah memaksa orang-orang di seluruh dunia untuk mengisolasi diri.
 
Karya-karya video soundscape mereka bisa diakses dengan bebas di www.goethe.de/soundofx dan di kanal-kanal media sosial Goethe-Institut mulai 19 Juni 2020. Sound of X diprakarsai oleh Goethe-Institut sebagai proyek internasional dengan fokus Asia Tenggara, sebelum krisis virus corona merebak.
 
Sejumlah seniman dari berbagai kota di Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru menyajikan karya-karya yang meninjau latar bebunyian kota yang terabaikan dan bagaimana musikalitas kehidupan sehari-hari membeberkan kekhasan rajutan sosialnya. Di tengah masa isolasi, pembatasan sosial, dan restriksi perjalanan yang ketat, Sound of X menawarkan cara yang unik untuk menjelajahi tempat-tempat berbeda.
 
Musisi dan artis dari Medan, Singapura, Kuala Lumpur, Sydney, Manila dan kota-kota lain mengeksplorasi tentang apa itu kebisingan, bunyi, dan bagaimana orang dapat mendengarkan dengan cara berbeda.
 
Perspektif tidak lazim yang diusung oleh para seniman dan musisi ini kontras dengan hal-hal yang lazim diangkat dalam promosi pariwisata di media sosial.
 
“Budaya digital dan media sosial telah menimbulkan pergeseran ke ranah visual. Sering kali kita tidak dapat membangun hubungan yang sungguh-sungguh dengan apa yang ditampilkan. Pada saat budaya layar semakin menggerus kepekaan, para seniman Sound of X menyajikan pendekatan alternatif terhadap persepsi visual dan akustik.,” papar Han-Song Hiltmann, pimpinan proyek Sound of X sekaligus Kepala Goethe-Institut Singapura.
 
 
Medan: Kontras-kontras nostalgia
Perjalanan melintasi kota terbesar ketiga di Indonesia, Medan, akan meninggalkan satu kesan khususnya, yaitu kesan mengenai kota yang sedang tumbuh, serba heboh, dan beragam dalam hal suku, budaya dan agama.
 
Ciri khas Medan dapat ditemui dalam berbagai kontras yang ada: rumah besar yang berdampingan dengan pondok kayu yang sederhana; masjid yang berdampingan dengan gereja atau kuil; bersih dan kotor; bising dan tenteram; kaya dan miskin; gaya Asia dan gaya global; modern dan belum berkembang.
 
Karena itulah konsep untuk Sound of Medan yang disajikan dalam video soundscape berjudul “nostalgic contrast” (kontras-kontras nostalgia) adalah menangkap keberagaman yang melimpah dan membuat kontras-kontras itu dapat dipahami melalui ekspresi artistik dua seniman muda Medan, yaitu Rani Fitriana Jambak (desainer bunyi) dan Evi Ovtiana (pembuat film).
 
Karya itu diproduseri Matthias Jochmann (produser). Rani dan Evi mewakili generasi muda seniman Indonesia yang berupaya menggabungkan kontras dan kontradiksi seperti yang disinggung di atas, dan mengembangkan pendekatan artistik baru dalam rangka menemukan cara ekspresi khas mereka sendiri.
 
“Kami menyajikan Medan yang sesungguhnya. Terdapat banyak kontras yang kita lihat. Biasanya orang hanya melihat dengan sisi-sisi positif saja. Dalam proyek ini, kami punya kontras antara sisi positif dan sisi negatif, jadi teman-teman tidak hanya melihat sisi baiknya Medan saja. Di sini semua ada, kami sajikan kontrasnya kota Medan,” kata Evi.
 
Alam sebagai tempat merindu di Singapura
Kedua musisi yang tergabung dalam duet artistik NADA mengajak seniman media Brandon Tay untuk mengeksplorasi alam sebagai tempat merindu di negara-kota Singapura yang sangat urban.
 
Dalam pencarian manusia kera yang legendaris di Cagar Alam Bukit Timah, mereka memanfaatkan bunyi dan citra untuk menyajikan hubungan ambivalen Singapura dengan alam.
 
Getaran pusat kota Kuala Lumpur
Eksplorasi film dan foto duet artistik Another Universe di Kuala Lumpur membawa mereka ke bagian-bagian kota yang sering kali diabaikan. Kebanyakan orang tidak sadar bahwa semuanya berawal dari bagian lama Kuala Lumpur ini, yang sampai sekarang tetap penting untuk perdagangan.
 
Banyak buruh migran masih tinggal di sini, dan ini mengisyaratkan bagaimana kota ini berawal dengan orang-orang yang datang dari tempat lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. (Orie Buchori)



 

 

Author

DEWI INDONESIA