7 Hal Yang Perlu Kita Tinggalkan di Penghujung Tahun 2025
Menelusuri Nusantara: Refleksi Edward Hutabarat atas Warisan Budaya Timur

Menelusuri Nusantara: Refleksi Edward Hutabarat atas Warisan Budaya Timur

Edward Hutabarat mengajak kita untuk menanggalkan ego dan merajut kembali kekayaan budaya bangsa.
Edward Hutabarat menelusuri pedalaman Indonesia, menelisik kekayaan budaya negeri ini yang penuh pukau.

Perayaan Dies Natalis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) menandai perjalanan panjangnya sebagai institusi pendidikan, yang juga menjadi panggung diskusi tentang kekayaan jiwa bangsa. Momen perayaan ini dimeriahkan dengan sebuah dialog bersama maestro penjelajah visual, Edward Hutabarat yang akrab disapa dengan Bang Edo. Diskusi ini mengangkat diskusi berjudul “Menjalin, Memajukan Budaya Timur Indonesia.”

Di hadapan para cendekiawan dan generasi muda, Bang Edo tidak merayu, melainkan menumpahkan isi hatinya. Ia membuka diskusi dengan rentetan foto dan film dokumenter yang menceritakan perjalanan 20 tahun. Bukan sebuah perjalanan riset, tetapi sebuah usaha untuk menyaksikan peradaban yang tersisa, yang indah luar biasa.

Warisan Lebih dari Sekadar Wastra

Bang Edo meluruskan pandangan yang seringkali menyempit. Budaya Indonesia menurutnya adaah sebuah samudera yang jauh lebih luas dari sekedar batik, tenun, ataupun wastra. Melalui eksplorasinya, ia mengingatkan kita pada kekayaan yang bahkan masih tak terjamah oleh publik, produk budaya yang lahir dari keseharian.

Advertisement

Indonesia Timur, dari pelosok papua hingga Nusa Tenggara, dipenuhi dengan karya tangan autentik: mulai dari kerajinan tembikar, anyaman daun, patung pahat, hingga tifa yang dibuat dari kulit binatang buruan. Setiap daerah dengan kerajinan tangan mereka sendiri membawa karakter dan nyawa nan khas, yang harus terus dilestarikan. Bagi sang maestro, keindahan sejati terletak pada detail dan ketekunan yang ditemukan di pelosok sana.

Salah satunya dapat dilihat dari karya Suku Asmat, mulai dari ukiran hingga keunikan arsitektur rumah adat yang dibangun di atas panggung. Bangunan ini dirancang agar kotoran jatuh ke bawah rumah untuk langsung dibersihkan dengan air mengalir. Menunjukkan teknologi tradisional dan ketahanan budaya yang sudah tertanam selama ini.

Mencintai Tanpa Egoisme

Inti filosofi yang diusung oleh Bang Edo adalah: untuk mendalami peradaban ini, yang dibutuhkan bukanlah sekadar passion, semangat yang datang dan pergi, melainkan cinta. Ia menggunakan metafora yang begitu puitis untuk mendefinisikan bangsa kita: bahwa Indonesia adalah mutiara.

“Mari kita jalin, kira rangkai bersama. Jangan sampai ia terputus. Lepaskan kekuasaan itu, lepaskan egiosme itu. lepaskan, dan cintailah negeri ini. Inilah Indonesia.” ungkap Bang Edo.

Cinta ini diterjemahkan Bang Edo dalam setiap langkahnya. Ia selalu memastikan untuk membeli karya buah tangan dari bapak dan mama dari desa yang ia kunjungi, menjadikannya sebuah legacy pribadi yang akan terus ia bawa.

Menghargai Harmoni dengan Alam

Bang Edo mengusung semangat “Let’s Green Jakarta” dengan menghadirkan koleksi kerajinan yang ia bawa dari pelosok Indonesia dan dikolaborasikan dengan ragam tanaman. Ini merupakan langkah baru dari Edward Hutabarat Living dalam mendorong pelestarian alam dan budaya.

Salah satu poin kritis yang disampaikan Bang Edo adalah pentingnya bagi kita untuk menghargai dan melihat lebih dalam kehidupan masyarakat pedalaman. Meskipun beberapa praktik lokal, seperti memakan penyu atau menggunakan bulu hewan sebagai aksesoris, terlihat kontroversial bagi masyarakat luar. Namun, Bang Edo mengajak kita untuk memahami bahwa itulah cara alam bekerja, cara masyarakat tersebut berdampingan dengan alam.

Untuk memahami ini, kita perlu duduk, berinteraksi langsung dengan para penduduk setempat. Bang Edo mengakui usahanya ini membuahkan hasil, ia bahkan diberikan akses penuh mendokumentasikan upacara-upacara sakral seperti pemakaman raja di Sumba. membuktikan bahwa penghormatan tulus akan membuka pintu peradaban yang paling autentik.

***

Dedikasi Bang Edo pada budaya Timur Indonesia tidak hanya bergema di kalangan akademisi, tetapi juga di panggung dunia. Koleksinya diminta untuk digelar di salah satu venue paling prestisius di paris: Louvre. Karyanya disajikan di koridor yang dekat dengan pintu masuk Galeri Mona Lisa, menandakan pengakuan global yang monumental atas keindahan wastra dan warisan budaya.

Diskusi di panggung FIB UI ini menjadi seruan hangat bagi kita semua, untuk meninggalkan egoisme, kekuasaan, dan mengambil langkah untuk menjalin serta merangkai kembali mutiara-mutiara kebudayaan Timur Indonesia dengan landasan yang paling murni, yaitu cinta. Hanya dengan cinta, warisan yang penuh nyawa ini akan terus bersinar, abadi, dan bermartabat di mata dunia.

Teks: Nadia Indah
Editor: Mardyana Ulva
Foto: dok. Team Edward Hutabarat

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

7 Hal Yang Perlu Kita Tinggalkan di Penghujung Tahun 2025

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.